Beberapa bulan belakangan ini, dunia
sedang diteror oleh virus keluaran baru yang diduga berasal dari Wuhan, China.
Dialah virus Corona, atau Covid-19. Virus ini benar-benar menjadi momok kelam
dunia di tahun 2020. Penyebarannya yang luas hingga berskala global, membuat World Health Organization (WHO) meningkatkan
statusnya menjadi pandemi.
Melansir data laman Worldometers,
hingga Rabu (13/5/2020) sore, total kasus Covid-19 di dunia terkonfirmasi
sebanyak 4.357.792 (4,3 juta) kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.611.515
(1,6 juta) pasien telah sembuh, dan 293.227 orang meninggal dunia.
Kasus terbesar berasal dari Negeri
Paman Sam, Amerika Serikat dengan total 1,4 juta kasus, 296 ribu sembuh, dan 83,4
ribu orang meninggal. Disusul oleh Spanyol, Rusia, Inggris dan Italia.
Di Indonesia sendiri, angka kematian
akibat pandemi ini sudah tembus lebih dari 1.000 orang korban jiwa dari total
15,4 ribu kasus. Angka ini diprediksi akan terus meningkat. Berbagai upaya
preventif yang dinilai efisien dan efektif pun telah dilakukan oleh pemerintah beserta
jajaran di bawahnya dalam menyiasati penanggulangan persebaran Covid-19,
sehingga diharapkan bisa menekan angka kematian tersebut.
Sejauh ini, kebijakan yang sudah berjalan
yaitu seperti adanya pemberlakuan status social
distancing atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah,
hingga adanya larangan mudik lebaran yang dikeluarkan oleh Kementerian
Perhubungan (Kemenhub) melalui Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor
25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi selama Masa Mudik Idul Fitri
Tahun 1441 Hijriyah, berlaku 24 April- 31 Mei 2020.
Kebijakan ini pun menuai polemik
di tengah masyarakat. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Beragam argumentasi
pun dijadikan amunisi pandangannya. Mana yang salah, dan mana yang benar? Entahlah.
Semua terkena imbasnya. Tergantung dari sudut mana seseorang itu memandang, yang
jelas pandemi ini benar-benar membuat kehidupan semua orang resah, seakan sulit
dan sempit.
Bagaikan domino, perekonomian dari
berbagai sektor pun semakin lesu lantaran terkena efeknya. Salah satunya datang
dari sektor transportasi yang dinilai paling terpukul dengan adanya pandemi
ini, belum lagi ditambah adanya kebijakan PSBB dan anjuran larangan mudik tadi.
Secara tidak langsung, efek
dominonya memaksa para pengusaha bus untuk melarang operasi seluruh armada
angkutan umumnya di sejumlah daerah. Alhasil, banyak pegusaha bus yang mengeluh
dan turut berdampak terhadap kinerja perusahaannya.
Bayang-bayang akan mimpi buruk
selanjutnya pun muncul. Tidak ada pemasukan, omset turun, rugi besar, terjadi
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan, hingga sampailah pada puncaknya bahwa perusahaan
itu dinyatakan pailit karena tidak mampu lagi membayar kewajibannya kepada si
piutang, dan “BOOMMM!!!” perusahaan itu pun kolaps - gulung tikar.
Jika sudah begini, lantas bagaimana?
Siapa yang salah? Hmm.
Melansir portal berita BBC News
Indonesia, Selasa (28/4/2020), dikatakan bahwa larangan mudik dan penerapan Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat wabah virus corona berpotensi menghancurkan
industri transportasi darat, seperti yang dialami Perusahaan Otobus (PO) Antar
Kota Antar Provinsi (AKAP), Angkutan Antar Jemput Antar Provinsi (AJAP), dan
bus pariwisata.
Dalam artikel tersebut juga
dikatakan bahwa salah satu perusahaan otobus yang telah berkecimpung di
industri transportasi selama lebih dari 45 tahun bernama San Putra Sejahtera
telah menelan kerugian hingga Rp. 6 miliar dan pendapatan Rp. 0, akibat dari
tidak beroperasinya bus dan tidak ada stimulus dari pemerintah.
Hassanudin Adnan, selaku Komisaris
Utama PO San Putra Sejahtera berharap agar pemerintah segera memberikan bantuan
keringanan pembayaran pinjaman bagi perusahaan dan juga bantuan sosial kepada
awak pekerjanya.
Masih dalam artikel yang sama, ada
juga sebuah perusahaan antar jemput Jakarta-Bandung yang telah memecat seluruh
karyawannya.
Hmm, speechless.
Sebenernya, pemerintah melalui
Kementerian Keuangan terus berupaya dalam menangani ini dengan melakukan finalisasi rancangan peraturan
pemerintah untuk memberikan keringanan kredit kepada industri usaha termasuk
transportasi umum. Walaupun dengan harapan aturan tersebut akan selesai dan
bisa diterapkan pada pertengahan Mei mendatang.
Pemerintah juga akan mengeluarkan
tiga stimulus bantuan bagi mereka pengusaha transportasi yang terdampak pandemi
ini. Namun, apakah dengan adanya stimulus ini benar-benar bisa membantu nasib para
perusahaan transportasi tetap survive,
khususnya perusahaan otobus yang memiliki jumlah armada bus yang banyak?
Mengingat sudah kadung jauh terimbas. Atau, nasibnya justru akan tetap sama
dengan apa yang dialami PO San Putra Sejahtera dan perusahaan antar jemput Jakarta-Bandung
yang telah memecat seluruh karyawannya? Hmm, entahlah yak, semoga bisa
meringankan bebannya.
Bingung juga mau nyalahin siapa
dalam situasi seperti ini? Bisa survive
tidaknya tergantung strategi yang diambil masing-masing perusahaan dalam menyiasati
pandemi Covid-19 serta kebijakan pemerintah.
Di sisi lain, pemerintah pun pasti
sudah berupaya penuh dalam mengatasi problematika ini melalui kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkannya. Walaupun jujur, terkadang masih ada kebijakan yang rasanya
“mencla-mencle” dan kerap membuat bingung. Sehingga kadang terbesit sebuah pertanyaan,
“Sebenernya, sudah efisien dan efektifkah
kebijakan pemerintah dalam menyetop badai domino ini?”
_ _ _
*Tulisan ini murni buah pikiran penulis yang diambil dari sudut pandang penulis akan suatu kondisi yang menimpa nasib para pengusaha bus akibat pandemi Covid-19, dan tidak ada maksud menyudutkan pihak lain.
Image Source: https://policyscotland.gla.ac.uk/