BAB XII
IMAN DAN KUFUR
A. Iman
1.
Pengertian
Secara bahasa
kata “iman” berasal dari bahasa Arab “amana” yang berarti “memberi keamanan”.
Atau “amana-yu’minu-imanan” berarti “percaya”. Berdasarkan Al-Qur’an iman
adalah mempercayai segala sesuatu yang diturunkan Allah kepada nabi-nabi-Nya.
Sedangkan menurut Jumhur iman adalah membenarkan dengan hati, mengikrarkan
dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan. Serta berdasarkan hadis shahih
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menerangkan: Iman itu adalah engkau percaya
kepada (rukun iman yang enam).[1]
Jika dilihat
dari asal bahasa kata iman berasal dari bahasa arab yang berarti membenarkan,
dan dalam bahasa Indonesia kata iman berarti percaya yaitu sebuah kepercayaan
dalam hati dan membenarkan bahwa adanya Allah SWT itu benar-benar ada serta
membenarkan dan mengamalkan semua yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan
mempercayai Rasul-Rasul sebelumnya. Iman merupakan inti dasar dari sebuah
peribadatan, tanpa adanya keimanan sangat mustahil seseorang dapat membenarkan
adanya Tuhan.
2.
Istilah Teologi[2]
Dari pengertian
diatas, kemudian di dalam pembahasan ilmu tauhid/kalam, konsep iman dan kufur
ini terpilih menjadi tiga pendapat:
a.
Iman
adalahtashdiq di dalam hati. Menurut konsep ini, iman dan kufur semata-mata urusan
hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudahtashdiq
(membenarkan/meyakini) akan adanya Allah, ia sudah disebut beriman, sekalipun
perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Konsep Iman seperti ini
dianut oleh mazhab Murjiah, sebagaian penganut Jahmiah, dan sebagaian kecil Asy’ariah.
b.
Iman
adalahtas hdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lidah. Dengan kata lain,
seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan
keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaannya itu dengan
lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia.
Yang pentingtashdiq dan ikrar. Konsep iman seperti ini dianut oleh sebagian
pengikut Maturidiah
c.
Iman
adalahtas hdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan, dan dibuktikan dengan
perbuatan, konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman. Karena
itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini
dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan lain-lain.
Secara umum muktazillah merumuskan unsur-unsur iman terdiri
dari al-tasdiq bi al-qalb; al-iqrar bi al-lisan. Bagi Murjiah, bahwa iman itu
hanyalah ma’rifah kepada Allah semata-mata. Sedangkan bagi Asy’ariyyah, iman
ialah membenarkan dengan hati, dan itulah iktikad. Disini terdapat persaman
antara konsep Murjiah dan Asy’ariyyah yang menekankan tugas hati bagi iman atas
pengakuan. Cuma Murjiah menggunakan perkataan ma’rifah, sementara Asy’ariyyah
menggunakan al-tasdiq.[3]
Selanjutnya konsep Maturidiyyah secara umumnya sama dengan
konsep Asy’ariyyah dari ahli al-sunnah wa al-jama’ah, cuma sedikit perbedaan,
yaitu bagi Maturidiyyah tasdiq dengan hati mesti satu kesatuan beriqrar dengan
lidah. Sedangkan bagi Asy’ariyyah hanya dengan pengakuan hati untuk membuktikan
keimanan, taqrir dengan lisan tidak diperlukan, kerana taqrir dengan lisan dan
mengerjakan rukun-rukun Islam adalah merupakan cabang dari iman.
Pendapat Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah golongan Asy’ariyyah
yang agak lebih lengkap tentang iman seperti yang diberikan oleh al-Baghdadi
yang dikutip oleh Harun Nasution, ia menerangkan bahawa ada tiga bahagian.
a.
Iman yang membuat orang keluar dari
golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka, yaitu: Mengakui Tuhan, kitab, para
Rasul, qadar baik dan jahat, sifat-sifat Tuhan dan segala keyakinan lain yang
diakui dalam syari’at.
b.
Iman yang mewajibkan adanya keadilan
dan melenyapkan nama fasiq dari seseorang serta melepaskan dari neraka, yaitu
mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.
c.
Iman yang menjadikan seseorang itu
memperoleh prioritas untuk langsung masuk ke surga tanpa perhitungan, yaitu
mengerjakan segala yang wajib serta yang sunat dan menjauhi segala dosa.
Dari uraian di atas, dapat dibuat kesimpulan bahawa konsep
iman dari lima aliran ini, secara umum dapat dibagi kepada dua:
1)
Konsep yang menerima unsur-unsur
iman itu secara mantap ketiga-tiganya, yaitu, al-tasdiq bi al-qalb; al-iqrar bi
al-lisan, al-‘amal bi al-jawarih atau al-‘amal bi al-arkan.
2)
Konsep yang menekankan kepada unsur
pertama saja dari ketiga-tiga unsur tersebut. Unsur-unsur kedua dan ketiga bagi
golongan ini hanya merupakan cabang-cabang saja dari iman. Pendapat yang kedua
ini terdapat pada golongan yang berpendapat arti iman sebagai ma’rifah dan
tasdiq. Golongan ini termasuk Murjiah, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.
Dalam hal hukum kewajiban beriman, kewajiban beriman kepada
Allah dapat diketahui melalui wahyu dan akal. Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah sependapat mengatakan bahwa mengetahui adanya Allah dapat
diketahui melalui akal, tetapi tentang wajibnya beriman hanya semata-mata
karena akal tidak disetujui oleh Asy’ariyyah. Bagi Asy’ariyyah soal wajibnya
beriman adalah melalui ketentuan wahyu, bukan lantaran akal. Pendapat
Asy’ariyyah itu ditolak oleh Mu’tazilah dan Maturidiyyah. Bagi kedua aliran
ini, akal sudah dapat mengantar manusia untuk wajib beriman kepada-Nya.
Sejak kapan orang itu mulai diwajibkan beriman kepada Allah.
Menurut Mu’tazilah dan Abu Mansur al-Maturidi, apabila manusia telah berakal.
Umur atau usia tidak dipandang, usia anak atau orang dewasa, wajib beriman
kepada Tuhan. Sebaliknya bagi Asy’ariyyah, anak-anak yang belum baligh atau
dewasa, belum berakal, mereka tidak diwajibkan beriman, karena mereka belum
ditaklifkan atau diberikan beban tanggungjawab. Selanjutnya bagi Imam
al-Syafi’i, pengikut Asy’ariyyah, mengatakan bahwa anak-anak belum dianggap
wajib menerima seruan dakwah.
Pembahasan berikut adalah mengenai kewajiban beriman bagi
manusia sebelum adanya Rasul. Menurut Mu’tazilah dan Maturidiyyah aliran
Samarkand walaupun Tuhan belum mengutus Rasul kepada manusia, tetapi dengan akal
manusia sudah wajib mengenal Allah dan keEsaan-Nya, begitu juga mengenai
kewajiban beriman sebelum Rasul diutuskan oleh Allah. Mereka merujuk kepada
surah Nuh, 71: I-2:Terjemahnya: “Sesungguhnya
Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan): "Berilah
kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih". Nuh
berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya
aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu“.(Qs.
An-Nuh:1-2)[4]
3.
Iman
dapat bertambah atau berkurang?[5]
Ada dua pendapat
mengenai hal ini, yaitu:
a.
Iman
tidak dapat bertambah atau berkurang.
b.
Iman
bisa bertambah dan berkurang. Pendapat ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
1)
Yang
bertambah adalah tashdiq dan amal.
2)
Yang
bertambah hanya tashdiqnya.
4.
Sebab-sebab Bertambahnya Iman
a. Belajar
ilmu yang bermanfaat yang bersumber dari al-Qur`aan dan as Sunnah. Hal ini
menjadi sebab pertambahan iman yang terpenting dan bermanfaat karena ilmu
menjadi sarana beribadah kepada Allah Ta’ala dan mewujudkan tauhid
dengan benar dan pas.[6]
b. Merenungi
ayat-ayat kauniyah. Merenungi dan meneliti keadaan dan keberadaan
makhluk-makhluk Allah Ta’ala yang beraneka ragam dan menakjubkan
merupakan faktor pendorong yang sangat kuat untuk beriman dan mengokohkan iman.
Syeikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Di antara sebab
dan faktor pendorong keimanan adalah tafakur kepada alam semesta
berupa penciptaan langit dan bumi serta makhluk-makhuk penghuninya dan meneliti
diri manusia itu sendiri beserta sifat-sifat yang dimiliki. Ini semua adalah
faktor pendorong yang kuat untuk meningkatkan iman”.[7]
c. Berusaha
sungguh-sungguh melaksanakan amalan shalih dengan ikhlas, memperbanyak dan
mensinambungkannya. Hal ini karena semua amalan syariat yang dilaksanakan
dengan ikhlas akan menambah iman. Karena iman bertambah dengan pertambahan
amalan ketaatan dan banyaknya ibadah.
Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin rahimahullah pernah menuturkan, “Di antara sebab
pertambahan iman adalah melakukan ketaatan. Sebab iman akan bertambah sesuai
dengan bagusnya pelaksanaan, jenis dan banyaknya amalan. Semakin baik
amalan, semakin besar penambahan iman dan bagusnya pelasanaan ada
dengan sebab ikhlas dan mutaba’ah (mencontohi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam). Sedangkan jenis amalan, maka yang wajib lebih
utama dari yang sunnah dan sebagian amal ketaatan lebih ditekankan dan utama
dari yang lainnya. Semakin utama ketaatan tersebut maka semakin besar juga
penambahan imannya. Adapun banyak (kwantitas) amalan, maka
akan menambah keimanan, sebab amalan termasuk bagian iman. Sehingga pasti iman
bertambah dengan bertambahnya amalan.”[8]
5. Sebab-sebab
Berkurangnya Iman
Sebab-sebab berkurangnya iman
ada yang berasal dari dalam diri manusia sendiri (faktor internal) dan ada yang
berasal dari luar (faktor eksternal).
۞ Faktor internal
berkurangnya iman
a.
Kebodohan. Ini adalah sebab terbesar berkurangnya iman,
sebagaimana ilmu adalah sebab terbesar bertambahnya iman.
b.
Kelalaian, sikap berpaling dari kebenaran dan lupa.
Tiga perkara ini adalah salah satu sebab penting berkurangnya iman.
c. Perbuatan
maksiat dan dosa. Jelas kemaksiatan dan dosa sangat merugikan dan memiliki
pengaruh jelek terhadap iman. Sebagaimana pelaksanaan perintah Allah Ta’ala
menambah iman, demikian juga pelanggaran atas larangan Allah Ta’ala
mengurangi iman. Namun tentunya dosa dan kemaksiatan bertingkat-tingkat
derajat, kerusakan dan kerugian yang ditimbulkannya, sebagaimana disampaikan
oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam ungkapan beliau, “Sudah pasti
kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan bertingkat-tingkat sebagaimana iman dan
amal shalih pun bertingkat-tingkat”.[9]
d. Nafsu
yang mengajak kepada keburukan (an-nafsu ammaratu bissu’). Inilah
nafsu yang ada pada manusia dan tercela. Nafsu ini mengajak kepada keburukan
dan kebinasaan, sebagaimana Allah Ta’ala jelaskan dalam menceritakan
istri al-Aziz,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ
بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali
nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi
Maha Penyanyang.” (Qs Yusuf: 53)
Nafsu ini menyeret manusia
kepada kemaksiatan dan kehancuran iman, sehingga wajib bagi kita berlindung
kepada Allah Ta’ala darinya dan berusaha bermuhasabah sebelum beramal
dan setelahnya.
۞ Faktor eksternal
berkurangnya iman
a. Syeitan musuh abadi manusia yang merupakan
satu sebab penting eksternal yang mempengaruhi iman dan mengurangi
kekokohannya.
b. Dunia
dan fitnah (godaan)nya. Menyibukkan diri dengan dunia dan perhiasannya
termasuk sebab yang dapat mengurangi iman. Sebab semakin semangat manusia
memiliki dunia dan semakin menginginkannya, maka semakin memberatkan dirinya
berbuat ketaatan dan mencari kebahagian akherat, sebagaiman dituturkan Imam
Ibnul Qayyim.
c. Teman
bergaul yang jelek. Teman yang jelek dan jahat menjadi sesuatu yang sangat
berbahaya terhadap keimanan, akhlak dan agamanya. Karena itu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari hal ini dalam sabda
beliau,
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ
مَنْ يُخَالِلُ
Artinya: “Seorang itu berada di atas agama
kekasihnya (teman dekatnya), maka hendaknya salah seorang kalian melihat siapa yang
menjadi kekasihnya.”[10]
B. Kufur
1.
Pengertian[11]
Arti kufur secara etimologi, kufur artinya menutupi,
sedangkan menurut terminologi syariat, kufur artinya ingkar terhadap Allah swt,
atau tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakannya maupun
tidak. Perbedaannya, kalau mendustakan berarti menentang dan menolak, tetapi
kalau tidak mendustakan artinya hanya sekedar tidak iman dan tidak percaya.
Dengan demikian kufur yang disertai pendustaan itu lebih berat dari pada kufur
sekedar kufur.
Kufur dalam bahasa arab berarti menyembunyikan dan
menutup. Al-Qurthubiy juga menyatakan bahwa asal makna kafir (al-kufr) adalah
tertutup (al-sitru wa al-taghthiyah). Oleh karenanya, orang Arab
menyebut “malam” dengan kata kafir karena malam menyembunyikan sesuatu
sehingga tidak nampak oleh mata.[12]
Kafir adalah lawan dari iman. Jika iman berarti
mengetahui Allah maka kafir adalah tidak mengetahui Allah. Jika dikatakan iman
adalah taat maka kafir berarti maksiat. Sehingga orang kafir adalah orang yang
tidak bisa mengetahui dan memahami Allah dan segala yang datang dari Allah,
sehingga tidak bisa percaya kepada-Nya, dan cenderung melakukan maksiat kepada
Allah. Definisi lain untuk kafir adalah sebutan bagi orang-orang yang keluar dari
landasan islam. Seorang yang kafir dapat melihat dalil-dalil tauhid di
hadapannya dan sesuatu yang mendorongnya agar beriman kepada Allah, tetapi dia
tetap berbuat dalam kebatilan dan kekufurannya seolah-olah dia tidak dapat
melihat dalil tersebut.[13]
2.
Pembagian
Kufur ditinjau dari berat tidaknya dosa ada dua macam, yaitu
kufur akbar (kufur besar) dan kufur ashghar (kufur kecil). Ada pun
penjelasannya yaitu sebagai berikut:
a.
Kufur Akbar (Kufur Besar)[14]
Kufur
besar adalah kufur yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan kufur besar
ini ada lima macam:
1)
Kufur takzib, kufur yaitu karena mendustakan.
Allah swt berfirman: ”Dan siapakah yang
lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah
atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya ? Bukankah
dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir ?”. (QS.
Al- Ankabut : 68)
2)
Kufur iba’wa istikbar, kufur yaitu karena
enggan dan sombong, padahal ia tahu dan membenarkannya. Allah berfirman: ”Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada
para Malaikat: ”Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis;
ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.
(Al-Baqarah: 34)
3)
Kufur syak atau kufur zann, yaitu kufur
karena ragu terhadap kebenaran ajaran Allah, termasuk keyakinan kepada hari
kiamat. Allah berfirman: ”Dan dia
memasuki kebunnya sedang ia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: ”Aku
kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari
kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku,
pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”.
(QS. Al- Kahfi: 35-36). Kawannya (yang
mu’min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Rabb) yang
menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia
menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna”. Tetapi aku (percaya bahwa):
Dialah Allah, Rabbku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Rabbku”. (QS. Al- Kahfi: 37-38)
4)
Kufur I’rad, yaitu kufur karena
berpaling, dalilnya adalah firman Allah swt: ”Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan
orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka”.
(QS. AL- Ahkaf: 3)
5)
Kufur Nifak, yaitu kufur karena
nifaq, dalilnya firman Allah: ”Yang
demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian
menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak
dapat mengerti”. (QS. Al-Munafiqun : 3)
b.
Kufur Ashghar (Kufur Kecil)[15]
Kufur kecil, adalah kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya
dari Islam, dan ia adalah kufur amali. Kufur amali adalah dosa-dosa yang
disebut dalam Al- Qur’an dan As- Sunnah sebagai dosa-dosa kufur, tetapi tidak
mencapai derajat kufur besar.
Contoh
kufur ashghar diantaranya yaitu:
1)
Kufur nikmat sebagaimana disebutkan
dalam firman-Nya: ”Mereka mengetahui
nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang kafir”. (QS. An-Nahl:
83)
2)
Termasuk juga membunuh orang muslim.
Rasulullah SAW bersabda: ”Mencaci seorang
muslim adalah suatu kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”. (Hadits Riwayat
Bukhari dan Muslim). Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Janganlah kalian sepeninggalku kembali lagi
menjadi orang-orang kafir, sebagian kalian memenggel leher sebagian yang lain”.
(Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
3)
Termasuk juga bersumpah dengan
selain Allah. Rasulullah SAW bersabda :”Barang
siapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah kafir atau musyrik”.
(At-Tirmidzi
dan dihasankannya, serta dishahihkan oleh Al-Hakim)
Yang demikian
itu karena Allah tetap menjadikan para pelaku dosa sebagai orang-orang mukmin.
Allah berfirman: “ Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenan dengan orang-orang yang dibunuh”.
(Al-Baqarah : 178). Allah tidak mengeluarkan orang yang membunuh dari golongan
orang-orang beriman, bahkan menjadikannya sebagai saudara bagi wali yang
(berhak melakukan) qishash.[16]