BAB XI
PERBUATAN HAMBA (AF’AL AL’IBAD)
DAN KEKUASAAN MUTLAK TUHAN
Masalah
perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh
kelompok jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan
pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari
permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa tuhan adalah pencipta
alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa
dan mempunyai kehendak yangbersifat mutlak. Maka disini timbulllah pertanyaan,
sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan
kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidup ?, apakah manusia terikat
seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan ?.
1.
Aliran
Jabariyah[2]
Dalam pembahasan
mengenai perbuatan manusia tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah
Ekstrim dan Jabariyah Moderat. Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala
perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya
sendiri, Tetapi kemauan yang dipaksakan atas dirinya salah seorang tokoh
Jabariyah Ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia
tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak memunyai
pilihan.
Jabariyah
Moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan
jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya.
Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham
kasab manusia tidaklah majbur. Tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh
dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh
perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
2.
Aliran
Qadariyah[3]
Aliran Qadariyah
menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas
kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia
berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak
memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat.
Faham takdir
dalam pandangan Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah
Al-qur’an adalah sunatullah.
Aliran Qadariyah
berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan
manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan
dalam doktrin islam sendiri banyak ayat Al-qur’an yangmendukung pendapat ini
misalnya dalam surat Al-kahfi ayat ke-29 yang artinya : “katakanlah, kebenaran
dari Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang
ingin kafir maka kafirlah ia”.
3.
Aliran
Mu’tazilah[4]
Aliran
Mu'tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karna
itu, Mu'tazilah menganut faham qodariyah atau free will. menurut Al-Juba'i dan
Abd Aljabbra. Manusialah yang menciptakan perbuata-perbuatannya. Manusia
sendirilah yang membuat baik dan buruk. KepaTuhan dan ketaatan seseorang kepada
Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-istita'ah)untuk
mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Untuk
membela fahamnya, aliran Mu'tazilah mengungkapkan ayat berikut:
ألذى أحسن كل شێ خلقه
(السجدة : ۷)
Artinya:
"Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan
sebaik-baiknya".
(QS. As-Sajdah: 7).
Disamping
argumentasi naqliah di atas, aliran Mu'tazilah mengemukakan argumentasi berikut
ini.
a.
Kalau
Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai
perbuatan, batAllah taklif syar'i. hal ini karena syariat adalah ungkapan
perintah dan larangan yang merupakan thalap pemenuhan thalap tidak terlepas
dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan.
b.
Kalau
manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya. Runtuhlah teori pahal dan
hukuman yang muncul dari konsep faham al-wa'dwaal-wa'id(janji dan ancaman). Hal
ini karma perbuatan itu menjadi tidak dapat di sandarkan kepadanya secara
mutlak sehingga bersekoensi pujian atau celaan.
c.
Kalau
manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada
gunanya sama skali. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwa dan dakwa harus
di barengi kebebasn pilihan?
4.
Aliran
Asy’ariyah[5]
Dalam faham
Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil
yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu Aliran ini lebih
dekat dengan faham jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar
pijakannya, Asy’ari memakai teori Al-kasb (acquisition, perolehan), segala
sesuatu terjadi dengan perentaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi
perolehan dari muktasib (yang memperoleh kasb) untuk melakukan perbuatan,
dimana manusia kehilangan keaktifan, yang mana manusia hanya bersikap pasif
dalam perbuatan-perbuatannya. Untuk membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari
mengemukan dalil Al-Qur’an yang artinya : “Tuhan menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat” (Q.S. Ash-shaffat : 96). Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa
perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek
untuk mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan
perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia
dibarengi kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
5.
Aliran
Maturidiyah[6]
Mengenai
perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah
Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham
mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariya.
Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah
kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti
kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak
diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang
demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham
Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas
manusia dalam faham Mu’tazilah.
Maturidiyah
bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja
golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan
perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan
yang telah diciptakan Tuhan baginya.
B. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Semua aliran
dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan
disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memilki kemampuan
untuk melakukannya.[7]
1.
Mu’tazilah[8]
Kaum Mu’tazilah
percaya pada hukum alam atau sunnah Allah yang menganut perjalanan kosmos dan
dengan demikian menganut faham determinisme. Dan determinisme ini bagi mereka,
sebagai kata Nadir, tidak berubah-ubah sama dengan keadaan Tuhan yang juga
tidak berubah-ubah. Sebagai penjelasan selanjutnya bagi faham sunnah Allah yang
tak berubah-ubah ini dan determinisme ini; ada baiknya dibawa di sini uraian
Tafsir al-Manar. Segala sesuatu di alam ini, demikian al Manar, berjalan menurut
sunnah Allah dan sunnah Allah itu dibuat Tuhan sedemikian rupa sehingga sebab
dan musabab di dalamnya mempunyai hubungan yang erat. Bagi tiap sesuatu Tuhan
menciptakan sunnah tertentu. Umpamanya sunnah yang mengatur hidup manusia
berlainan dengan sunnah yang mengatur hidup tumbuh-tumbuhan. Bahkan juga ada
sunnah yang tidak berubah-ubah untuk mencapai kemenangan. Jika seseorang
mengikuti jalan yang ditentukan sunnah ini, orang akan mencapai kemenangan,
tetapi jika ia menyimpang dari jalan yang ditentukan sunnah itu, ia akan
mengalami kekalahan.
2.
Asy’
Ariyah[9]
“Kaum Asy’ariah,
karena percaya pada mutlaknya kekuasaan Tuhan, mempunyai tendensi sebaliknya.
Mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam
perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai
tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu.
Betul mereka akui bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan
keuntungan bagi manusia dan bahwa Tuhan mengetahui kebaikan dan keuntungan itu,
tidaklah menjadi pendorong bagi Tuhan untuk berbuat.
3.
Maturidiyah[10]
“Adapun kaum
Maturidi, golongan Bukhara menganut pendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan
mutlak. Menurut al-Bazdawi, Tuhan memang berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya
dan menentukan segala-galanya menurut kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat
menentang atau memaksa-Nya, dan tidak ada larangan-larangan terhadap Tuhan.
Akan tetapi bagaimana pun juga seperti akan dijelaskan nanti, faham mereka
tentang kekuasaan Tuhan tidaklah semutlak faham Asy’ ariah.
Maturidiyah
golongan Samarkand, tidaklah sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan
kemutlakan kekuasaan mutlak Tuhan. Batasan-batasan yang diberikan golongan
Samarkand ialah:
a.
Kemerdekaan
dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka, ada pada manusia.
b.
Keadaan
Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas
kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam
dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
c.
Keadaan
hukuman-hukuman Tuhan, sebagai kata al-Bayadii, tak boleh tidak mesti terjadi.
4.
Prof
Harun Nasution[11]
“Kekuasaan Tuhan
sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Seperti terkandung dalam uraian Nadir,
kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut faham
Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan perbuatan dan
kemauan. Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan
Tuhan. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah terikat pada
norma-norma keadilan yang kalau dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil
bahkan zalim. Sifat serupa ini tak dapat diberikan kepada Tuhan. Selanjutnya,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan
terhadap manusia yang menurut faham Mu’tazilah memang ada. Lebih lanjut lagi,
kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh nature atau hukum alam(sunnah Allah)
yang tidak mengalami perubahan.
***
[1] http://sarjoni.wordpress.com/2010/01/01/ilmu-kalam-perbandingan-antar-aliran-perbuatan-tuhan-dan-perbuatan-manusia/
[2] A. Hanafi,
Pengantar Teologi Islam, (Jakarta : PT. Al Husna Zikra, 1995) h.109-110
[3] http://abahmarasakti.wordpress.com/2010/01/11/perbandingan-aliran-tentang-dosa-besar-sifat-allah-perbuatan-manusia-dan-keadilan-allah/
[5] http://sarjoni.wordpress.com/2010/01/01/ilmu-kalam-perbandingan-antar-aliran-perbuatan-tuhan-dan-perbuatan-manusia/
[6] Jalaluddin
Rahman, Konsep Perbuatan Manusia menurut Qur’an (Kajian Tafsir Tematik), Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
[7] http://sarjoni.wordpress.com/2010/01/01/ilmu-kalam-perbandingan-antar-aliran-perbuatan-tuhan-dan-perbuatan-manusia/
[9] Nasution, Teologi
Islam, Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986).
[11]
Nasution, Teologi
Islam, Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986).
0 Komen:
Posting Komentar