Dalam mengukur tingkat
pencapaian keberhasilan atas suatu kebijakan yang telah diambil oleh
pemerintah, memang membutuhkan proses yang cukup panjang, dengan kata lain kita
belum bisa berasumsi secara cepat dalam menilai hasil dari kebijakan yang telah
di ambil oleh pemerintah.
Kendatipun
reformasi memaksa terjadinya perubahan struktur (restrukturisasi) dengan penyesuaian
daerah otonom, dimana disadari pemerintahan tidak lagi bercorak korporatis dan
sentralistik pada kepemimpinan top executive di tangan bupati/wali kota. Politisasi birokrasi yang masih cukup
kental mewarnai dinamika otonomi daerah Hal ini, erat kaitannya juga dengan
kegagalan hubungan kelembagaan eksekutif dan legislatif, karena proses
menguatnya political society. Sunarsip ( 2001) mengemukakan bahwa terjadinya
krisis ekonomi di Indonesia disebabkan oleh tata kelola yang buruk ( bad
governance ) pada sebagian besar pelaku ekonomi ( publik dan swasta ).
Upaya yang dapat kita lakukan kita pada
saat ini adalah dengan menciptakan iklim yang baik baik dalam hal ekonomi,
sosial, dan politik. Hal-hal tersebut tentunya hanya dapat kita capai melalui
pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dengan mencoba
mewujudkan suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa atau yang dikenal
dengan istilah good governance. Oleh karena itu tuntutan terhadap terwujudnya good
governance (tata kelola yang baik) sangat diperlukan terutama diinstansi
pemerintah. Penetapan UU No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999
oleh pemerintah, mengenai Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, membawa dampak pada pemberlakuan otonomi bagi
pemerintah daerah pada ruang lingkup yang lebih besar serta akuntabilitas
publik yang lebih nyata (Halim, 2001).
Selanjutnya, Undang-Undang ini diganti dan
disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33
tahun 2004. Kedua undang-undang tersebut telah merubah akuntabilitas atau
pertanggungjawaban pemerintah daerah dari pertanggungjawaban vertikal (kepada
pemerintah pusat) ke pertanggungjawaban horisontal (kepada masyarakat melalui
DPRD). Pada intinya semua peraturan tersebut menginginkan adanya transparansi
dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Namun, setelah empat tahun
berlakunya paket undang-undang tersebut, delapan tahun sejak otonomi yang luas
kepada daerah, dan sepuluh tahun setelah reformasi, hampir belum ada kemajuan
signifikan dalam peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan
Negara/Daerah.
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
dalam tiga tahun terakhir secara umum masih buruk (Siaran Pers, BPK RI, 23 Juni
2008). Kondisi ini semakin memburuk, sebagaimana di ungkapkan dalam siaran pers
BPK RI pada tanggal 15 Oktober 2008 yaitu: dilihat dari persentase LKPD yang
mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan Wajar Dengan Pengecualian
(WDP) selama periode 2004-2007 semakin menurun setiap tahunnya. Persentase LKPD
yang mendapatkan opini WTP semakin berkurang dari 7% pada tahun 2004 menjadi 5%
pada tahun berikutnya dan hanya 1% pada tahun 2006 dan 2007. Sebaliknya, LKPD
dengan opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) semakin meningkat dari 2% pada
tahun 2004 menjadi 17% pada tahun 2007 dan pada periode yang sama opini Tidak
Wajar (TW) naik dari 3% menjadi 19%. Selanjutnya hasil pemeriksaan BPK
menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan negara/daerah yang dilakukan pemerintah
dalam Tahun 2008 masih menunjukkan banyak kelemahan dan baru menunjukkan
tanda-tanda perbaikan, BPK memberikan opini WTP atas delapan Laporan keuangan
pemerintah daerah (LKPD), opini WDP atas 217 LKPD, opini tidak wajar (TW) atas
21 LKPD, dan opini TMP atas 47 LKPD dari 293 LKPD Tahun 2008 yang telah
diperiksa BPK pada Semester I Tahun 2009 (BPK, 2009).
Pembuatan laporan keuangan merupakan suatu
bentuk kebutuhan akan adanya transparansi yang menjadi syarat pendukung
terhadap akuntabilitas berupa keterbukaan ( opennes ) atas aktivitas
pengelolaan sumber daya publik. Transparansi dapat dilakukan apabila ada
kejelasan tugas dan kewenangan, ketersediaan informasi terhadap publik, proses
penganggaran yang terbuka, dan jaminan integritas dari pihak independen
mengenai perkiraan fiskal, informasi, dan penjabarannya. (IMF, 1998 dalam
Schiavo-Campo and Tomasi, 1999).
Konsep Dasar
Akuntansi Pemerintahan
1. Entitas Pelaporan dan Pengguna Laporan
Keuangan Entitas
pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri atas satu atau lebih entitas
akuntansi yang menurut peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan
keuangan, yang terdiri atas; 1. Pemerintah Pusat. 2. Pemda. 3. Satuan
Organisasi di lingkungan pemerintah pusat / daerah. 4. Organisasi lainnya, jika
menurut peraturan perundang-undangan satuan organisasi dimaksud wajib
menyajikan laporan keuangan.
2. Peranan dan Tujuan Laporan Keuangan
Setiap entitas
pelaporan mempunyai kewajiban untuk melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan
serta hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan
terstruktur pada suatu periode pelaporan untuk kepentingan: Akuntabilitas,
Manjemen,Transparansi, Keseimbangan, antargenerasi.
3. Tujuan
Laporan Keuangan
Pelaporan
keuangan pemerintah seharusnya menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para
pengguna dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan, baik keputusan
ekonomi, sosial, maupun politik.
4. Komponen
Laporan Keuangan
Laporan Keuangan
pokok terdiri atas :Laporan realisasi anggaran,Neraca,Laporan Arus Kas,Catatan
atas laporan keuangan. Selain laporan keuangan pokok tersebut, entitas
pelaporan diperkenankan menyajikan laporan kinerja keuangan dan laporan
perubahan ekuitas.
Hubungan
antara penerapan StandarAkuntansi Pemerintahan terhadap Good Governance
Good governance
menghendaki pemerintahan dijalankan dengan mengikuti prinsip-prinsip
pengelolaan yang baik, seperti transparansi (keterbukaan), akuntabilitas,
partisipasi, keadilan, dan kemandirian, sehingga sumber daya negara yang berada
dalam pengelolaan pemerintah benar-benar mencapai tujuan sebesar besarnya untuk
kemakmuran dan kemajuan rakyat dan negara. Penerapan prinsip-prinsip good
governance dalam penyelenggaraan negara tak lepas dari masalah akuntabilitas
dan tranparansi dalam pengelolaan keuangan negara dan daerah (Cadbury,1992 yang
dikutip Media Akuntansi 2000 dalam Sunarto,2003). Sebagian besar penelitian
tentang good governance di tingkat perusahaan dilakukan di Amerika dan negara-negara
anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) (Shleifer
dan Vishny, 1997).
Penelitian
dilakukan di negara yang sedang berkembang masih sangat sedikit. Black (2001)
berargumen bahwa pengaruh praktek good governance terhadap nilai perusahaan
akan lebih kuat di negara berkembang dibandingkan di negara maju. Hal tersebut
dikarenakan oleh lebih bervariasinya praktik good governance di negara
berkembang dibandingkan negara maju. Durnev dan Kim (2002) memberikan bukti
bahwa praktik good governance lebih bervariasi di negara yang memiliki hukum
lebih lemah. Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) merupakan standar yang harus
diikuti dalam laporan keuangan instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pengguna laporan keuangan akan menggunakan SAP untuk memahami informasi yang disajikan dalam
laporan keuangan. Laporan pertanggungjawaban keuangan daerah (LPJ keuangan
daerah) dan laporan pertanggungjawaban kinerja kepala daerah (LPJ kinerja)
berpengaruh positif dan signifikan terhadap atas akuntabilitas publik
pemerintah daerah dan penerapan IPSAS berpengaruh positif terhadap
akuntabilitas publik pemerintah (Anondo, 2004).
Kendala yang
sering dihadapi dalam menerapkan SAP terkait dengan Good Governance
- Kurangnya Komitmen dari seluruh elemen terkait dalam menerapkan prinsip tranparansi dan akuntabilitas dalam menyelenggarakan pemerintahan.
- Penerapan Standar Akuntansi Sektor publik yang belum diterapkan secara menyeluruh.
- Kurangnya Sumber daya manusia yang handal dalam mengelola laporan keuangan di daerah, namun disisi lain para akuntan yang memang memiliki kemampuan kurang tertarik untuk masuk kedalam bidang tersebut.
- Adanya sistem pengendalian internal pada departemen, daerah provinsi, kabupaten, kota yang belum melakukan fungsi pengendaliaanya secara efisien, efektif, serta kehandalan dalam melakukan audit.
0 Komen:
Posting Komentar