BAB III
APLIKASI KEIMANAN
DALAM BERBAGAI ASPEK KEHIDUPAN
A. Perbedaan Filsafat dengan Ilmu Kalam
Filsafat berasal dari kata philos yg berarti cinta dan Sophia
yg berarti hikmah atau pengetahuan. Dengan kata lain filsafat berarti cinta
terhadap ilmu pengetahuan.[1]
Secara istilah filsafat berarti ilmu yang berusaha mencari sebab musabab dari
segala sesuatu, memecahkan permasalahan dan mencari kebenaran sesungguhnya. Selain
itu filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan
sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Orang
yang menekuni ilmu filsafat disebut filosof.[2]
Sedangkan dikalangan Islam filsafat dipandang perlu untuk
dipelajari untuk menyiarkan, mengembangkan pemikiran, memperkuat dan mempertahankan
agama Islam, dalam Islam dikenal sebagai Ilmu Kalam.[3]
Ilmu
kalam adalah ilmu berisi alasan-alasan yang mempertahankan
kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi
bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan
aliran golongan salaf dan Ahli Sunnah.[4]
Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa ilmu kalam adalah ilmu yang
membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan dengan bukti-bukti
yang meyakinkan.
Orang yang menekuni ilmu kalam dinamakan mutakalimin.[5]
Perbedaan keduanya yaitu:[6]
1. Mutakallimin :
Cara
mempelajari: Nas Agama (Al Qur’an dan Hadits)
Yang dipelajari hanya terbatas
hal-hal yang menurut nas mungkin diketahui seperti roh, zat Tuhan mutakallimin
tidak mempelajari.
2. Filosof :
Cara mempelajari: Nas-nas yang
mendukung teori argumen rasional bahkan kadang menggunakan takhwil Al
Qur’an.
Yang
dipelajari tidak terbatas bahkan zat Tuhan, roh dan sebagainya.
Kesimpulan 1, dapat dikemukakan bahwa perbedaan
antara ilmu kalam dan filsafat adalah dalam ilmu kalam, filsafat dijadikan
sebagai alat untuk membenarkan ayat-ayat al-Qur’an, sedangkan dalam filsafat
sebaliknya, ayat-ayat al- Qur’an dijadikan bukti untuk membenarkan hasil-hasil
filsafat.
Kesimpulan 2, pembahasan dalam ilmu kalam terbatas
pada hal-hal yang tertentu saja. Masalah yang dimustahilkan Al-Qur’an
mengetahui tidak dibahas oleh ilmu kalam tetap dibahas oleh filsafat.
Ajaran tauhid diturunkan semenjak manusia pertama yaitu nabi
Adam AS sampai nabi terakhir nabi Muhammad SAW. Maka tidak benar teory Charles
Darwin mengenai teori asal muasal Agama. dengan alasan:
Kalau agama islam muncul melalui proses evolusi sesuai
dengan tingkat dan kemajuan ilmu pengetahuan berarti agama islam adalah produk
manusia. Sedangkan islam adalah agama wahyu, dating dari Allah SWT. Ia bukan
kebudayaan, sekalipun ia melahirkan kebudayaan dan peradaban.
Kalau Adam a.s adalah seorang Nabi, tentu ia diberi bekal
oleh Allah SWT dengan agama tauhid atau monoteisme. Dalam kepercayaan Umat
berima, Adam adalah Nabi.
Akidah Islam tidak mengalami evolusi semenjak nabi pertama
sampai sekarang yaitu menganut satu tuhan yaitu Allah SWT. Bukan hasil buatan
manusia. Sebagai argument yang kuat dijelaskan dalam Al Qur’an yang intinya
seperti ini ” jika kalian berprasangka Al Qur’an ini buatan manusia terdahulu
coba kalian membuat satu ayat saja yg seperti Al Quran!”
Ilmu tauhid adalah ilmu yang mempelajari bagaimana bertauhid
secara benar sesuai Al Qur’an dan Hadits.karena perbedaan latar belakang
,pemikiran, metode pendekatan yg berbeda beda maka timbul aliran aliran atau
firqah dalam ilmu tauhid,bahkan sekte dalam satu firqah.
Jalan yang paling mudah dan dekat untuk mengenali Allah
adalah dengan metafakuri alam ciptaan Allah SWT baik di dalam diri manusia
maupun luar manusia. Sebagaimana diperintahkan dalam surat Al-Baqoroh QS:2:164.
“Dalam
Al Quran disebutkan “berpikirlah tentang makhluk Allah dan jangan kamu berpikir
tentang zat Allah, sebab kamu tidak akan mencapai hakekatnya.”
Bentuk, wajah Allah bukan jangkauan akal manusia,sebab akal
manusia hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat nyata, yang dapat dijangkau
oleh rasio.
Dengan keyakinan penuh adanya Allah SWT, maka manusia akan
mempercayai Rukun iman yang lain (malaikat, kitab, rasul, hari kiamat dan qodo
dan qodar)
Dengan keimanan yang kuat mendorong meningkatnya frekuensi
ibadah,sebab ibadah adalah indicator keimanan manusia disamping sikap,tingkah
laku dan perbuatan manusia. Dengan kata lain ketebalan iman bergantung pada
kualias ibadahnya.memelihara Iman paling penting dengan cara zikir disetiap
keadaan, dan selalu ingat akan kewajibannya sebagai hamba Allah.
Orang yang tertanam Iman di dadanya,diikutu amal ibadah dan
ditunjang dengan sikap,perilaku dan perbuatan nilai-nilai kethuidan dinamakan
muttaqin.
Ciri-ciri
muttaqin disebutkan dalam Al Quran :
1.
Surat
Al-Baqoroh ayat 3-4 :[8]
a.
Percaya kepada yang ghaib.
b.
Mendirikan shalat.
c.
Menafkahkan rezeki kepada orang yang
membutuhkan untuk menegakkan agama Allah swt.
d.
Mempercayai dan mengamalkan kitab
yang datang dari Allah swt.
e.
Percaya dan yakin pada hari akhir
(hidup sesudah mati).
2.
Surat
Al-Baqoroh ayat 177 :[9]
a.
Beriman
kepada nabi dan rasul.
b.
Membayar
zakat.
c.
Menepati
janji.
d.
Sabar
dalam kesempitan, penderitaan, dan peperangan.
3.
Surat
Al-Imran ayat 134-135 :[10]
a.
Menahan
amarahnya.
b.
Memaafkan
orang lain.
c.
Ingat
kepada Allah apabila melakukan perbuatan keji,lalu bertobat dan meminta ampun
atas dosanya dan tidak melakukan perbuatannya lagi.
Firman Allah,
“Manusia bertaqwa memiliki sikap-sikap perbuatan yang terpuji. Diantaranya,
memiliki kesabaran yang tinggi. Tidak angkuh dan tidak sombong. Tidak
diperbudak oleh benda tetapi mampu menguasai benda/materi.” (QS.11:49)
Dalam
perjalanan hidupnya orang-orang bertaqwa selalu memilih yang terbaik.
Senantiasa bertindak dengan perangai terpuji. Tidak pernah terhalang dirinya
untuk berbuat kebaikan. Segera menyambut amal baik denan ikhlas. Begitulah
sikap yang menonjol yang selalu dikenal oleh Allah (QS. 3 :115, 9 : 44).
Dari
ciri-ciri muttaqin tersebut maka muttaqin mencakup dua hal yaitu perpaduan iman
dan amal shaleh.
Pendidikan dan pengajaran merupakan hal yang penting bagi
kehidupan manusia. Dengan pendidikan dan pengajaran itulah Umat manusia dapat
maju dan berkembang biak, melahirkan kebudayaan dan peradaban positif yang
membawa kepada kebahagiaan dan kesejahteraan hidup mereka.
Yang dimaksud dengan pendidikan tauhid di sini ialah
pemberian bimbingan kepada anak didik agar ia memiliki jiwa tauhid yang kuat
dan mantap dan memiliki tauhid yang baik dan benar. Bimbingan itu dilakukan
tidak hanya dengan lisan dan tulisan, tetapi juga bahkan ini yang terpenting
dengan sikap, tingkah laku perbuatan. Sedangkan yang dimaksud dengan pengajaran
tauhid ialah pemberian pengertian tentang ketauhidan, baik pada kebahagiaan
hidup dunia dan ukhrawi.
Pendidikan dan pengajran tauhid, baik yang berhubungan
dengan akidah maupun dalam kaitan dengan ibadah, akanmenanamkan keikhlasan pada
diri seseorang dalam setiap tindakan atau perbuatan pengabdiannya. Keikhlasan
dalam mengabdi kepada Allah inilah yang membuat tauhid bagaikan pisau bermata
dua, satu segi untuk kehidupan di Akhirat, sisi lain untuk kehidupan di dunia.
Pembentukan kepribadian taqwa berkaitan sangat erat dengan
tauhid. Penanaman tauhid yang baik dan benar kepada anak akan sangat menentukan
terwujudnya kepribadian takwa tersebut. Pertama, tauhid merupakan fondasi yang
diatasnya berdiri bangunan-bangunan kehidupan manusia, termasuk jepribadiannya,
dengan makin kuat dan kokohnya tauhid, makin baik dan sempurna kepribadian
takwa seseorang. Kedua, tauhid merupakan aspek batin yang memberikan motivasi
dan arah bagi perkembangan kepribadian manusia.
Jika akidah atau keyakinan sebagaimana diajarkan islam di
atas tertanam dalam jiwa seseorang, mentalnya akan kuat, jiwa tidak tergoncang
hanya oleh karena orang lain tidak memberikan penghargaan kepada-Nya.
Dalam membina akidah dan ibadah, agama juga tidak bisa
berjalan sendiri, Ia harus dibantu oleh ilmu pengetahuan. Ilmu dapat
menjelaskan dan menafsirkan arti dan makna akidah dan ibadah secara rsional
sehingga ia tidak hanya diterima dengan rasa ( iman ) tapi juga diterima dengan
rasio. Hal ini akan lebih memantapkan rasa keberagamaan dan keyakinan seseorang
serta menumbuhkan kesadarannya yang mendalam untuk memperkuat iman dan
melaksanakan ibadah dengan baik dan benar.
[1]Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Askara, 1994), cet. IV, hlm.1.
[2] Omar Mohammad
Al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan
Islam, (terj.) Hasan Langgulung dari judul asli Falsafah Al-Islamiyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), cet. I,
hlm.25.
[4]
A. Hanafi. Theologi Islam (Ilmu Kalam),
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), cet.II. hlm.10.
[5]
DR. H. Abuddin Nata, MA, Metodologi Studi
Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2000), cet. IV, hlm.220.
0 Komen:
Posting Komentar