BAB IV
HUBUNGAN
IMAN DENGAN IBADAH DAN ETIKA/MORAL
A.
Hubungan
Iman dengan Ibadah
Iman adalah
membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan serta mengamalkan dengan
perbuatan. Yang dimaksud membenarkan dengan hati yaitu mempercayai dan meyakini
segala yg dibawa rasulullah. Yang dimaksud dengan mengikrarkan dengan lisan
adalah mengucap dua kalimah syahadat. Sedangkan maksud dari mengamalkan dengan
perbuatan yaitu hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan dan badan mengamalkan
dalam bentuk ibadah jika syarat – syarat diatas terpenuhi maka seorang dapat
dikatakan “Mukmin”.[1]
Ibadah berasal
dari kata ‘abd secara bahasa berarti “hamba sahaya”, “anak panah yang pendek dan lebar”, dan “tumbuhan yang memiliki aroma yang harum”. Pengerttian tersebut
mengisyaratkan bahwa ibadah mengandung ciri-ciri kekokohan dan kelemahlembutan,
maksudnya pelaksanaan ibadah harus diiringi oleh kesetiaan yang kuat dan
kehalusan. Secara bahasa ibadah diartiakan seagai penyembahan,pengabdian, dan
ketaatan.[2]
Hubungan iman
dengan ibadah adalah sejauh mana keimanan dapat mempengaruhi ibadah dan etika
atau moral dan sebaliknya. Keimanan atau akidah adalah fondasi dari semua
ajaran Islam, yaitu akidah, syariah dan akhlak.
Seseorang yang
telah beriman atau barakidah harus mengimplentasikan keimanannya dengan syariah
yaitu beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan sesama manusia dan alam
sekitar.
Akidah
diwujudkan dalam pengucapan dua kalomat syahadat, diimani, diyakii dan
dibenarkan dalam hatinya. Sebagai wujud keimannnya kepada Allah, dia harus
melaksanakan syariah berupa ibadah atau ibadah madhah dan ibadah muamalah
ghairu madhah. Yang mana ibadah madhah artinya penghambaan yang murni
hanya merupakan hubung an antara hamba dengan Allah secara langsung.[3]
Sedangakan ibadah muamalah ghairu madhah
artinya segala amalan yang diizinkan oleh Allah, misalnya ibadaha ghairu
mahdhah ialah belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya.[4]
Orang yang
beriman disebut mukmin. Sedangkan seorang mukmin yang teah melakukan ibadah dan
muamalah disebut muslim. Seseorang mukmin belum dapat disebut muslim apabila
dia belum melaksanakan ibadah, baik ibadah mahdhah maupun ibadah gairu madhah.
Keimanan dan keislaman seseorang harus dilengkapi dengan ibadah dalam rukun
Islam yaitu syahadat, shlat, zakat, puasa dan haji.
Keimanan kepada
Allah menyebabkan keiman kepada malaikat, Allah, kitab-kitab Allah, Rasul-rasul
Allah, hari kiamat dan qadha dan qadar Allah. Iman yang baik dan benar harus
diwujudkan dalam amaliyah yang sesuai hukum-hukum Allah, antara lain
melaksanakan rukun Islam yang lima barusan. Maka keimanan seseorang sangat erat
kaitannya dengan ibadah. Bahkan tujuan akhir dari ibadah adalah beriman kepada
Allah SWT, dan kepada rukun iman yang enam barusan.
Syahadat
diucapkan dengan lisan, dibenarkan dengan hati, dan dibuktikan dengan amaliyah
berupa ibadah. Keeratan hubungan iman dengan ibadah dinyatakan Allah dengan
menyebutkan iman(aamanu) selalu diiringi dengan amal shaleh (aamilush
shaliahat).
Iman dengan
ibadah juga memiliki hubungan kausalitas (sebab akibat). Kualitas iman
seseorang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ibadah orang tersebut. Makin
tinggi kualitas ibadah seseoarang (misal shalat makin khusu’, mengurangi atau
menghilangkan syirik kepada Allah). Dan kuantitasnya ( misal menambah shalat
wajib dengan shalat sunnah, banyak bershadaqah) akan menambah dan mempertebal
iman seseorang, makin mngurangi dan mempertipis, bahkan dapat menghilangkan
kualitas iman seseorang kepada Allah SWT.
Pelaksanaan
ibadah yang dilandasi iman yang kuat memberikan dampak positif terhadap sikap
dan perilaku seorang muslim.
Allah berfirman :
تْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ
الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ
اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
Artinya : “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran)
dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah
(shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Ankabut 45)[5]
Shalat itu
mengandung dua hikmah, yaitu dapat menjadi pencegah diri dari perbuatan keji
dan perbuatan munkar. Maksudnya dapat menjadi pengekang diri dari kebiasaan
melakukan kedua perbuatan tersebut dan mendorong pelakunya dapat
menghindarinya.[6]
Denagn keimanan seeorang akan tunduk
dan patuh kepada aturan-aturan Allah. Dengan demikian sesungguhnyalah sangat
erat hubungan dan saling mempengaruhi antara iman dengan ibadah kepada Allah
SWT.
B.
Hubungan
Antara Iman dengan Etika (Moral)
Pengertian
Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti
watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat
dengan perkataan moral yang merupa¬kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos”
dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara
hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan
menghin-dari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama
pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu
moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika
adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Etika adalah Ilmu yang
membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami
oleh pikiran manusia.[7]
Etika
berhubungan denagn kesusilaan. Kesusilaan memberikan gambaran kepribadian
seseoarang. Pribadi berarti diri sendiri. Secara psikologi kepribadian meliputi
semua aspek kehidupan seseorang dan keseluruhan kualitas dirinya yang dapat
diperhatikan pada cara berbuat, berpendapat, bersikap, minat, berfalsafah dan
sebagainya.
Kepribadian
merupakan organisasi dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang
enentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Kepribadian memiliki sifat berkembang dan kerjanya meliputi tubuh dan jiwa, dan
memiliki ciri khas satu sama lainnya dalam penyesuaian diri terhadap
lingkungannya.Dalam Islam seorang ibu yang sedang mengandung supaya berdoa agar
anaknya kelak sehat, shaleh, berbakti kepada orang tua, berguna bagi bangsa dan
negara serta agama. Setelah anak dilahirkan, menjadi tugas orang tuanya yang
mendidik anak-anaknya. Orang tua dan lingkungan hidup seoarang anak sangat
merpengaruh terhadap pembentukan kepribadian seorang anak. Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah dan pengaruh pendidikan orang tua.
Berikut hadis yang menjelaskannya :[8]
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ.
Hadis
riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam
bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan
dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang
Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi. Sebagaimana seekor binatang yang
melahirkan seekor anak tanpa cacat, apakah kamu merasakan terdapat yang
terpotong hidungnya?.”
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُشَرِّكَانِهِ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! أَرَأَيْتَ لَوْ مَاتَ قَبْلَ ذَلِكَ؟ قَالَ “اَللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوْا عَامِلِيْنَ.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُشَرِّكَانِهِ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! أَرَأَيْتَ لَوْ مَاتَ قَبْلَ ذَلِكَ؟ قَالَ “اَللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوْا عَامِلِيْنَ.
Hadis
riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam
bersabda: “Setiap anak itu dilahirkan
dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang
Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang musyrik.” Lalu seorang laki-laki
bertanya: “Ya Rasulullah! Bagaimana pendapat engkau kalau anak itu mati sebelum
itu?” Beliau menjawab: “Allah lebih tahu tentang apa yang pernah mereka
kerjakan.”
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ؛
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ عَنْ أَوْلاَدِ الْمُشْرِكِيْنَ. فَقَالَ :اَللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوْا عَامِلِيْنَ.
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ عَنْ أَوْلاَدِ الْمُشْرِكِيْنَ. فَقَالَ :اَللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوْا عَامِلِيْنَ.
Hadis
riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu:
Bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi
wassalam pernah ditanya tentang anak orang-orang musyrik, lalu beliau menjawab:
Allah lebih tahu tentang apa yang pernah
mereka kerjakan.
Pembentukan
moral atau akhlak manusia merupakan tugas pokok dari diutusnya Rasul dan Nabi
oleh Allah SWT.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :[9]
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ (وَفِى رِوَايَةٍ : صَالِحَ)
اْلأَخْلاَقِ. أخرجه البخاري فى الأدب المفرد والحاكم وغيرهما
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (dalam riwayat lain: yang shalih).”
(Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab al-Adab
al-Mufrad, Imam al-Hakim dan lain-lain.)
Untuk
membentuk pribadi yang bermoral harus dibentengi dengan keimanan dan ketakwaan
kepada Allah, yang dimulai dari
lingkungan keluarga dan dilakukan sedini mungkin sesuai tingkat perkembangan
kemampuan anak. Kepribadian dalam Islam adalah ketakwaan, maka setiap proses
pembentukan kepribadian menuju kepada takwa kepada Allah SWT. Takwa disini
dimaksud meliputi keimanan kepada Allah, ibadah kepada Allah dan berhubungan
sesama manusia dan lingkungannya, termasuk kemasyarakatan dan kenegaraan.
Pembentukan kepribadian dimulai dengan penanaman ketauhidan kepada anak, sebab
:[10]
1.
Tauhid
memberikan ketentraman batin dan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan
kemusyrikan.
2.
Tauhid
membentuk sikap dan perilaku keseharian seseorang.
3.
Tauhid
sebagai aqidah dan falsafah hidup.
4.
Tauhid
sebagai ilmu yang merupakan hasil pengkajian para ulama terhadap apa yang
tersurat dan tersirat di dalam al qur’an dan hadits.
5.
Tauhid
sebagai sebagian sumber dan motivator perbuatan kebajikan dan keutamaan.
6.
Tauhid
membimbing manusia ke jalan yang benar, sekaligus mendorong mereka untuk
mengerjakan ibadat dengan penuh keikhlasan.
7.
Tauhid
mengeluarkan jiwa manusia dari kegelapan, kekacauan, dan kegoncangan hidup yang
dapat menyesatkan.
8.
Tauhid
mengantarkan umat manusia kepada kesempurnaan lahir dan batin.
Oleh sebab itu
upaya membentuk kepribadian manusia dengan memantapkan, menguatkan dan
mengokohkan akidah dalam diri manusia. Denagn akidah yang kuat, pikiran manusia
menjadi tenang, emosinya stabil dan jiwanya tenteram, sehingga kepribadiannya
juga mantap.
Dengan akidah
yang kuat mentalnya juga kuat dan tangguh, tidak tergoda oleh perhatian, cinta
kasih dan kepedulian orang lain yang menjauhi akidah seseoarang. Baginya yang
penting adalah perhatian, kasih sayang dan kepedulian dari Allah SWT, yang
diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan positif.
[2] Drs. Supriadi, Dra.
Hasanah, M.Ag., Drs. Pabali H. Musa, M. Ag., Buku Ajar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: cv. Grafika Karya
Utama, 2001), cet. II, hlm. 165.
[3] http://umayonline.wordpress.com/2008/09/15/ibadah-mahdhah-ghairu-mhadhah/
[4] p://www.facebook.com/note.php?note_id=10150115326145849
[6]
http://wisnusudibjo.wordpress.com/2009/10/19/tafsir-ibnu-katsir-%E2%80%93-al-%E2%80%99ankabut-45/
[7] http://erniritonga123.blogspot.com/2010/01/definisi-etika.html
[8] http://mromi.wordpress.com/2010/04/30/setiap-anak-dilahirkan-dalam-keadaan-fitrah-dan-pengaruh-pendidikan-orang-tua/
[10] http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/tauhid/)/(Dunia Ilmu Rumahnya Pengetahuan
Indonesia
0 Komen:
Posting Komentar