BAB VI
SEJARAH
TIMBULNYA PERSOALAN TEOLOGI DALAM ISLAM
A. Awal terjadinya
masalah teologi dalam Islam.
1.
Awalnya
karena persoalan politik, lalu berlanjut pada masalah akidah dan takdir.
Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran Islam di
Makkah, kota ini memiliki sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan
suku bangsa Quraisy. Sistem pemerintahan kala itu dijalankan melalui majelis
yang anggotanya terdiri atas kepala-kepala suku yang dipilih menurut kekayaan
dan pengaruh mereka dalam masyarakat.
Tetapi, pada saat Nabi SAW diangkat sebagai pemimpin,
beliau mendapat perlawanan dari kelompok-kelompok pedagang yang mempunyai
solidaritas kuat demi menjaga kepentingan bisnisnya. Akhirnya, Nabi SAW bersama
para pengikutnya terpaksa meninggalkan Makkah dan pergi (hijrah) ke Yatsrib
(sekarang bernama Madinah) pada tahun 622 M.
Ketika masih di Makkah, Nabi SAW hanya menjadi pemimpin
agama. Setelah hijrah ke Madinah, beliau memegang fungsi ganda, yaitu sebagai
pemimpin agama dan kepala pemerintahan. Di sinilah awal mula terbentuk sistem
pemerintahan Islam pertama, yakni dengan berdirinya negara Islam Madinah.
Ketika Nabi SAW wafat pada 632 M, daerah kekuasaan
Madinah tak sebatas pada kota itu saja, tetapi meliputi seluruh Semenanjung
Arabia. Negara Islam pada waktu itu, sebagaimana digambarkan oleh William
Montgomery Watt dalam bukunya yang bertajuk Muhammad Prophet and Statesman,
sudah merupakan komunitas berkumpulnya suku-suku bangsa Arab. Mereka menjalin
persekutuan dengan Muhammad SAW dan masyarakat Madinah dalam berbagai bentuk.
Sepeninggal Nabi SAW inilah timbul persoalan di Madinah,
yaitu siapa pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu. Dari
sinilah, mulai bermunculan berbagai pandangan umat Islam. Sejarah meriwayatkan
bahwa Abu Bakar as-Siddiq-lah yang disetujui oleh umat Islam ketika itu untuk
menjadi pengganti Nabi SAW dalam mengepalai Madinah. Selanjutnya, Abu Bakar
digantikan oleh Umar bin Khattab. Kemudian, Umar digantikan oleh Usman bin
Affan.[[1]]
1. Munculnya perselisihan
Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat
khilafah Islamiyah mengalami suksesi kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali
bin Abi Thalib. Masa pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal
perpecahan di kalangan umat Islam. Namun, bibit-bibit perpecahan itu mulai
muncul pada akhir kekuasaan Usman.
Di masa pemerintahan khalifah keempat ini, perang secara
fisik beberapa kali terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para
penentangnya. Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan
dan kesatuan umat. Sejarah mencatat, paling tidak, dua perang besar pada masa
ini, yaitu Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi antara Ali dan Aisyah yang
dibantu Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah serta Perang Siffin yang
berlangsung antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.
Faktor penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh yang Ali
tidak mau menghukum para pembunuh Usman. Ali sebenarnya ingin sekali
menghindari perang dan menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan
tersebut ditolak oleh Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah terbunuh
ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke
Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan Ali semasa memerintah juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari
gubernur di Damaskus, Muawiyah bin Abu Sufyan, yang didukung oleh sejumlah
bekas pejabat tinggi di masa pemerintahan Khalifah Usman yang merasa kehilangan
kedudukan dan kejayaan.
Perselisihan yang terjadi antara Ali dan para
penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti
Syiah, Khawarij, Murjiah, Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal
Jamaah, Jabbariyah, dan Kadariah.
Aliran-aliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat
percaturan politik yang terjadi, yaitu mengenai perbedaan pandangan dalam
masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek sosial dan politik). Namun, dalam
perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang
berorientasi pada politik menjadi persoalan keimanan.
''Kelompok khawarij yang
akhirnya menjadi penentang Ali mengganggap bahwa Ali tidak melaksanakan
keputusan hukum bagi pihak yang memeranginya sebagaimana ajaran Alquran. Karena
itu, mereka menunduh Ali kafir dan darahnya halal,'' kata guru besar filsafat
Islam, Prof Dr Mulyadi Kartanegara, kepada Republika.
Sementara itu, kelompok yang
mendukung Ali dan keturunannya (Syiah) melakukan pembelaan atas tuduhan itu.
Dari sinilah, bermunculan berbagai macam aliran keagamaan dalam bidang teologi.
Selain persoalan politik dan
akidah (keimanan), muncul pula pandangan yang berbeda mengenai Alquran (makhluk
atau kalamullah), qadha dan qadar, serta
sebagainya. [[2]]
B. Sejarah latar
belakang munculnya
pesoalan kalam atau teologi dalam Islam
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu
oleh persoalan politik yang mengangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan
yang berujung pada penolakan Mu’awiyah terhadap kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib. Ketegangan ini mengakibatkan timbulnya perang siffin yang berakhir
dengan keputusan tahkim (arbitrase).
Kemudian hal ini mengakibatkan perpecahan di pasukan Ali
sehingga pasukan Ali terbagi menjadi dua. Yang tetap mendukung keputusan Ali
disebut golongan Syi’ah sedangkan yang tidak setuju dan keluar dari pasukan Ali
disebut golongan Khawarij.
Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul
adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang tidak kafir. Persoalan ini
telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu:
a.
Aliran Khawarij, yang
berpendapat orang yang berdosa besar adalh kafir artinya murtad, maka wajib
dibunuh.[[3]]
b.
Aliran Murji’ah, yang berpendapat pelaku dosa besar tetap mukmin
bukan kafir.
c.
Aliran Mu’tazilah, berpendapat
pelaku dosa bukan kafir dan bukan mukmin, posisinya adalah antara mukmin dengan
kafir atau al manzialah bainal
manzilatain.[[4]]
C.
Paham Qadariyah dan
Jabariyah
Persoalan kedua adalah perbuatan manusia. Apakah dilakukan atas kehendak
dan perbuatan manusia atau ditentukan Allah.
a)
Qadariyah adalah
suatu aliran yang percaya bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak
dan perbuatannya, dalam istilah inggrisnya free will dan free act. Aliran ini berpendapat tiap-tiap orang adalah pencipta
bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendak sendiri.
b)
Jabariayah berpendapat
manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Perbuatan
manusia adalah bertindak atas paksaan Allah. Segala gerak-gerik manusia
ditentukan Allah. Paham ini disebut Paham predestination atau fatalisme.[[5]]
D.
Aliran Asy’ariyah, Al Maturidiyah, dan At Tahawi
Perlawanan tehadap Mu’tazilah datang dari pengikut
aliran tradisional islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut
mahzab ibnu hambali. Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi
tradisional yang didirikan oleh Abu Al-Hasan al asy’ari (935 M) yang dikenal
dengan teologi asy’ariyah. Al-asy’ari berpendapat bahwa terhadap pelaku dosa besar, tidak mengkafirkan orang-orang
yang sujud ke baitullah (ahl al-qiblah), walaupun melakukan dosa besar seperti
berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman
dengan keimanan yang mereka miliki, selalipun berbuat dosa besar, akan tetapi,
jika dosa besar itu tetap dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan
(halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun
balasan diakhirat kelak tergantung kehendak Allah.[[6]] Dalam bidang fikih, Abu Hasan Asy`ari mengikuti mazhab
Syafi`i. Di masa sekarang, sebagian besar pengikutnya juga berkiblat kepada
Imam Syafi`i dalam masalah hukum.[[7]]
Di samarkand aliran yang menentang mu’tazilah
didirikan oleh abu mansyur muhammad almaturidi (w. 944 M) yang dikenal dengan
aliran al Maturidiyah. Tentang Perbuatan Manusia, menurut
Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu
sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang
secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata
diwujudkan oleh manusia itu sendiri.
Selain dari Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi, muncul pula penentang mu’tazilah yaitu at tahawi (933 M) pengikut
iman hanafi. Tetapi ajaran-ajaran at Tahawi tidak menjadi aliran teologi dalam
islam. Maka aliran aliran teologi dalam islam adalah khawarij, syia’ah,
Murji’ah, Mukthazilah, asy’ariyah dan Mathuridiyyah. Aliran aliran yang masih
ada sampai sekarang adalah Asy’ariyah dan Mathuridiyyah yang keduanya disebut
Ahlussunnah Waljama’ah atau Sunni dan Syi’ah.
Mathuridiyyah banyak dianut pengikut Madzhab Hanafi,
sedangkan aliran asy’ariyah dianut Sunni. Dengan masuknya kembali paham
rasionalisme ke dunia islam, maka banyak kalangan intlektual muslim yang
menggunakan ajaran-ajaran mu’tazilah, sehingga disebut neo mu’tazilah.
0 Komen:
Posting Komentar