Minggu, 11 Desember 2011

Iman dan Kufur


BAB XII
IMAN DAN KUFUR

A.    Iman

1.      Pengertian

Secara bahasa kata “iman” berasal dari bahasa Arab “amana” yang berarti “memberi keamanan”. Atau “amana-yu’minu-imanan” berarti “percaya”. Berdasarkan Al-Qur’an iman adalah mempercayai segala sesuatu yang diturunkan Allah kepada nabi-nabi-Nya. Sedangkan menurut Jumhur iman adalah membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan perbuatan. Serta berdasarkan hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menerangkan: Iman itu adalah engkau percaya kepada (rukun iman yang enam).[1]
Jika dilihat dari asal bahasa kata iman berasal dari bahasa arab yang berarti membenarkan, dan dalam bahasa Indonesia kata iman berarti percaya yaitu sebuah kepercayaan dalam hati dan membenarkan bahwa adanya Allah SWT itu benar-benar ada serta membenarkan dan mengamalkan semua yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan mempercayai Rasul-Rasul sebelumnya. Iman merupakan inti dasar dari sebuah peribadatan, tanpa adanya keimanan sangat mustahil seseorang dapat membenarkan adanya Tuhan.

2.      Istilah Teologi[2]

Dari pengertian diatas, kemudian di dalam pembahasan ilmu tauhid/kalam, konsep iman dan kufur ini terpilih menjadi tiga pendapat:
a.       Iman adalahtashdiq di dalam hati. Menurut konsep ini, iman dan kufur semata-mata urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudahtashdiq (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah, ia sudah disebut beriman, sekalipun perbuatannya tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Konsep Iman seperti ini dianut oleh mazhab Murjiah, sebagaian penganut Jahmiah, dan sebagaian kecil Asy’ariah.
b.      Iman adalahtas hdiq di dalam hati dan di ikrarkan dengan lidah. Dengan kata lain, seseorang bisa disebut beriman jika ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaannya itu dengan lidah. Konsep ini juga tidak menghubungkan iman dengan amal perbuatan manusia. Yang pentingtashdiq dan ikrar. Konsep iman seperti ini dianut oleh sebagian pengikut Maturidiah
c.       Iman adalahtas hdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan, konsep ketiga ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman. Karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan lain-lain.

Secara umum muktazillah merumuskan unsur-unsur iman terdiri dari al-tasdiq bi al-qalb; al-iqrar bi al-lisan. Bagi Murjiah, bahwa iman itu hanyalah ma’rifah kepada Allah semata-mata. Sedangkan bagi Asy’ariyyah, iman ialah membenarkan dengan hati, dan itulah iktikad. Disini terdapat persaman antara konsep Murjiah dan Asy’ariyyah yang menekankan tugas hati bagi iman atas pengakuan. Cuma Murjiah menggunakan perkataan ma’rifah, sementara Asy’ariyyah menggunakan al-tasdiq.[3]
Selanjutnya konsep Maturidiyyah secara umumnya sama dengan konsep Asy’ariyyah dari ahli al-sunnah wa al-jama’ah, cuma sedikit perbedaan, yaitu bagi Maturidiyyah tasdiq dengan hati mesti satu kesatuan beriqrar dengan lidah. Sedangkan bagi Asy’ariyyah hanya dengan pengakuan hati untuk membuktikan keimanan, taqrir dengan lisan tidak diperlukan, kerana taqrir dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam adalah merupakan cabang dari iman.
Pendapat Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah golongan Asy’ariyyah yang agak lebih lengkap tentang iman seperti yang diberikan oleh al-Baghdadi yang dikutip oleh Harun Nasution, ia menerangkan bahawa ada tiga bahagian.
a.       Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka, yaitu: Mengakui Tuhan, kitab, para Rasul, qadar baik dan jahat, sifat-sifat Tuhan dan segala keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
b.      Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fasiq dari seseorang serta melepaskan dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.
c.       Iman yang menjadikan seseorang itu memperoleh prioritas untuk langsung masuk ke surga tanpa perhitungan, yaitu mengerjakan segala yang wajib serta yang sunat dan menjauhi segala dosa.
Dari uraian di atas, dapat dibuat kesimpulan bahawa konsep iman dari lima aliran ini, secara umum dapat dibagi kepada dua:
1)      Konsep yang menerima unsur-unsur iman itu secara mantap ketiga-tiganya, yaitu, al-tasdiq bi al-qalb; al-iqrar bi al-lisan, al-‘amal bi al-jawarih atau al-‘amal bi al-arkan.
2)      Konsep yang menekankan kepada unsur pertama saja dari ketiga-tiga unsur tersebut. Unsur-unsur kedua dan ketiga bagi golongan ini hanya merupakan cabang-cabang saja dari iman. Pendapat yang kedua ini terdapat pada golongan yang berpendapat arti iman sebagai ma’rifah dan tasdiq. Golongan ini termasuk Murjiah, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.

Dalam hal hukum kewajiban beriman, kewajiban beriman kepada Allah dapat diketahui melalui wahyu dan akal. Mu’tazilah, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah sependapat mengatakan bahwa mengetahui adanya Allah dapat diketahui melalui akal, tetapi tentang wajibnya beriman hanya semata-mata karena akal tidak disetujui oleh Asy’ariyyah. Bagi Asy’ariyyah soal wajibnya beriman adalah melalui ketentuan wahyu, bukan lantaran akal. Pendapat Asy’ariyyah itu ditolak oleh Mu’tazilah dan Maturidiyyah. Bagi kedua aliran ini, akal sudah dapat mengantar manusia untuk wajib beriman kepada-Nya.
Sejak kapan orang itu mulai diwajibkan beriman kepada Allah. Menurut Mu’tazilah dan Abu Mansur al-Maturidi, apabila manusia telah berakal. Umur atau usia tidak dipandang, usia anak atau orang dewasa, wajib beriman kepada Tuhan. Sebaliknya bagi Asy’ariyyah, anak-anak yang belum baligh atau dewasa, belum berakal, mereka tidak diwajibkan beriman, karena mereka belum ditaklifkan atau diberikan beban tanggungjawab. Selanjutnya bagi Imam al-Syafi’i, pengikut Asy’ariyyah, mengatakan bahwa anak-anak belum dianggap wajib menerima seruan dakwah.
Pembahasan berikut adalah mengenai kewajiban beriman bagi manusia sebelum adanya Rasul. Menurut Mu’tazilah dan Maturidiyyah aliran Samarkand walaupun Tuhan belum mengutus Rasul kepada manusia, tetapi dengan akal manusia sudah wajib mengenal Allah dan keEsaan-Nya, begitu juga mengenai kewajiban beriman sebelum Rasul diutuskan oleh Allah. Mereka merujuk kepada surah Nuh, 71: I-2:Terjemahnya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan): "Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih". Nuh berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu“.(Qs. An-Nuh:1-2)[4]




3.      Iman dapat bertambah atau berkurang?[5]

Ada dua pendapat mengenai hal ini, yaitu:
a.       Iman tidak dapat bertambah atau berkurang.
b.      Iman bisa bertambah dan berkurang. Pendapat ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
1)      Yang bertambah adalah tashdiq dan amal.
2)      Yang bertambah hanya tashdiqnya.
4.      Sebab-sebab Bertambahnya Iman
a.       Belajar ilmu yang bermanfaat yang bersumber dari al-Qur`aan dan as Sunnah. Hal ini menjadi sebab pertambahan iman yang terpenting dan bermanfaat karena ilmu menjadi sarana beribadah kepada Allah Ta’ala dan mewujudkan tauhid dengan benar dan pas.[6]
b.      Merenungi ayat-ayat kauniyah. Merenungi dan meneliti keadaan dan keberadaan makhluk-makhluk Allah Ta’ala yang beraneka ragam dan menakjubkan merupakan faktor pendorong yang sangat kuat untuk beriman dan mengokohkan iman. Syeikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menyatakan, “Di antara sebab dan faktor pendorong keimanan adalah tafakur kepada alam semesta berupa penciptaan langit dan bumi serta makhluk-makhuk penghuninya dan meneliti diri manusia itu sendiri beserta sifat-sifat yang dimiliki. Ini semua adalah faktor pendorong yang kuat untuk meningkatkan iman”.[7]
c.       Berusaha sungguh-sungguh melaksanakan amalan shalih dengan ikhlas, memperbanyak dan mensinambungkannya. Hal ini karena semua amalan syariat yang dilaksanakan dengan ikhlas akan menambah iman. Karena iman bertambah dengan pertambahan amalan ketaatan dan banyaknya ibadah.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah menuturkan, “Di antara sebab pertambahan iman adalah melakukan ketaatan. Sebab iman akan bertambah sesuai dengan bagusnya pelaksanaan, jenis dan banyaknya amalan. Semakin baik amalan, semakin besar penambahan iman dan bagusnya pelasanaan ada dengan sebab ikhlas dan mutaba’ah (mencontohi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sedangkan jenis amalan, maka yang wajib lebih utama dari yang sunnah dan sebagian amal ketaatan lebih ditekankan dan utama dari yang lainnya. Semakin utama ketaatan tersebut maka semakin besar juga penambahan imannya. Adapun banyak (kwantitas) amalan, maka akan menambah keimanan, sebab amalan termasuk bagian iman. Sehingga pasti iman bertambah dengan bertambahnya amalan.”[8]
5.      Sebab-sebab Berkurangnya Iman
Sebab-sebab berkurangnya iman ada yang berasal dari dalam diri manusia sendiri (faktor internal) dan ada yang berasal dari luar (faktor eksternal).
۞ Faktor internal berkurangnya iman
a.       Kebodohan. Ini adalah sebab terbesar berkurangnya iman, sebagaimana ilmu adalah sebab terbesar bertambahnya iman.
b.      Kelalaian, sikap berpaling dari kebenaran dan lupa. Tiga perkara ini adalah salah satu sebab penting berkurangnya iman.
c.       Perbuatan maksiat dan dosa. Jelas kemaksiatan dan dosa sangat merugikan dan memiliki pengaruh jelek terhadap iman. Sebagaimana pelaksanaan perintah Allah Ta’ala menambah iman, demikian juga pelanggaran atas larangan Allah Ta’ala mengurangi iman. Namun tentunya dosa dan kemaksiatan bertingkat-tingkat derajat, kerusakan dan kerugian yang ditimbulkannya, sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam ungkapan beliau, “Sudah pasti kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan bertingkat-tingkat sebagaimana iman dan amal shalih pun bertingkat-tingkat”.[9]
d.      Nafsu yang mengajak kepada keburukan (an-nafsu ammaratu bissu’). Inilah nafsu yang ada pada manusia dan tercela. Nafsu ini mengajak kepada keburukan dan kebinasaan, sebagaimana Allah Ta’ala jelaskan dalam menceritakan istri al-Aziz,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Qs Yusuf: 53)
Nafsu ini menyeret manusia kepada kemaksiatan dan kehancuran iman, sehingga wajib bagi kita berlindung kepada Allah Ta’ala darinya dan berusaha bermuhasabah sebelum beramal dan setelahnya.
۞ Faktor eksternal berkurangnya iman
a.        Syeitan musuh abadi manusia yang merupakan satu sebab penting eksternal yang mempengaruhi iman dan mengurangi kekokohannya.
b.      Dunia dan fitnah (godaan)nya.  Menyibukkan diri dengan dunia dan perhiasannya termasuk sebab yang dapat mengurangi iman. Sebab semakin semangat manusia memiliki dunia dan semakin menginginkannya, maka semakin memberatkan dirinya berbuat ketaatan dan mencari kebahagian akherat, sebagaiman dituturkan Imam Ibnul Qayyim.
c.       Teman bergaul yang jelek. Teman yang jelek dan jahat menjadi sesuatu yang sangat berbahaya terhadap keimanan, akhlak dan agamanya. Karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita dari hal ini dalam sabda beliau,
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Artinya: “Seorang itu berada di atas agama kekasihnya (teman dekatnya), maka hendaknya salah seorang kalian melihat siapa yang menjadi kekasihnya.”[10]
B.     Kufur

1.      Pengertian[11]

Arti kufur secara etimologi, kufur artinya menutupi, sedangkan menurut terminologi syariat, kufur artinya ingkar terhadap Allah swt, atau tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakannya maupun tidak. Perbedaannya, kalau mendustakan berarti menentang dan menolak, tetapi kalau tidak mendustakan artinya hanya sekedar tidak iman dan tidak percaya. Dengan demikian kufur yang disertai pendustaan itu lebih berat dari pada kufur sekedar kufur.
Kufur dalam bahasa arab berarti menyembunyikan dan menutup. Al-Qurthubiy juga menyatakan bahwa asal makna kafir (al-kufr) adalah tertutup (al-sitru wa al-taghthiyah). Oleh karenanya, orang Arab menyebut “malam” dengan kata kafir karena malam menyembunyikan sesuatu sehingga tidak nampak oleh mata.[12]
Kafir adalah lawan dari iman. Jika iman berarti mengetahui Allah maka kafir adalah tidak mengetahui Allah. Jika dikatakan iman adalah taat maka kafir berarti maksiat. Sehingga orang kafir adalah orang yang tidak bisa mengetahui dan memahami Allah dan segala yang datang dari Allah, sehingga tidak bisa percaya kepada-Nya, dan cenderung melakukan maksiat kepada Allah. Definisi lain untuk kafir adalah sebutan bagi orang-orang yang keluar dari landasan islam. Seorang yang kafir dapat melihat dalil-dalil tauhid di hadapannya dan sesuatu yang mendorongnya agar beriman kepada Allah, tetapi dia tetap berbuat dalam kebatilan dan kekufurannya seolah-olah dia tidak dapat melihat dalil tersebut.[13]

2.      Pembagian

Kufur ditinjau dari berat tidaknya dosa ada dua macam, yaitu kufur akbar (kufur besar) dan kufur ashghar (kufur kecil). Ada pun penjelasannya yaitu sebagai berikut:
a.      Kufur Akbar (Kufur Besar)[14]
Kufur besar adalah kufur yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan kufur besar ini ada lima macam:
1)      Kufur takzib, kufur yaitu karena mendustakan. Allah swt berfirman: ”Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya ? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir ?”. (QS. Al- Ankabut : 68)
2)      Kufur iba’wa istikbar, kufur yaitu karena enggan dan sombong, padahal ia tahu dan membenarkannya. Allah berfirman: ”Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: ”Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (Al-Baqarah: 34)
3)      Kufur syak atau kufur zann, yaitu kufur karena ragu terhadap kebenaran ajaran Allah, termasuk keyakinan kepada hari kiamat. Allah berfirman: ”Dan dia memasuki kebunnya sedang ia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: ”Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”. (QS. Al- Kahfi: 35-36). Kawannya (yang mu’min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: Apakah kamu kafir kepada (Rabb) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna”. Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Rabbku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Rabbku”. (QS. Al- Kahfi: 37-38)
4)      Kufur I’rad, yaitu kufur karena berpaling, dalilnya adalah firman Allah swt: ”Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka”. (QS. AL- Ahkaf: 3)
5)      Kufur Nifak, yaitu kufur karena nifaq, dalilnya firman Allah: ”Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti”. (QS. Al-Munafiqun : 3)

b.      Kufur Ashghar (Kufur Kecil)[15]
Kufur kecil, adalah kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan ia adalah kufur amali. Kufur amali adalah dosa-dosa yang disebut dalam Al- Qur’an dan As- Sunnah sebagai dosa-dosa kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar.
Contoh kufur ashghar diantaranya yaitu:
1)      Kufur nikmat sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: ”Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir”. (QS. An-Nahl: 83)
2)      Termasuk juga membunuh orang muslim. Rasulullah SAW bersabda: ”Mencaci seorang muslim adalah suatu kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim). Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Janganlah kalian sepeninggalku kembali lagi menjadi orang-orang kafir, sebagian kalian memenggel leher sebagian yang lain”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
3)      Termasuk juga bersumpah dengan selain Allah. Rasulullah SAW bersabda :”Barang siapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah kafir atau musyrik”. (At-Tirmidzi dan dihasankannya, serta dishahihkan oleh Al-Hakim)

Yang demikian itu karena Allah tetap menjadikan para pelaku dosa sebagai orang-orang mukmin. Allah berfirman: “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenan dengan orang-orang yang dibunuh”. (Al-Baqarah : 178). Allah tidak mengeluarkan orang yang membunuh dari golongan orang-orang beriman, bahkan menjadikannya sebagai saudara bagi wali yang (berhak melakukan) qishash.[16]
Share:

Perbuatan Hamba (Af 'Al Al 'Ibad) dan Kekuasaan Mutlak Tuhan


BAB XI
PERBUATAN HAMBA (AF’AL  AL’IBAD)
DAN KEKUASAAN MUTLAK TUHAN

A.    Perbuatan Manusia[1]

Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok jabariyah dan kelompok Qadariyah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asyi’ariyah dan Maturidiyah.
Akar dari permasalahan perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yangbersifat mutlak. Maka disini timbulllah pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidup ?, apakah manusia terikat seluruhnya kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan ?.

1.      Aliran Jabariyah[2]

Dalam pembahasan mengenai perbuatan manusia tampaknya ada perbedaan pandangan antara Jabariyah Ekstrim dan Jabariyah Moderat. Jabariyah Ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, Tetapi kemauan yang dipaksakan atas dirinya salah seorang tokoh Jabariyah Ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak memunyai pilihan.
Jabariyah Moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition), menurut faham kasab manusia tidaklah majbur. Tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan. Tetapi manusia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.

2.      Aliran Qadariyah[3]

Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik itu berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak menentukan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang telah ia perbuat.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah Al-qur’an adalah sunatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam sendiri banyak ayat Al-qur’an yangmendukung pendapat ini misalnya dalam surat Al-kahfi ayat ke-29 yang artinya : “katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah ia”.

3.      Aliran Mu’tazilah[4]

Aliran Mu'tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karna itu, Mu'tazilah menganut faham qodariyah atau free will. menurut Al-Juba'i dan Abd Aljabbra. Manusialah yang menciptakan perbuata-perbuatannya. Manusia sendirilah yang membuat baik dan buruk. KepaTuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-istita'ah)untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Untuk membela fahamnya, aliran Mu'tazilah mengungkapkan ayat berikut:
ألذى أحسن كل شێ خلقه (السجدة : ۷)
Artinya:
"Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya". (QS. As-Sajdah: 7).
Disamping argumentasi naqliah di atas, aliran Mu'tazilah mengemukakan argumentasi berikut ini.
a.       Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai perbuatan, batAllah taklif syar'i. hal ini karena syariat adalah ungkapan perintah dan larangan yang merupakan thalap pemenuhan thalap tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan.
b.      Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya. Runtuhlah teori pahal dan hukuman yang muncul dari konsep faham al-wa'dwaal-wa'id(janji dan ancaman). Hal ini karma perbuatan itu menjadi tidak dapat di sandarkan kepadanya secara mutlak sehingga bersekoensi pujian atau celaan.
c.       Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada gunanya sama skali. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwa dan dakwa harus di barengi kebebasn pilihan?

4.      Aliran Asy’ariyah[5]

Dalam faham Asy’ari, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu Aliran ini lebih dekat dengan faham jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari memakai teori Al-kasb (acquisition, perolehan), segala sesuatu terjadi dengan perentaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan dari muktasib (yang memperoleh kasb) untuk melakukan perbuatan, dimana manusia kehilangan keaktifan, yang mana manusia hanya bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Untuk membela keyakinan tersebut Al-Asy’ari mengemukan dalil Al-Qur’an yang artinya : “Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat” (Q.S. Ash-shaffat : 96). Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.


5.      Aliran Maturidiyah[6]

Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariya. Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.

B.     Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan

Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memilki kemampuan untuk melakukannya.[7]

1.      Mu’tazilah[8]

Kaum Mu’tazilah percaya pada hukum alam atau sunnah Allah yang menganut perjalanan kosmos dan dengan demikian menganut faham determinisme. Dan determinisme ini bagi mereka, sebagai kata Nadir, tidak berubah-ubah sama dengan keadaan Tuhan yang juga tidak berubah-ubah. Sebagai penjelasan selanjutnya bagi faham sunnah Allah yang tak berubah-ubah ini dan determinisme ini; ada baiknya dibawa di sini uraian Tafsir al-Manar. Segala sesuatu di alam ini, demikian al Manar, berjalan menurut sunnah Allah dan sunnah Allah itu dibuat Tuhan sedemikian rupa sehingga sebab dan musabab di dalamnya mempunyai hubungan yang erat. Bagi tiap sesuatu Tuhan menciptakan sunnah tertentu. Umpamanya sunnah yang mengatur hidup manusia berlainan dengan sunnah yang mengatur hidup tumbuh-tumbuhan. Bahkan juga ada sunnah yang tidak berubah-ubah untuk mencapai kemenangan. Jika seseorang mengikuti jalan yang ditentukan sunnah ini, orang akan mencapai kemenangan, tetapi jika ia menyimpang dari jalan yang ditentukan sunnah itu, ia akan mengalami kekalahan.

2.      Asy’ Ariyah[9]

“Kaum Asy’ariah, karena percaya pada mutlaknya kekuasaan Tuhan, mempunyai tendensi sebaliknya. Mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu. Betul mereka akui bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan bagi manusia dan bahwa Tuhan mengetahui kebaikan dan keuntungan itu, tidaklah menjadi pendorong bagi Tuhan untuk berbuat.

3.      Maturidiyah[10]

“Adapun kaum Maturidi, golongan Bukhara menganut pendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Menurut al-Bazdawi, Tuhan memang berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya menurut kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa-Nya, dan tidak ada larangan-larangan terhadap Tuhan. Akan tetapi bagaimana pun juga seperti akan dijelaskan nanti, faham mereka tentang kekuasaan Tuhan tidaklah semutlak faham Asy’ ariah.
Maturidiyah golongan Samarkand, tidaklah sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan mutlak Tuhan. Batasan-batasan yang diberikan golongan Samarkand ialah:
a.       Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka, ada pada manusia.
b.      Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
c.       Keadaan hukuman-hukuman Tuhan, sebagai kata al-Bayadii, tak boleh tidak mesti terjadi.

4.      Prof Harun Nasution[11]

“Kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Seperti terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut faham Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan perbuatan dan kemauan. Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan zalim. Sifat serupa ini tak dapat diberikan kepada Tuhan. Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang menurut faham Mu’tazilah memang ada. Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh nature atau hukum alam(sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan.




***


[1] http://sarjoni.wordpress.com/2010/01/01/ilmu-kalam-perbandingan-antar-aliran-perbuatan-tuhan-dan-perbuatan-manusia/
[2] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta : PT. Al Husna Zikra, 1995) h.109-110
[3] http://abahmarasakti.wordpress.com/2010/01/11/perbandingan-aliran-tentang-dosa-besar-sifat-allah-perbuatan-manusia-dan-keadilan-allah/
[5] http://sarjoni.wordpress.com/2010/01/01/ilmu-kalam-perbandingan-antar-aliran-perbuatan-tuhan-dan-perbuatan-manusia/
[6] Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia menurut Qur’an (Kajian Tafsir Tematik), Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
[7] http://sarjoni.wordpress.com/2010/01/01/ilmu-kalam-perbandingan-antar-aliran-perbuatan-tuhan-dan-perbuatan-manusia/
[9] Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986).
[11] Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986).
Share:

Senin, 21 November 2011

Akal dan Wahyu


BAB X
AKAL DAN WAHYU (I)

A.    Pendahuluan[1]

Menurut Islam ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan yaitu wahyu dan akal. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu kebenarannya bersifat mutlak, sedang yang diperoleh akal bersifat relative. Dari dua jalan tersebut muncul masalah, diantaranya:
a.       Bagaimana kedudukan pengetahuan hasil akal dibanding pengetahuan dari wahyu?
b.      Dapatkah akal menandingi wahyu?
c.       Haruskah akal tunduk kepada wahyu?
d.      Kalau tunduk, bagaimana kalau terjadi pertentangan antara pengetahuan hasil akal dengan wahyu?
e.       Pengetahuan mana yang lebih dipercaya, hasil akal atau wahyu?
Dalam kaitan dengan agama, muncul pertanyaan:
a.       Sejauh mana akal dapat menerima pengetahuan keagamaan?
b.      Kalau akal dapat menerima pengetahuan keagamaan, apa sebenarnya fungsi wahyu?
c.       Haruskah akal dengan wahyu bertentangan?
d.      Haruskah agama dengan  falsafah bermusuhan?
e.       Haruskah agama dengan ilmu pengetahan berlawanan?

B.     Pengertian

1.      Akal
Akal berasal dari kata bahasa arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al-‘aql sering disebut sebagai lafzh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun ruhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indra. Sedangkan kata al-‘aqil (bentuk pelaku, isim fa’il) sering digunakan untuk menyebutkan manusia, karena manusialah yang berakal. Makhluk selain manusia disebut dengan ghair al-‘aqil (makhluk tak berakal).
Atas dasar beberapa pengrtian lughawi diatas, maka yang dimaksut dengan akal dalam konteks pembahasan Studi Islam ini adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang dimiliki manusia untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akan tetapi dalam pengertian ini pulalah yang dalam islam dihadapkan (tetapi bukan dipertentangkan) dengan wahyu, yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Allah.[2]

a.       Bahasa
Paham, mengerti, berpikir, mengikat, menahan, mengekang hawa nafsu, kebijaksanaan (an nuhu), kalbu (al qalbu), memahami, kecerdasan praktis (practical intelligence), kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity).
b.      Istilah
a)      Menghubungkan peristiwa dengan sebab akibat dan konklusinya.
b)      Merupakan salah satu dari daya jiwa manusia : Daya bernafsu (al quwwatusy syahwatiyah) di perut, daya berani (al quwwatul ghadhabiyah) di dada, dan daya berpikir (al quwwatun nathiqah) di kepala. (Men. Al Kindi 769-873).
Menurut Ibnu Miskawih (941-1030 M) manusia mempunyai tiga nafsu, yaitu nafsu bahamiyah (kebinatangan), nafsu sab’iyyah (keberanian), dan nafsu nathiqah (berfikir).
Kalau binatang dan tumbuh-tumbuhan mempunyai lebih dari satu daya, manusia hanya mempunyai satu daya yaitu daya berfikir atau akal. Akal terbagi menjadi dua, yaitu:
a)      Akal praktis (‘amilah), yang menerima arti-arti yang berasal dari materi dari indera pengingat yang ada pada nafsu bahamiyah.
b)      Akal teoritis (‘alimah), yang menagkapa arti-arti murni, yang tidak berbentuk materi, seperti Tuhan, roh, dan malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi memangkap kekususan (juz’iyat=particular), akal teoritis menangkap metafisis, dunia immateri dan keumuman (kulliyat=universal). Akal teoritis mempunyai empat derajat, yaitu:
a)      Akal materiil, berfikir materi.
b)      Akal bakat, berfikir abstrak.
c)      Akal aktuil, menangkap kaidah umum, gudang akal abstrak.
d)     Akal perolehan (akal mustafad), akal abstrak yang mudah sekali dikeluarkan. Akal mustafad adalah akal tertinggi dan terkuat  dayanya, tidak pernah berada dalam alam materi. Akal mustafad dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Allah ke alam materi melalui akal yang sepuluh (dalam falsafah Al-Farabi, atau falsafah emanasi Al-Farabi).







































Falsafah emanasi Al-Farabi adalah sebagai berikut:[3]

Skema
Falsafah Emanasi, Jiwa dan Akal
Al-Farabi (Berdasar Astronomi)


 


Allah













 

         Langit Pertama     ●                                                                      Akal I


 

         Bintang-bintang    ●                                                          Akal II


 

         Saturnus               ●                                                          Akal III


 

         Yupiter                 ●                                                          Akal IV

         Mars                    ●                                                          Akal V                                  9 Malaikat
                                                                                                                                            Lain
         Matahari             ●                                                          Akal VI                            


 

         Venus                   ●                                                          Akal VII


 

         Merkurius             ●                                                          Akal VIII


 

         Bulan                  ●                                                          Akal IX













 

                                                                                                Akal X                                Malaikat Jibril

                                                                                                                                                                                                Bumi ●                                                    
 

          

III.  Jiwa Manusia                                                     Perolehan
 

            Aktuil

             Bakat
 

   Teoritis                      Materiil
   Daya berfikir: akal                 
                                                    Praktis


 




II.   Jiwa Binatang                      Pengingat
 

Penganggap
 

  Pengreka


 


2.      Wahyu

Kata wahyu berasal dari bahasa arab al-wahyu, merupakan kata asli arab, bukan kata pinjaman dari bahasa asing (mu’ar-rab). Kata itu memiliki arti suara, api, dan kecepatan. Al-wahyu juga sering diartikan dengan bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Oleh karena itu, wahyu dipahami sebagai pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat.[4]

a.       Bahasa
Menurut bahasa (lughah), kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy yang memiliki beberapa arti, di antaranya; suara, tulisan isyarat, bisikan, paham dan juga api.[5]
b.      Istilah
a)      Apa yang dsampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi.
b)      Firman Tuhan yang disampaikan oleh orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup.
c)      Ajaran, petunjuk dan pedoman yang diberikan Allah kepada Nabi, yang diperlukan manusia dalam perjalanan hidupya maupun di akhirat.
d)     Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad terkumpul semuanya di dalam Al-Qur’an.
Ada tiga cara wahyu diturunkan kepda Nabi, yaitu:
a)      Melalui jantug hati seseorang dalam bentuk ilham.
b)      Dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa.
c)      Melalui utusan yang dikirimkan yaitu malaikat (Asy-Syura 42:47).
Nabi Muhammad mendapatkan wahyu dengan car yang ketiga yaitu melalui Malaikat Jibril (Asy-Syura 26:192-195). Pemberian wahyu adalah komunikasi antara Allah (immateri) dengan Nabi Muhammad (materi), hal ini dapat terjadi menurut ahli filsafat dan tasawuf. Dalam falsafah emanasi Al-Farabi, jiwa dan akal manusia yang telah mencapai derajat mustafad dapat mengadakan hubungan dengan akal kesepuluh, yang menurut Ibnu Sina adalah Malaikat Jibril. Rasulullah tanapa latihan dapat mengadakan komunikasi dengan malaikat Jibril. Akal demikian mempunyai kekuatan suci, diberi nama hads, dan hanya dimiliki para Nabi. Komunikasi Nabi Muhammad dengan malaikat Jibril bersifat materi, bukan immateri.

C.    Pendapat Para Ahli Teologi[6]

a.      Mu’tzilah
Semua persoalan di atas dapat diketahui akal manusia. Dengan kecerdasannya manusia dapat mencapai makrifat.
b.      Asy-Ariyah
Akal dapat mengetahui adanya Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan, tidak tahu yang baik dan buruk. Untuk mengetahuinya perlu wahyu.
c.       Maturidiyah
Akal dapat mengetahui adanya Tuhan, kewajiban mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan, tetap tidak dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Maka perlu wahyu.







D.    Fungsi Wahyu[7]

1.      Untuk memberikan petunjuk berkaitan dengan sesuatu yang ghaib dan diluar jangkauan akal.
2.      Untuk memberikan gambaran kehidupan setelah kematian
3.      Untuk mengatur kehidupan sosial ditengah-tengah masyarakat.
4.      Menurut:
a.       Mu’tazilah
Wahyu berfungsi untuk memperpendek jalan mengetahui keberadaan Tuhan, dan mengingatkan manusia tentang kewajiban-kewajibannya.
b.      Asy-Ariyah
Wahyu sangat penting kedudukannya dan menentukan agar manusia mengetahui keawajiban-kewajibannya.
c.       Al-Maturidiyah
Wahyu kedudukannya lemah, diperlukan untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.



***


[1] Aminuddin. 2009. Aqidah. Jakarta : Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Jakarta, Bab X, Hlm. 1.
[2] http://ephacunk.blogspot.com/2011/03/akal-wahyu.html
[3] Aminuddin. 2009. Aqidah. Jakarta : Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Jakarta, Bab X, Hlm. 3.

[4] http://ephacunk.blogspot.com/2011/03/akal-wahyu.html
[5] http://www.ariffachrudin.50megs.com/bab07a.htm
[6] Aminuddin. 2009. Aqidah. Jakarta : Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Jakarta, Bab X, Hlm. 5.
[7]http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=fungsi%20wahyu&source=web&cd=4&ved=0CC8QFjAD&url=http%3A%2F%2Fblog.uad.ac.id%2Fsyam%2Ffiles%2F2009%2F11%2FRANGKUMAN-STUDI-ISLAM-I.doc&ei=Be_ITuj1HM7OrQeilNS2Dg&usg=AFQjCNHw07Q2HwGq2rWstW6nydAKt2cPnw&cad=rja
Share: