Senin, 21 November 2011

Akal dan Wahyu


BAB X
AKAL DAN WAHYU (I)

A.    Pendahuluan[1]

Menurut Islam ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan yaitu wahyu dan akal. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu kebenarannya bersifat mutlak, sedang yang diperoleh akal bersifat relative. Dari dua jalan tersebut muncul masalah, diantaranya:
a.       Bagaimana kedudukan pengetahuan hasil akal dibanding pengetahuan dari wahyu?
b.      Dapatkah akal menandingi wahyu?
c.       Haruskah akal tunduk kepada wahyu?
d.      Kalau tunduk, bagaimana kalau terjadi pertentangan antara pengetahuan hasil akal dengan wahyu?
e.       Pengetahuan mana yang lebih dipercaya, hasil akal atau wahyu?
Dalam kaitan dengan agama, muncul pertanyaan:
a.       Sejauh mana akal dapat menerima pengetahuan keagamaan?
b.      Kalau akal dapat menerima pengetahuan keagamaan, apa sebenarnya fungsi wahyu?
c.       Haruskah akal dengan wahyu bertentangan?
d.      Haruskah agama dengan  falsafah bermusuhan?
e.       Haruskah agama dengan ilmu pengetahan berlawanan?

B.     Pengertian

1.      Akal
Akal berasal dari kata bahasa arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al-‘aql sering disebut sebagai lafzh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun ruhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indra. Sedangkan kata al-‘aqil (bentuk pelaku, isim fa’il) sering digunakan untuk menyebutkan manusia, karena manusialah yang berakal. Makhluk selain manusia disebut dengan ghair al-‘aqil (makhluk tak berakal).
Atas dasar beberapa pengrtian lughawi diatas, maka yang dimaksut dengan akal dalam konteks pembahasan Studi Islam ini adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang dimiliki manusia untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akan tetapi dalam pengertian ini pulalah yang dalam islam dihadapkan (tetapi bukan dipertentangkan) dengan wahyu, yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Allah.[2]

a.       Bahasa
Paham, mengerti, berpikir, mengikat, menahan, mengekang hawa nafsu, kebijaksanaan (an nuhu), kalbu (al qalbu), memahami, kecerdasan praktis (practical intelligence), kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity).
b.      Istilah
a)      Menghubungkan peristiwa dengan sebab akibat dan konklusinya.
b)      Merupakan salah satu dari daya jiwa manusia : Daya bernafsu (al quwwatusy syahwatiyah) di perut, daya berani (al quwwatul ghadhabiyah) di dada, dan daya berpikir (al quwwatun nathiqah) di kepala. (Men. Al Kindi 769-873).
Menurut Ibnu Miskawih (941-1030 M) manusia mempunyai tiga nafsu, yaitu nafsu bahamiyah (kebinatangan), nafsu sab’iyyah (keberanian), dan nafsu nathiqah (berfikir).
Kalau binatang dan tumbuh-tumbuhan mempunyai lebih dari satu daya, manusia hanya mempunyai satu daya yaitu daya berfikir atau akal. Akal terbagi menjadi dua, yaitu:
a)      Akal praktis (‘amilah), yang menerima arti-arti yang berasal dari materi dari indera pengingat yang ada pada nafsu bahamiyah.
b)      Akal teoritis (‘alimah), yang menagkapa arti-arti murni, yang tidak berbentuk materi, seperti Tuhan, roh, dan malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi memangkap kekususan (juz’iyat=particular), akal teoritis menangkap metafisis, dunia immateri dan keumuman (kulliyat=universal). Akal teoritis mempunyai empat derajat, yaitu:
a)      Akal materiil, berfikir materi.
b)      Akal bakat, berfikir abstrak.
c)      Akal aktuil, menangkap kaidah umum, gudang akal abstrak.
d)     Akal perolehan (akal mustafad), akal abstrak yang mudah sekali dikeluarkan. Akal mustafad adalah akal tertinggi dan terkuat  dayanya, tidak pernah berada dalam alam materi. Akal mustafad dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Allah ke alam materi melalui akal yang sepuluh (dalam falsafah Al-Farabi, atau falsafah emanasi Al-Farabi).







































Falsafah emanasi Al-Farabi adalah sebagai berikut:[3]

Skema
Falsafah Emanasi, Jiwa dan Akal
Al-Farabi (Berdasar Astronomi)


 


Allah













 

         Langit Pertama     ●                                                                      Akal I


 

         Bintang-bintang    ●                                                          Akal II


 

         Saturnus               ●                                                          Akal III


 

         Yupiter                 ●                                                          Akal IV

         Mars                    ●                                                          Akal V                                  9 Malaikat
                                                                                                                                            Lain
         Matahari             ●                                                          Akal VI                            


 

         Venus                   ●                                                          Akal VII


 

         Merkurius             ●                                                          Akal VIII


 

         Bulan                  ●                                                          Akal IX













 

                                                                                                Akal X                                Malaikat Jibril

                                                                                                                                                                                                Bumi ●                                                    
 

          

III.  Jiwa Manusia                                                     Perolehan
 

            Aktuil

             Bakat
 

   Teoritis                      Materiil
   Daya berfikir: akal                 
                                                    Praktis


 




II.   Jiwa Binatang                      Pengingat
 

Penganggap
 

  Pengreka


 


2.      Wahyu

Kata wahyu berasal dari bahasa arab al-wahyu, merupakan kata asli arab, bukan kata pinjaman dari bahasa asing (mu’ar-rab). Kata itu memiliki arti suara, api, dan kecepatan. Al-wahyu juga sering diartikan dengan bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Oleh karena itu, wahyu dipahami sebagai pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat.[4]

a.       Bahasa
Menurut bahasa (lughah), kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy yang memiliki beberapa arti, di antaranya; suara, tulisan isyarat, bisikan, paham dan juga api.[5]
b.      Istilah
a)      Apa yang dsampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi.
b)      Firman Tuhan yang disampaikan oleh orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup.
c)      Ajaran, petunjuk dan pedoman yang diberikan Allah kepada Nabi, yang diperlukan manusia dalam perjalanan hidupya maupun di akhirat.
d)     Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad terkumpul semuanya di dalam Al-Qur’an.
Ada tiga cara wahyu diturunkan kepda Nabi, yaitu:
a)      Melalui jantug hati seseorang dalam bentuk ilham.
b)      Dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa.
c)      Melalui utusan yang dikirimkan yaitu malaikat (Asy-Syura 42:47).
Nabi Muhammad mendapatkan wahyu dengan car yang ketiga yaitu melalui Malaikat Jibril (Asy-Syura 26:192-195). Pemberian wahyu adalah komunikasi antara Allah (immateri) dengan Nabi Muhammad (materi), hal ini dapat terjadi menurut ahli filsafat dan tasawuf. Dalam falsafah emanasi Al-Farabi, jiwa dan akal manusia yang telah mencapai derajat mustafad dapat mengadakan hubungan dengan akal kesepuluh, yang menurut Ibnu Sina adalah Malaikat Jibril. Rasulullah tanapa latihan dapat mengadakan komunikasi dengan malaikat Jibril. Akal demikian mempunyai kekuatan suci, diberi nama hads, dan hanya dimiliki para Nabi. Komunikasi Nabi Muhammad dengan malaikat Jibril bersifat materi, bukan immateri.

C.    Pendapat Para Ahli Teologi[6]

a.      Mu’tzilah
Semua persoalan di atas dapat diketahui akal manusia. Dengan kecerdasannya manusia dapat mencapai makrifat.
b.      Asy-Ariyah
Akal dapat mengetahui adanya Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan, tidak tahu yang baik dan buruk. Untuk mengetahuinya perlu wahyu.
c.       Maturidiyah
Akal dapat mengetahui adanya Tuhan, kewajiban mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan, tetap tidak dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Maka perlu wahyu.







D.    Fungsi Wahyu[7]

1.      Untuk memberikan petunjuk berkaitan dengan sesuatu yang ghaib dan diluar jangkauan akal.
2.      Untuk memberikan gambaran kehidupan setelah kematian
3.      Untuk mengatur kehidupan sosial ditengah-tengah masyarakat.
4.      Menurut:
a.       Mu’tazilah
Wahyu berfungsi untuk memperpendek jalan mengetahui keberadaan Tuhan, dan mengingatkan manusia tentang kewajiban-kewajibannya.
b.      Asy-Ariyah
Wahyu sangat penting kedudukannya dan menentukan agar manusia mengetahui keawajiban-kewajibannya.
c.       Al-Maturidiyah
Wahyu kedudukannya lemah, diperlukan untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.



***


[1] Aminuddin. 2009. Aqidah. Jakarta : Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Jakarta, Bab X, Hlm. 1.
[2] http://ephacunk.blogspot.com/2011/03/akal-wahyu.html
[3] Aminuddin. 2009. Aqidah. Jakarta : Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Jakarta, Bab X, Hlm. 3.

[4] http://ephacunk.blogspot.com/2011/03/akal-wahyu.html
[5] http://www.ariffachrudin.50megs.com/bab07a.htm
[6] Aminuddin. 2009. Aqidah. Jakarta : Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Jakarta, Bab X, Hlm. 5.
[7]http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=fungsi%20wahyu&source=web&cd=4&ved=0CC8QFjAD&url=http%3A%2F%2Fblog.uad.ac.id%2Fsyam%2Ffiles%2F2009%2F11%2FRANGKUMAN-STUDI-ISLAM-I.doc&ei=Be_ITuj1HM7OrQeilNS2Dg&usg=AFQjCNHw07Q2HwGq2rWstW6nydAKt2cPnw&cad=rja
Share:

BAB X
AKAL DAN WAHYU (I)

A.    Pendahuluan[1]

Menurut Islam ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan yaitu wahyu dan akal. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu kebenarannya bersifat mutlak, sedang yang diperoleh akal bersifat relative. Dari dua jalan tersebut muncul masalah, diantaranya:
a.       Bagaimana kedudukan pengetahuan hasil akal dibanding pengetahuan dari wahyu?
b.      Dapatkah akal menandingi wahyu?
c.       Haruskah akal tunduk kepada wahyu?
d.      Kalau tunduk, bagaimana kalau terjadi pertentangan antara pengetahuan hasil akal dengan wahyu?
e.       Pengetahuan mana yang lebih dipercaya, hasil akal atau wahyu?
Dalam kaitan dengan agama, muncul pertanyaan:
a.       Sejauh mana akal dapat menerima pengetahuan keagamaan?
b.      Kalau akal dapat menerima pengetahuan keagamaan, apa sebenarnya fungsi wahyu?
c.       Haruskah akal dengan wahyu bertentangan?
d.      Haruskah agama dengan  falsafah bermusuhan?
e.       Haruskah agama dengan ilmu pengetahan berlawanan?

B.     Pengertian

1.      Akal
Akal berasal dari kata bahasa arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki banyak makna, sehingga kata al-‘aql sering disebut sebagai lafzh musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun ruhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indra. Sedangkan kata al-‘aqil (bentuk pelaku, isim fa’il) sering digunakan untuk menyebutkan manusia, karena manusialah yang berakal. Makhluk selain manusia disebut dengan ghair al-‘aqil (makhluk tak berakal).
Atas dasar beberapa pengrtian lughawi diatas, maka yang dimaksut dengan akal dalam konteks pembahasan Studi Islam ini adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang dimiliki manusia untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akan tetapi dalam pengertian ini pulalah yang dalam islam dihadapkan (tetapi bukan dipertentangkan) dengan wahyu, yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Allah.[2]

a.       Bahasa
Paham, mengerti, berpikir, mengikat, menahan, mengekang hawa nafsu, kebijaksanaan (an nuhu), kalbu (al qalbu), memahami, kecerdasan praktis (practical intelligence), kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity).
b.      Istilah
a)      Menghubungkan peristiwa dengan sebab akibat dan konklusinya.
b)      Merupakan salah satu dari daya jiwa manusia : Daya bernafsu (al quwwatusy syahwatiyah) di perut, daya berani (al quwwatul ghadhabiyah) di dada, dan daya berpikir (al quwwatun nathiqah) di kepala. (Men. Al Kindi 769-873).
Menurut Ibnu Miskawih (941-1030 M) manusia mempunyai tiga nafsu, yaitu nafsu bahamiyah (kebinatangan), nafsu sab’iyyah (keberanian), dan nafsu nathiqah (berfikir).
Kalau binatang dan tumbuh-tumbuhan mempunyai lebih dari satu daya, manusia hanya mempunyai satu daya yaitu daya berfikir atau akal. Akal terbagi menjadi dua, yaitu:
a)      Akal praktis (‘amilah), yang menerima arti-arti yang berasal dari materi dari indera pengingat yang ada pada nafsu bahamiyah.
b)      Akal teoritis (‘alimah), yang menagkapa arti-arti murni, yang tidak berbentuk materi, seperti Tuhan, roh, dan malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi memangkap kekususan (juz’iyat=particular), akal teoritis menangkap metafisis, dunia immateri dan keumuman (kulliyat=universal). Akal teoritis mempunyai empat derajat, yaitu:
a)      Akal materiil, berfikir materi.
b)      Akal bakat, berfikir abstrak.
c)      Akal aktuil, menangkap kaidah umum, gudang akal abstrak.
d)     Akal perolehan (akal mustafad), akal abstrak yang mudah sekali dikeluarkan. Akal mustafad adalah akal tertinggi dan terkuat  dayanya, tidak pernah berada dalam alam materi. Akal mustafad dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Allah ke alam materi melalui akal yang sepuluh (dalam falsafah Al-Farabi, atau falsafah emanasi Al-Farabi).







































Falsafah emanasi Al-Farabi adalah sebagai berikut:[3]

Skema
Falsafah Emanasi, Jiwa dan Akal
Al-Farabi (Berdasar Astronomi)


 


Allah













 

         Langit Pertama                                                                           Akal I


 

         Bintang-bintang                                                             Akal II


 

         Saturnus                                                                        Akal III


 

         Yupiter                                                                          Akal IV

         Mars                                                                              Akal V                                  9 Malaikat
                                                                                                                                            Lain
         Matahari                                                                       Akal VI                            


 

         Venus                                                                             Akal VII


 

         Merkurius                                                                       Akal VIII


 

         Bulan                                                                            Akal IX













 

                                                                                                Akal X                                Malaikat Jibril

                                                                                                                                                                                                Bumi ●                                                    
 

          

III.  Jiwa Manusia                                                     Perolehan
 

            Aktuil

             Bakat
 

   Teoritis                      Materiil
   Daya berfikir: akal                 
                                                    Praktis


 




II.   Jiwa Binatang                      Pengingat
 

Penganggap
 

  Pengreka


 


2.      Wahyu

Kata wahyu berasal dari bahasa arab al-wahyu, merupakan kata asli arab, bukan kata pinjaman dari bahasa asing (mu’ar-rab). Kata itu memiliki arti suara, api, dan kecepatan. Al-wahyu juga sering diartikan dengan bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Oleh karena itu, wahyu dipahami sebagai pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat.[4]

a.       Bahasa
Menurut bahasa (lughah), kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy yang memiliki beberapa arti, di antaranya; suara, tulisan isyarat, bisikan, paham dan juga api.[5]
b.      Istilah
a)      Apa yang dsampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi.
b)      Firman Tuhan yang disampaikan oleh orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup.
c)      Ajaran, petunjuk dan pedoman yang diberikan Allah kepada Nabi, yang diperlukan manusia dalam perjalanan hidupya maupun di akhirat.
d)     Sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad terkumpul semuanya di dalam Al-Qur’an.
Ada tiga cara wahyu diturunkan kepda Nabi, yaitu:
a)      Melalui jantug hati seseorang dalam bentuk ilham.
b)      Dari belakang tabir sebagai yang terjadi dengan Nabi Musa.
c)      Melalui utusan yang dikirimkan yaitu malaikat (Asy-Syura 42:47).
Nabi Muhammad mendapatkan wahyu dengan car yang ketiga yaitu melalui Malaikat Jibril (Asy-Syura 26:192-195). Pemberian wahyu adalah komunikasi antara Allah (immateri) dengan Nabi Muhammad (materi), hal ini dapat terjadi menurut ahli filsafat dan tasawuf. Dalam falsafah emanasi Al-Farabi, jiwa dan akal manusia yang telah mencapai derajat mustafad dapat mengadakan hubungan dengan akal kesepuluh, yang menurut Ibnu Sina adalah Malaikat Jibril. Rasulullah tanapa latihan dapat mengadakan komunikasi dengan malaikat Jibril. Akal demikian mempunyai kekuatan suci, diberi nama hads, dan hanya dimiliki para Nabi. Komunikasi Nabi Muhammad dengan malaikat Jibril bersifat materi, bukan immateri.

C.    Pendapat Para Ahli Teologi[6]

a.      Mu’tzilah
Semua persoalan di atas dapat diketahui akal manusia. Dengan kecerdasannya manusia dapat mencapai makrifat.
b.      Asy-Ariyah
Akal dapat mengetahui adanya Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan, tidak tahu yang baik dan buruk. Untuk mengetahuinya perlu wahyu.
c.       Maturidiyah
Akal dapat mengetahui adanya Tuhan, kewajiban mengetahui dan berterima kasih kepada Tuhan, tetap tidak dapat mengetahui bagaimana kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Maka perlu wahyu.







D.    Fungsi Wahyu[7]

1.      Untuk memberikan petunjuk berkaitan dengan sesuatu yang ghaib dan diluar jangkauan akal.
2.      Untuk memberikan gambaran kehidupan setelah kematian
3.      Untuk mengatur kehidupan sosial ditengah-tengah masyarakat.
4.      Menurut:
a.       Mu’tazilah
Wahyu berfungsi untuk memperpendek jalan mengetahui keberadaan Tuhan, dan mengingatkan manusia tentang kewajiban-kewajibannya.
b.      Asy-Ariyah
Wahyu sangat penting kedudukannya dan menentukan agar manusia mengetahui keawajiban-kewajibannya.
c.       Al-Maturidiyah
Wahyu kedudukannya lemah, diperlukan untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.



***


[1] Aminuddin. 2009. Aqidah. Jakarta : Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Jakarta, Bab X, Hlm. 1.
[2] http://ephacunk.blogspot.com/2011/03/akal-wahyu.html
[3] Aminuddin. 2009. Aqidah. Jakarta : Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Jakarta, Bab X, Hlm. 3.

[4] http://ephacunk.blogspot.com/2011/03/akal-wahyu.html
[5] http://www.ariffachrudin.50megs.com/bab07a.htm
[6] Aminuddin. 2009. Aqidah. Jakarta : Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Jakarta, Bab X, Hlm. 5.
[7]http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=fungsi%20wahyu&source=web&cd=4&ved=0CC8QFjAD&url=http%3A%2F%2Fblog.uad.ac.id%2Fsyam%2Ffiles%2F2009%2F11%2FRANGKUMAN-STUDI-ISLAM-I.doc&ei=Be_ITuj1HM7OrQeilNS2Dg&usg=AFQjCNHw07Q2HwGq2rWstW6nydAKt2cPnw&cad=rja
Share: