Senin, 16 Januari 2012

Keadilan Tuhan

BAB XIV
KEADILAN TUHAN

Faham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam, bergantung pada pandangan apakah manusia mempunyai kebebaasn dalam berkehendak dan berbuat ? Ataukah manusia itu hanya terpaksa saja ? Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia menyebabkan perbedaan penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Berikut pendapat mengenai keadilan Tuhan menurut beberapa aliran, diantaranya yaitu:

A.    Mu’tazilah

Mu’tazilah berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya, kemudian mengharuskan hamba itu untuk menanggung akibat perbuatannya. Dengan demikian manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaaan sedikit pun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah manusia dapat bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hambanya tanpa mengiringinya dengan kebebasan dalam berbuat.
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah adalah:

۝ Al- Anbiya (21): 47
Yang artinya: "Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika amalan itu hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan pahalanya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan".

۝ Yasin (36): 54
Yang artinya: "Maka pada hari itu orang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalas, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan".

۝ Fusshilat (41): 46
Yang artinya: "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat, maka dosany atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya".

۝ An-Nisa (4): 40
Yang artinya: "Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar biji zarrah niscaya allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar”.

۝ Kahfi (18): 49
Yang artinya: "Dan diletakkan kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis didalamnya, dan mereka berkata ;”aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka ketrjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun".[1]
Tidak seperti halnya Asy’ariah, Mu’tazilah meninjau tentang keadilan Tuhan dari sudut rasio dan kepentingan manusia. Hal ini ternyata seluruh makhluk lain yang diciptakan Tuhan adalah untuk kepentingan manusia.[2]
Selanjutnya Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia yang berakal sempurna kalau berbuat sesuatu tentu mempunyai tujuan, baik bertujuan untuk kepentingan sendiri atau kepentingan orang lain. Tuhan juga mempunyai tujuan dalam perbuatan-Nya, tetapi Tuhan berbuat bukan untuk kepentingan Diri-Nya, yakni untuk kepentingan maujud lain, selain Tuhan. Berdasarkan pandangan ini, Mu’tazilah menyatakan bahwa wujud alam ini diciptakan untuk manusia sebagai makhluk yang tertinggi. Oleh karena itu golongan Mu’tazilah mempunyai kecenderungan melihat segala-galanya dari sudut kepentingan manusia.[3]
Al-Jabbar seorang pemuka Mu’tazilah mengatakan bahwa keadilan Tuhan erat hubungannya dengan hak. Keadilan diartikan memberikan hak seseorang. Kata-kata Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya baik, ia tidak dapat berbuat yang buruk dan ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak dapat bersifat zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat meletakan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia dan mesti memberi upah kepada orang yang patuh kepada-Nya dan memberikan hukuman kepada orang yang menentang perintah-Nya. Kemudian keadilan Tuhan juga mengandung arti berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia.[4]
Secara umum pendapat Asy’Ariyah mengenai keadilan Tuhan yaitu:[5]
1.      Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya, sehingga Tuhan tidak bertanggung jawab atas perbuatan manusia.
2.      Tuhan menghendaki yang baik tidak menghendaki yang buruk.
3.      Dengan akalnya manusia dapat mengetahui yang baik dan yang buruk.
4.      Dengan akalnya manusia dapat mengetahui kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan.
5.      Adil adalah baik. Baik adalah sesuatu yang menurut akal dipandang baik.
6.      Tuhan  tidak mencampuri urusan manusia.
7.      Tuhan tidak zalim, tetapi adil. Tidak melaksanakan kehendak.
8.      Tuhan berbuat untuk kepentingan manusia.
9.      Tuhan adil jika Ia memberikan hak yang sebenarnyakepada manusia.

B.     Asy’Ariyah

Asy’ariyah percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekauasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan kerena kepentingan manusia atau tujuan lainnya. Mereka mengartikan keadilan tuhan dengan menempatkan sesuatu paad tempatnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhaap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikia, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehendak hatinya. Tuhan dapat memberi pahala atau memberi siksa dengan sekehendak hatinya dan itu semua adalah adil bagi Tuhan.Justru tidaklah adil jika Tuhan tidak berbuat sekehenadknya, karena Dia adalah penguasa mutlak.
Pendarpat Asy ’Ariyah tentang keadialan Tuhan didasarkan atas fikiran mereka tentang irodah (kehendaknya) disatu pihak mereka mengatakan kebaiakan dan keburukan dipihak lain mereka mengatakan bahwa baik dan buruk adalah gambaran fikiran sumber baik dan buruk adalah syara’ semata.
Faham keadialan Tuhan banyak tergantung pada kekuasan mutlak Tuhan, Kaum Asy ’Ariyah meninjau segala-galanya dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Keadilan mereka artikan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hatinya dalam kerajaan-Nya. Sedangkan ketidakadilan diartikan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang. Kekuasaan Tuhan tidak terbatas, oleh karena itu Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya, walaupun dalam pandangan manusia adalah tidak adil. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum dan karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hukum, perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum. Dengan demikian Tuhan tidak bisa dikatakan bersifat tidak adil.[6]
Oleh karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak dapat berbuat apa saja yang dihendakinya dengan makhluk-Nya dan Asy ’Ariyah berpendapat bahwa Tuhan dapat anak kecil dihari kiamat dan dapat memberikan hukuman bagi orang mukmin dan dapat memasukkan orang kesurga.
Asy’ariyah tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Tuhan berbuat adil sehingga Tuhan harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya Tuhan tidak memiliki keharusan apapun, karena Tuhan adalah penguasa mutlak.[7]
Asy’ari mengatakan bahwa apabila manusia mengerjakan sesuatu yang tidak dikehendaki Tuhan, berarti mereka telah memaksa atau mengalahkannya. Kalau terjadi sesuatu di dunia tanpa kehendak-Nya maka menunjukkan kelemahannya. Menghendaki kafir dan kemaksiatan tidak dikatakan kebodohan, karena kebodohan tidak mungkin ada pada Tuhan. Yang dikatakan kebodohan adalah bertindak tidak dalam lingkungan kekuasaannya sendiri. Tuhan Maha Kuasa, dan tidak dibatasi kekuasaan dan tindakan-Nya dan pada-Nya tidak berlaku syari’at.[8]
Secara umum pendapat Asy’Ariyah mengenai keadilan Tuhan yaitu:[9]
1.      Kekuasaan Tuhan mutlak bagi alam. Apapun yang dilakukan Tuhan adalah adil. Allah Maha Kuasa, Maha Pencipta.
2.      Keadilan adalah benar menurut Allah, maka kekuasaan Allah bersifat mutlak sesuai kehendaknya.
3.      Allah menempatkan sesuatu pada tempatnya yang sebenarnya, karena Allah pencipta dan penguasa mutlak maka Ia bebas berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, maka hal itu adalah penempatan sesuatu sesuai pada tempat yang sebenarnya.
4.      Bebrbuat sesuatu atau tidak berbuat adalah kehendak Tuhan, dan itulah keadilan Tuhan, karena Tuhan Maha Berkehendak dan Maha Kuasa.
5.      Keadilan adalah keadilan Tuhan, dan keadilan Tuhan adalah kebaikan Tuhan.
6.      Tuhan mencipta bukan untuk mencapai tujuan, tetapi melaksanakan kekuasaan dan kehendaknya.
7.      Tuhan adalah pembuat hukum, tidak ada hukum di atas Tuhan yang mengaturnya.
8.      Keadilan Tuhan bersifat absolute, Ia berbuat sesuai kehendaknya, tidak terikat kekusaan apapun kecuali oleh kekuasaan-Nya.
9.      Tuhan adalah pencipta dan pemilik segalanya, maka apapun yang dilakukan Tuhan adalah adil, sebab Ia memerlakukan ciptaan dan milik-Nya sendiri.

C.    Maturidiyah[10]

Dalam hal keadilah dan kehendak Tuhan, Aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Karena menganut faham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, kaum maturidiyah samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat dengan Mu’tazilah, tapi kekuatan akan dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil dari paad yang diberikan Mu’tazilah. Kehendak Tuhan dibatasi oleh keadilah Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuiatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak akan memberi bebean yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukuman, karena Tuhan tidakn dapat berbuat zalim.
Adapun Maturidiyah bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekauasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendakinya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, keadilan Tuhan terletak paad kehendak mutlaknya, tidak ada satu zat pun yang lebih kuasa dari pada-Nya dan tidak ada batasan bagi-Nya.



***


[2] http://abahmarasakti.wordpress.com/2010/01/11/perbandingan-aliran-tentang-dosa-besar-sifat-allah-perbuatan-manusia-dan-keadilan-allah/
[4] Hasan Basri, Murif Yahya, dan Tedi Priatna, Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran (Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2009), hlm. 104-105.
[5] Aminuddin, Aqidah, (Jakarta : Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Jakarta, 2009) hlm. 1, bab XIV.
[6] http://www.surgamakalah.com/2011/11/pandangan-teologi-tentang-sifat.html
[7] Ahmad Hanafy, Theolog Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta : PT. Bulan Bintang), 1993, hlm. 123.
[8] Ibid, hal. 150
[9] Aminuddin, Aqidah, (Jakarta : Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Jakarta, 2009) hlm. 2, bab XIV.
Share:

Sifat-Sifat dan Perbuatan Tuhan

BAB XIII
SIFAT-SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN

A.    Sifat Tuhan

Apakah Tuhan memiliki sifat atau tidak ?

1.      Mu’tazilah[1]
Menetapkan bahwa Allah tidak memiliki sifat di luar zat-Nya, zat-Nya terisi sendiri (self contained) dan tidak memerlukan sifat-sifat yang terpisah. Jika Allah dianggap memilki sifat yang terpisah dari zat-Nya apakah sifat-sifat ini qadim atau tidak jika tidak qadim pasti itu bukan Allah, dan sebaliknya jika qadim, maka ada dua yang qadim, pertama Allah dan kedua sifat-Nya, ini juga suatu hal yang mustahil.dan bertentangan dengan Qs. Ar Rahman [25] : 27, dan secara logika bahwa bila dianggap Allah memilki sifat terpisah dari sifat-Nya, berarti ada senggang waktu ketika Allah belum memilki sifat dengan melekatnya sifat itu kepada Allah.

2.      Asy ’Ariyah[2]
Menetapkan bahwa Sifat Allah itu abadi, sifat-sifat itu sama sekali bukan zat-Nya sama abadinya dengan Allah, dan sifat ini berada di luar zat-NYa. Allah Maha mengetahui dengan ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya, begitu juga Allah itu berkuasa dengan sifat qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.

3.      Al- Maturidiyah Bukhara[3]
Sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan itu sendiri bukan melalui sifat-sifatnya dan mereka tidak mengakui bahwa Tuhan itu tidak mengakui sifat jasmani, dan ayat-ayat alqur’an yang menggambarkan sifat-sifat jasmani haruslah diberi takwil.

4.      Al-Maturidiyah Samarkand
Golongan ini berpendapat bahwa sifat Tuhan bukanlah tuhan tetapi tidak lain dari Tuhan. Dalam pandangan kekekalan Al Qur’an mereka sependapat dengan Bukhara bahwa alqur’an adalah kekal tidak diciptakan.

B.     Antropomorphisme

1.      Mu’tazilah[4]
Dalam kalangan ahli-ahli Teologi Islam terdapat perbedaan pendapat tentang Anthropomorphisme atau yang dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tajassum atau al-tasybih, yaitu apakah sifat-sifat manusia dapat dipergunakan untuk Tuhan, sebab Tuhan itu bersifat immateri, sedangkan manusia bersifat materi.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa sifat-sifat manusia itu tidak tidak dapat dipergunakan untuk Tuhan. Tuhan tidak mempunyai tubuh yang bersifat materi, karena itu tidak mempunyai sifat-sifat jasmaniah seperti manusia. Oleh karena itu kalau dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmaniah seperti al-yad (tangan), al-wajh (muka), al-ain (mata) maka sifat-sifat tersebut harus diberikan interprestasi yang lain. misalnya al-yad diberi interprestasi dengan kekuasaan. Al-wajh di beri interprestasi dengan esensi. Al-‘ain di beri interprestasi dengan pengetahuan.

2.      Asy ’Ariyah
Tuhan bertakhta di ‘Arsy, mempunyai muka, tangan, mata, dan sebaginya, tetapi bentuknya tidak sama dengan makhluk.[5]

3.      Maturidiyah
Tentang  kejisiman Tuhan ini, al-Maturidy tidaklah sependapat dengan al-Asyi’ary, yang mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan itu mempunyai bentuk jasmani tidak dapat diberi interpretasi atau takwil, sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Namun al-Maturidy berpendapat bahwa Tuhan  sama sekali tidak mempunyai badan dan jasmani.[6] al-Maturidy menambahkan bahwa, tenaga, wajah, dan sebagainya mesti di beri arti majazi atau kiasan , seperti tangan Tuhan harus ditakwilkan dengan kekuasaan Tuhan.[7]
Dari pandangan ini terlihat bahwa dalam aspek  pemikiran tertentu al-Maturidy sependapat dengan Mu’tazilah, terutama pada masalah-masalah yang banyak menggunakan rasio.

C.    Melihat Tuhan

Melihat Tuhan secara substansi berkaitan erat mengenai persoalan tubuh atau jism, juga hal itu terkait oleh persoalan arah dan kedudukan atau posisi, hal ini mengundang aliran-aliran dalam Islam untuk lebih mempelajari dan mengemukakan pendapat yang walau secara pasti mereka mendasar pendapatnya berdasar pada ayat Al-Qur’an namun ternyata hasil penelitian dan pendapat mereka berbeda antara aliran yang satu dengan aliran pemikiran yang lain. Bentuk perbedaan hasil I’tibar mereka itu akan diuraikan sebagai berikut :

1.      Mu’tazilah

Dalam hal ini mu’tazilah mengingkari adanya faham bahwa, Tuhan nanti dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat kelak. Alasan Mu’tazilah  dalam masalah melihat Tuhan ini nampaknya cukuplah rasional, dimana Tuhan adalah bersifat Immateri, sedang mata kepala adalah bersifat materi. Sehingga tidaklah mungkin suatu  yang immateri dapat dilihat dengan suatu yang materi.[8]

2.       Asy’Ariyah

Dalam masalah melihat Allah, al-Asyi’ary berpendapat bahwa Allah Swt. Dapat dilihat oleh hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat kelak seperti halnya mereka melihat bulan purnama.[9] Al-Asyi’ary berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada (maujud) memungkinkan untuk dapat dilihat, karena Allah adalah sesuatu yang maujud maka sah untuk dilihat (sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Qiyamah (75) : 22).[10]
Menurut Asy ‘Ariyah, Tuhan dapat dilihat diakhirat. Alasanya sifat-sifat yang tidak dapat diberikan Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada pengertian diciptakannya Tuhan. sifat dapat dilihatnya tuhan diakhirat tidak membawa kepada pengertian diciptakannya tuhan, karena apa yang dilihat tidakj mesti mengandung pengertian bahwa ia mesti diciptakan. dengan demikian jika dikatakan bahwa tuahn dapat dilihat, itu tidak mesti bahwa tuhan harus bersifat diciptakan.[11]
Pengikut aliran ini bahwa Tuhan mempunyai arah, karena itu tidak ada kesulitan untuk memungkinkan adanya penglihatan kepada Allah di akhirat nanti, bukan di dunia. Alasan yang dikemukakan adalah dalil dari al-Qur’an pada surah al-Qiyamah ayat 22-23 yang artinya: “ Wajah-wajah orang-orang mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”.
Ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa melihat tersebut akan terjadi dengan mata kepala. Adapun dari dalil aqli dikemukakan oleh al-Ghazali yang mengungkapkan bahwa sesuatu yang dilihat, tidak harus ada pada arah tertentu dari orang yang melihat. Seorang dapat melihat dirinya pada cermin, cermin itu bukan dirinya juga tidak bertempat pada cermin yang ada dimukanya. Pendapat ini bisa dianggap sebagai refresentatif dari pendapat Asy’ariyah karena al-Ghazali termasuk salah satu dari aliran asy’ariyah bahkan sangat berjasa mengembangkan aliran ini.[12]

3.      Al-Maturidiyah
Al-Maturidiyah sependapat dengan al-Asyi’ary, bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di aherat kelak. Bagi al-Maturidy yang tidak dapat dilihat hanyalah yang tidak mempunyai wujud, yang mempunyai wujud mesti dapat dilihat. Tuhan adalah berwujud, oleh karena itu dapat dilihat.[13] Pandangan ini didasarkan pada al-Qur’an surat : al-Qiyamah ( 75 ) ayat : 22-23 yang artinya : “ Wajah-wajah ( orang –orang mukmin ) pada hari itu berseri-seri . Kepada Tuhanyalah mereka melihat”.
D.    Sabda Tuhan

1.      Muta’zilah[14]
Aliran muktazilah melihat Al-Qur’an sebagai suatu perkataan yang terdi dari huruf dan suara, artinya disamakan dengan perkataan biasa dikenal. Perkataan menyatakan pikiran yang ada pada dirinya, supaya diketahui orang lain. Kalau Al-Qur’an terdiri dari kata-kata, sedang kata-kata itu baru, maka Al-Qur’an itupun baru. Selain itu sifat qalam (Al-Qur’an) bukanlah sifat dzat, tetapi adalah salah satu sifat perbuatan (sifat aktifa) karena itu menurut mereka Al-Qur’an itu adalah makhluk. Artinya Tuhan mengadakan perkataan pada lauhul mahfudz, atau Jibril utusan-Nya.
Alasan yang dikemukakan aliran Muktazilah adalah alasan berdasar pada Al-Qur’an atau syara’ dan alasan yang bersandar pada logika akal pemikiran.
Alasanya syara’ adalah Al-Qur’an surah az-Zukhruf. 3, Hud. 1, Yusuf. 2, at-Taubah. 6, al-Baqarah. 30, sedangkan alasan dalam bentuk logika adalah sudah disepakati kaum muslimin bahwa apa yang dinamakan “Qur’an” adalah kata-kata yang dapat di dengar dan di baca dan terdiri dari surat-surat, ayat-ayat, huruf-huruf tertentu. Sudah barang tentu Qur’an tersebut kalam yang menjadi salah satu sifat Tuhan.

2.      Asy ‘Ariyah
Telah dikemukakan di atas, al-Asyi’ary pernah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah mahluk, kemudian ia mencabut pendapatnya itu dengan penuh penyesalan, akhirnya ia menyatakan bahwa kalam Allah itu adalah bukan mahluk.[15] Menurutnya kalam Allah itu Esa dan Qadim, adapun mengenai perintah dan larangan, wa’id dan sebagainya merupakan i’tibar-i’tibar dalam kalam-Nya dan bukan merupakan jumlah berbilang di dalam kalam itu sendiri.[16]
Dari keterangan ini al-Asyi’ary melihat bahwa, kalam Allah itu ada dua bentuk, yaitu : sesuatu yang merupakan sifat Tuhan dan itulah yang qadim. Dan yang kedua adalah lafadz yang menunjuk atas kalam yang qadim tersebut, dan itulah yang hadis dan bersifat mahluk.

3.      Maturidiyah
Al-Maturidy sependapat dengan al-Asyi’ary, bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di aherat kelak. Bagi al-Maturidy yang tidak dapat dilihat hanyalah yang tidak mempunyai wujud, yang mempunyai wujud mesti dapat dilihat. Tuhan adalah berwujud, oleh karena itu dapat dilihat.[17]
Pandangan ini didasarkan pada al-Qur’an surat : al-Qiyamah ( 75 ) ayat : 22-23 yang artinya : “Wajah-wajah ( orang –orang mukmin ) pada hari itu berseri-seri . Kepada Tuhanyalah mereka melihat”.



***


[2] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta : PT. Al Husna Zikra, 1995) , hlm.109-110
[4] http://akusuhendar.wordpress.com/2011/04/21/aliran-mutazilah/
[5] http://misterway.wordpress.com/2011/06/04/syiah-mutazillah-dan-sunni/
[6] Lihat Al-Bazdawy, Op. Cit., hlm.22.
[7] Lihat Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah (Surabaya : Bina Ilmu, 1986), hlm. 106
[8] http://www.masbied.com/2010/02/20/perbincangan-aliran-aliran-theologi-tentang-anthropomorphisme/
[9] Lihat Ali Ibn ‘Iwaji, Firaq Mu’asirat Tantasibu Ila al-Islam Wahayan Mauqif al – Islam Minha, Juz II ( Cet.ke-1 ; Maktabat Linah, 1993 ), hlm. 899.
[10] Lihat As – Syahrastani, al- Milal wa al- Nihal, Jilid I ( Cet. Ke- 2; al-Misriyah : Maktabah El-Englo, 1956 ), hlm. 87.
[11] Drs. Abuddin Nata, M.A, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tsawwuf (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998.
[12] http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2011/02/perbandingan-aliran.html
[13] Lihat Abui Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ary, Al-Ibanah an Ushul al-Diyanah ( Madinah: al- Jami’ah al-Islamiyah Markaz Su’untuk al-Dakwah, 1409 ), hlm. 16.
[14] http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2011/02/perbandingan-aliran.html
[15] Lihat Ali Ibn ‘Iwaji, Op.Cit., h. 858.
[16] Lihat H.M. Laily Mansur, Pemikiran Kalam Dalam Islam ( Cet. Ke- 1 ; Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994 ), hlm. 63.
[17] Lihat Abui Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ary, Al-Ibanah an Ushul al-Diyanah ( Madinah: al- Jami’ah al-Islamiyah Markaz Su’untuk al-Dakwah, 1409 ), hlm. 16.

Share: