Senin, 16 Januari 2012

Sifat-Sifat dan Perbuatan Tuhan

BAB XIII
SIFAT-SIFAT DAN PERBUATAN TUHAN

A.    Sifat Tuhan

Apakah Tuhan memiliki sifat atau tidak ?

1.      Mu’tazilah[1]
Menetapkan bahwa Allah tidak memiliki sifat di luar zat-Nya, zat-Nya terisi sendiri (self contained) dan tidak memerlukan sifat-sifat yang terpisah. Jika Allah dianggap memilki sifat yang terpisah dari zat-Nya apakah sifat-sifat ini qadim atau tidak jika tidak qadim pasti itu bukan Allah, dan sebaliknya jika qadim, maka ada dua yang qadim, pertama Allah dan kedua sifat-Nya, ini juga suatu hal yang mustahil.dan bertentangan dengan Qs. Ar Rahman [25] : 27, dan secara logika bahwa bila dianggap Allah memilki sifat terpisah dari sifat-Nya, berarti ada senggang waktu ketika Allah belum memilki sifat dengan melekatnya sifat itu kepada Allah.

2.      Asy ’Ariyah[2]
Menetapkan bahwa Sifat Allah itu abadi, sifat-sifat itu sama sekali bukan zat-Nya sama abadinya dengan Allah, dan sifat ini berada di luar zat-NYa. Allah Maha mengetahui dengan ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya, begitu juga Allah itu berkuasa dengan sifat qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.

3.      Al- Maturidiyah Bukhara[3]
Sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan itu sendiri bukan melalui sifat-sifatnya dan mereka tidak mengakui bahwa Tuhan itu tidak mengakui sifat jasmani, dan ayat-ayat alqur’an yang menggambarkan sifat-sifat jasmani haruslah diberi takwil.

4.      Al-Maturidiyah Samarkand
Golongan ini berpendapat bahwa sifat Tuhan bukanlah tuhan tetapi tidak lain dari Tuhan. Dalam pandangan kekekalan Al Qur’an mereka sependapat dengan Bukhara bahwa alqur’an adalah kekal tidak diciptakan.

B.     Antropomorphisme

1.      Mu’tazilah[4]
Dalam kalangan ahli-ahli Teologi Islam terdapat perbedaan pendapat tentang Anthropomorphisme atau yang dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tajassum atau al-tasybih, yaitu apakah sifat-sifat manusia dapat dipergunakan untuk Tuhan, sebab Tuhan itu bersifat immateri, sedangkan manusia bersifat materi.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa sifat-sifat manusia itu tidak tidak dapat dipergunakan untuk Tuhan. Tuhan tidak mempunyai tubuh yang bersifat materi, karena itu tidak mempunyai sifat-sifat jasmaniah seperti manusia. Oleh karena itu kalau dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmaniah seperti al-yad (tangan), al-wajh (muka), al-ain (mata) maka sifat-sifat tersebut harus diberikan interprestasi yang lain. misalnya al-yad diberi interprestasi dengan kekuasaan. Al-wajh di beri interprestasi dengan esensi. Al-‘ain di beri interprestasi dengan pengetahuan.

2.      Asy ’Ariyah
Tuhan bertakhta di ‘Arsy, mempunyai muka, tangan, mata, dan sebaginya, tetapi bentuknya tidak sama dengan makhluk.[5]

3.      Maturidiyah
Tentang  kejisiman Tuhan ini, al-Maturidy tidaklah sependapat dengan al-Asyi’ary, yang mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan itu mempunyai bentuk jasmani tidak dapat diberi interpretasi atau takwil, sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Namun al-Maturidy berpendapat bahwa Tuhan  sama sekali tidak mempunyai badan dan jasmani.[6] al-Maturidy menambahkan bahwa, tenaga, wajah, dan sebagainya mesti di beri arti majazi atau kiasan , seperti tangan Tuhan harus ditakwilkan dengan kekuasaan Tuhan.[7]
Dari pandangan ini terlihat bahwa dalam aspek  pemikiran tertentu al-Maturidy sependapat dengan Mu’tazilah, terutama pada masalah-masalah yang banyak menggunakan rasio.

C.    Melihat Tuhan

Melihat Tuhan secara substansi berkaitan erat mengenai persoalan tubuh atau jism, juga hal itu terkait oleh persoalan arah dan kedudukan atau posisi, hal ini mengundang aliran-aliran dalam Islam untuk lebih mempelajari dan mengemukakan pendapat yang walau secara pasti mereka mendasar pendapatnya berdasar pada ayat Al-Qur’an namun ternyata hasil penelitian dan pendapat mereka berbeda antara aliran yang satu dengan aliran pemikiran yang lain. Bentuk perbedaan hasil I’tibar mereka itu akan diuraikan sebagai berikut :

1.      Mu’tazilah

Dalam hal ini mu’tazilah mengingkari adanya faham bahwa, Tuhan nanti dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat kelak. Alasan Mu’tazilah  dalam masalah melihat Tuhan ini nampaknya cukuplah rasional, dimana Tuhan adalah bersifat Immateri, sedang mata kepala adalah bersifat materi. Sehingga tidaklah mungkin suatu  yang immateri dapat dilihat dengan suatu yang materi.[8]

2.       Asy’Ariyah

Dalam masalah melihat Allah, al-Asyi’ary berpendapat bahwa Allah Swt. Dapat dilihat oleh hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat kelak seperti halnya mereka melihat bulan purnama.[9] Al-Asyi’ary berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada (maujud) memungkinkan untuk dapat dilihat, karena Allah adalah sesuatu yang maujud maka sah untuk dilihat (sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Qiyamah (75) : 22).[10]
Menurut Asy ‘Ariyah, Tuhan dapat dilihat diakhirat. Alasanya sifat-sifat yang tidak dapat diberikan Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada pengertian diciptakannya Tuhan. sifat dapat dilihatnya tuhan diakhirat tidak membawa kepada pengertian diciptakannya tuhan, karena apa yang dilihat tidakj mesti mengandung pengertian bahwa ia mesti diciptakan. dengan demikian jika dikatakan bahwa tuahn dapat dilihat, itu tidak mesti bahwa tuhan harus bersifat diciptakan.[11]
Pengikut aliran ini bahwa Tuhan mempunyai arah, karena itu tidak ada kesulitan untuk memungkinkan adanya penglihatan kepada Allah di akhirat nanti, bukan di dunia. Alasan yang dikemukakan adalah dalil dari al-Qur’an pada surah al-Qiyamah ayat 22-23 yang artinya: “ Wajah-wajah orang-orang mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”.
Ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa melihat tersebut akan terjadi dengan mata kepala. Adapun dari dalil aqli dikemukakan oleh al-Ghazali yang mengungkapkan bahwa sesuatu yang dilihat, tidak harus ada pada arah tertentu dari orang yang melihat. Seorang dapat melihat dirinya pada cermin, cermin itu bukan dirinya juga tidak bertempat pada cermin yang ada dimukanya. Pendapat ini bisa dianggap sebagai refresentatif dari pendapat Asy’ariyah karena al-Ghazali termasuk salah satu dari aliran asy’ariyah bahkan sangat berjasa mengembangkan aliran ini.[12]

3.      Al-Maturidiyah
Al-Maturidiyah sependapat dengan al-Asyi’ary, bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di aherat kelak. Bagi al-Maturidy yang tidak dapat dilihat hanyalah yang tidak mempunyai wujud, yang mempunyai wujud mesti dapat dilihat. Tuhan adalah berwujud, oleh karena itu dapat dilihat.[13] Pandangan ini didasarkan pada al-Qur’an surat : al-Qiyamah ( 75 ) ayat : 22-23 yang artinya : “ Wajah-wajah ( orang –orang mukmin ) pada hari itu berseri-seri . Kepada Tuhanyalah mereka melihat”.
D.    Sabda Tuhan

1.      Muta’zilah[14]
Aliran muktazilah melihat Al-Qur’an sebagai suatu perkataan yang terdi dari huruf dan suara, artinya disamakan dengan perkataan biasa dikenal. Perkataan menyatakan pikiran yang ada pada dirinya, supaya diketahui orang lain. Kalau Al-Qur’an terdiri dari kata-kata, sedang kata-kata itu baru, maka Al-Qur’an itupun baru. Selain itu sifat qalam (Al-Qur’an) bukanlah sifat dzat, tetapi adalah salah satu sifat perbuatan (sifat aktifa) karena itu menurut mereka Al-Qur’an itu adalah makhluk. Artinya Tuhan mengadakan perkataan pada lauhul mahfudz, atau Jibril utusan-Nya.
Alasan yang dikemukakan aliran Muktazilah adalah alasan berdasar pada Al-Qur’an atau syara’ dan alasan yang bersandar pada logika akal pemikiran.
Alasanya syara’ adalah Al-Qur’an surah az-Zukhruf. 3, Hud. 1, Yusuf. 2, at-Taubah. 6, al-Baqarah. 30, sedangkan alasan dalam bentuk logika adalah sudah disepakati kaum muslimin bahwa apa yang dinamakan “Qur’an” adalah kata-kata yang dapat di dengar dan di baca dan terdiri dari surat-surat, ayat-ayat, huruf-huruf tertentu. Sudah barang tentu Qur’an tersebut kalam yang menjadi salah satu sifat Tuhan.

2.      Asy ‘Ariyah
Telah dikemukakan di atas, al-Asyi’ary pernah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah mahluk, kemudian ia mencabut pendapatnya itu dengan penuh penyesalan, akhirnya ia menyatakan bahwa kalam Allah itu adalah bukan mahluk.[15] Menurutnya kalam Allah itu Esa dan Qadim, adapun mengenai perintah dan larangan, wa’id dan sebagainya merupakan i’tibar-i’tibar dalam kalam-Nya dan bukan merupakan jumlah berbilang di dalam kalam itu sendiri.[16]
Dari keterangan ini al-Asyi’ary melihat bahwa, kalam Allah itu ada dua bentuk, yaitu : sesuatu yang merupakan sifat Tuhan dan itulah yang qadim. Dan yang kedua adalah lafadz yang menunjuk atas kalam yang qadim tersebut, dan itulah yang hadis dan bersifat mahluk.

3.      Maturidiyah
Al-Maturidy sependapat dengan al-Asyi’ary, bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala di aherat kelak. Bagi al-Maturidy yang tidak dapat dilihat hanyalah yang tidak mempunyai wujud, yang mempunyai wujud mesti dapat dilihat. Tuhan adalah berwujud, oleh karena itu dapat dilihat.[17]
Pandangan ini didasarkan pada al-Qur’an surat : al-Qiyamah ( 75 ) ayat : 22-23 yang artinya : “Wajah-wajah ( orang –orang mukmin ) pada hari itu berseri-seri . Kepada Tuhanyalah mereka melihat”.



***


[2] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta : PT. Al Husna Zikra, 1995) , hlm.109-110
[4] http://akusuhendar.wordpress.com/2011/04/21/aliran-mutazilah/
[5] http://misterway.wordpress.com/2011/06/04/syiah-mutazillah-dan-sunni/
[6] Lihat Al-Bazdawy, Op. Cit., hlm.22.
[7] Lihat Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah (Surabaya : Bina Ilmu, 1986), hlm. 106
[8] http://www.masbied.com/2010/02/20/perbincangan-aliran-aliran-theologi-tentang-anthropomorphisme/
[9] Lihat Ali Ibn ‘Iwaji, Firaq Mu’asirat Tantasibu Ila al-Islam Wahayan Mauqif al – Islam Minha, Juz II ( Cet.ke-1 ; Maktabat Linah, 1993 ), hlm. 899.
[10] Lihat As – Syahrastani, al- Milal wa al- Nihal, Jilid I ( Cet. Ke- 2; al-Misriyah : Maktabah El-Englo, 1956 ), hlm. 87.
[11] Drs. Abuddin Nata, M.A, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tsawwuf (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998.
[12] http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2011/02/perbandingan-aliran.html
[13] Lihat Abui Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ary, Al-Ibanah an Ushul al-Diyanah ( Madinah: al- Jami’ah al-Islamiyah Markaz Su’untuk al-Dakwah, 1409 ), hlm. 16.
[14] http://islamadalahrahmah.blogspot.com/2011/02/perbandingan-aliran.html
[15] Lihat Ali Ibn ‘Iwaji, Op.Cit., h. 858.
[16] Lihat H.M. Laily Mansur, Pemikiran Kalam Dalam Islam ( Cet. Ke- 1 ; Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994 ), hlm. 63.
[17] Lihat Abui Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ary, Al-Ibanah an Ushul al-Diyanah ( Madinah: al- Jami’ah al-Islamiyah Markaz Su’untuk al-Dakwah, 1409 ), hlm. 16.

Share:

0 Komen:

Posting Komentar