Sabtu, 01 Desember 2012

Keadilan Tuhan

BAB XIV
KEADILAN TUHAN

Faham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam, bergantung pada pandangan apakah manusia mempunyai kebebaasn dalam berkehendak dan berbuat ? Ataukah manusia itu hanya terpaksa saja ? Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia menyebabkan perbedaan penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Berikut pendapat mengenai keadilan Tuhan menurut beberapa aliran, diantaranya yaitu:

A.    Mu’tazilah

Mu’tazilah berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya, kemudian mengharuskan hamba itu untuk menanggung akibat perbuatannya. Dengan demikian manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaaan sedikit pun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah manusia dapat bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberikan pahala atau siksa kepada hambanya tanpa mengiringinya dengan kebebasan dalam berbuat.
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah adalah:

۝ Al- Anbiya (21): 47
Yang artinya: "Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika amalan itu hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan pahalanya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan".

۝ Yasin (36): 54
Yang artinya: "Maka pada hari itu orang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalas, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan".

۝ Fusshilat (41): 46
Yang artinya: "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat, maka dosany atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya".

۝ An-Nisa (4): 40
Yang artinya: "Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar biji zarrah niscaya allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar”.

۝ Kahfi (18): 49
Yang artinya: "Dan diletakkan kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis didalamnya, dan mereka berkata ;”aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka ketrjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun".[1]
Tidak seperti halnya Asy’ariah, Mu’tazilah meninjau tentang keadilan Tuhan dari sudut rasio dan kepentingan manusia. Hal ini ternyata seluruh makhluk lain yang diciptakan Tuhan adalah untuk kepentingan manusia.[2]
Selanjutnya Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia yang berakal sempurna kalau berbuat sesuatu tentu mempunyai tujuan, baik bertujuan untuk kepentingan sendiri atau kepentingan orang lain. Tuhan juga mempunyai tujuan dalam perbuatan-Nya, tetapi Tuhan berbuat bukan untuk kepentingan Diri-Nya, yakni untuk kepentingan maujud lain, selain Tuhan. Berdasarkan pandangan ini, Mu’tazilah menyatakan bahwa wujud alam ini diciptakan untuk manusia sebagai makhluk yang tertinggi. Oleh karena itu golongan Mu’tazilah mempunyai kecenderungan melihat segala-galanya dari sudut kepentingan manusia.[3]
Al-Jabbar seorang pemuka Mu’tazilah mengatakan bahwa keadilan Tuhan erat hubungannya dengan hak. Keadilan diartikan memberikan hak seseorang. Kata-kata Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya baik, ia tidak dapat berbuat yang buruk dan ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak dapat bersifat zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat meletakan beban yang tak dapat dipikul oleh manusia dan mesti memberi upah kepada orang yang patuh kepada-Nya dan memberikan hukuman kepada orang yang menentang perintah-Nya. Kemudian keadilan Tuhan juga mengandung arti berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia.[4]
Secara umum pendapat Asy’Ariyah mengenai keadilan Tuhan yaitu:[5]
1.      Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya, sehingga Tuhan tidak bertanggung jawab atas perbuatan manusia.
2.      Tuhan menghendaki yang baik tidak menghendaki yang buruk.
3.      Dengan akalnya manusia dapat mengetahui yang baik dan yang buruk.
4.      Dengan akalnya manusia dapat mengetahui kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan.
5.      Adil adalah baik. Baik adalah sesuatu yang menurut akal dipandang baik.
6.      Tuhan  tidak mencampuri urusan manusia.
7.      Tuhan tidak zalim, tetapi adil. Tidak melaksanakan kehendak.
8.      Tuhan berbuat untuk kepentingan manusia.
9.      Tuhan adil jika Ia memberikan hak yang sebenarnyakepada manusia.

B.     Asy’Ariyah

Asy’ariyah percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekauasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan kerena kepentingan manusia atau tujuan lainnya. Mereka mengartikan keadilan tuhan dengan menempatkan sesuatu paad tempatnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhaap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikia, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehendak hatinya. Tuhan dapat memberi pahala atau memberi siksa dengan sekehendak hatinya dan itu semua adalah adil bagi Tuhan.Justru tidaklah adil jika Tuhan tidak berbuat sekehenadknya, karena Dia adalah penguasa mutlak.
Pendarpat Asy ’Ariyah tentang keadialan Tuhan didasarkan atas fikiran mereka tentang irodah (kehendaknya) disatu pihak mereka mengatakan kebaiakan dan keburukan dipihak lain mereka mengatakan bahwa baik dan buruk adalah gambaran fikiran sumber baik dan buruk adalah syara’ semata.
Faham keadialan Tuhan banyak tergantung pada kekuasan mutlak Tuhan, Kaum Asy ’Ariyah meninjau segala-galanya dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Keadilan mereka artikan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hatinya dalam kerajaan-Nya. Sedangkan ketidakadilan diartikan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang. Kekuasaan Tuhan tidak terbatas, oleh karena itu Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya, walaupun dalam pandangan manusia adalah tidak adil. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum dan karena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hukum, perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum. Dengan demikian Tuhan tidak bisa dikatakan bersifat tidak adil.[6]
Oleh karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak dapat berbuat apa saja yang dihendakinya dengan makhluk-Nya dan Asy ’Ariyah berpendapat bahwa Tuhan dapat anak kecil dihari kiamat dan dapat memberikan hukuman bagi orang mukmin dan dapat memasukkan orang kesurga.
Asy’ariyah tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Tuhan berbuat adil sehingga Tuhan harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya Tuhan tidak memiliki keharusan apapun, karena Tuhan adalah penguasa mutlak.[7]
Asy’ari mengatakan bahwa apabila manusia mengerjakan sesuatu yang tidak dikehendaki Tuhan, berarti mereka telah memaksa atau mengalahkannya. Kalau terjadi sesuatu di dunia tanpa kehendak-Nya maka menunjukkan kelemahannya. Menghendaki kafir dan kemaksiatan tidak dikatakan kebodohan, karena kebodohan tidak mungkin ada pada Tuhan. Yang dikatakan kebodohan adalah bertindak tidak dalam lingkungan kekuasaannya sendiri. Tuhan Maha Kuasa, dan tidak dibatasi kekuasaan dan tindakan-Nya dan pada-Nya tidak berlaku syari’at.[8]
Secara umum pendapat Asy’Ariyah mengenai keadilan Tuhan yaitu:[9]
1.      Kekuasaan Tuhan mutlak bagi alam. Apapun yang dilakukan Tuhan adalah adil. Allah Maha Kuasa, Maha Pencipta.
2.      Keadilan adalah benar menurut Allah, maka kekuasaan Allah bersifat mutlak sesuai kehendaknya.
3.      Allah menempatkan sesuatu pada tempatnya yang sebenarnya, karena Allah pencipta dan penguasa mutlak maka Ia bebas berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, maka hal itu adalah penempatan sesuatu sesuai pada tempat yang sebenarnya.
4.      Bebrbuat sesuatu atau tidak berbuat adalah kehendak Tuhan, dan itulah keadilan Tuhan, karena Tuhan Maha Berkehendak dan Maha Kuasa.
5.      Keadilan adalah keadilan Tuhan, dan keadilan Tuhan adalah kebaikan Tuhan.
6.      Tuhan mencipta bukan untuk mencapai tujuan, tetapi melaksanakan kekuasaan dan kehendaknya.
7.      Tuhan adalah pembuat hukum, tidak ada hukum di atas Tuhan yang mengaturnya.
8.      Keadilan Tuhan bersifat absolute, Ia berbuat sesuai kehendaknya, tidak terikat kekusaan apapun kecuali oleh kekuasaan-Nya.
9.      Tuhan adalah pencipta dan pemilik segalanya, maka apapun yang dilakukan Tuhan adalah adil, sebab Ia memerlakukan ciptaan dan milik-Nya sendiri.

C.    Maturidiyah[10]

Dalam hal keadilah dan kehendak Tuhan, Aliran ini terpisah menjadi dua, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Karena menganut faham free will dan free act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, kaum maturidiyah samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat dengan Mu’tazilah, tapi kekuatan akan dan batasan yang diberikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan lebih kecil dari paad yang diberikan Mu’tazilah. Kehendak Tuhan dibatasi oleh keadilah Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuiatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajibannya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak akan memberi bebean yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukuman, karena Tuhan tidakn dapat berbuat zalim.
Adapun Maturidiyah bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekauasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendakinya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, keadilan Tuhan terletak paad kehendak mutlaknya, tidak ada satu zat pun yang lebih kuasa dari pada-Nya dan tidak ada batasan bagi-Nya.



***


[2] http://abahmarasakti.wordpress.com/2010/01/11/perbandingan-aliran-tentang-dosa-besar-sifat-allah-perbuatan-manusia-dan-keadilan-allah/
[4] Hasan Basri, Murif Yahya, dan Tedi Priatna, Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-aliran (Bandung: Azkia Pustaka Utama, 2009), hlm. 104-105.
[5] Aminuddin, Aqidah, (Jakarta : Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Jakarta, 2009) hlm. 1, bab XIV.
[6] http://www.surgamakalah.com/2011/11/pandangan-teologi-tentang-sifat.html
[7] Ahmad Hanafy, Theolog Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta : PT. Bulan Bintang), 1993, hlm. 123.
[8] Ibid, hal. 150
[9] Aminuddin, Aqidah, (Jakarta : Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Jakarta, 2009) hlm. 2, bab XIV.
Share:

0 Komen:

Posting Komentar