(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)
Sering kita mendengar, seorang wanita yang mengadu nasib ke negeri
orang pulang dalam keadaan tinggal jasad. Atau pulang dalam keadaan
tubuh penuh luka karena disiksa majikannya, dan berbagai kisah pilu
lainnya yang entah kapan berakhir. Kepergian para wanita itu adalah
untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Lantas di manakah suaminya?
Haruskah seorang wanita menempuh resiko demikian besar untuk mencari
nafkah? Tulisan berikut mencoba menguraikan bagaimana Islam mengatur
permasalahan nafkah dalam keluarga.
Kata orang tua kita, hidup berkeluarga adalah kehidupan orang dewasa.
Perkataan seperti ini memang sesuai dengan kenyataan yang ada karena
orang yang menjalani hidup berkeluarga harus siap bersikap dewasa dalam
menghadapi liku-liku hidup berumah tangga.
Salah satu sikap kedewasaan dari seseorang adalah bila ia tidak semata
menuntut agar semua haknya dipenuhi tanpa menyeimbangkan dengan
pemenuhan kewajiban dan tanggung jawabnya. Sudah seharusnya orang yang
berumah tangga mengerti apa yang menjadi kewajibannya terhadap
pasangannya dan memahami tanggung jawabnya, kemudian berupaya semampunya
memenuhi dan melaksanakan kewajiban tersebut.
Salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah
memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuan. Kewajiban
ini selain ditunjukkan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah, juga dengan ijma’
(kesepakatan ulama). (Nailul Authar, 6/374)
Sengaja kita angkat permasalahan ini karena ada di antara suami yang
tidak tahu atau pura-pura tidak tahu dengan kewajiban yang satu ini,
sehingga ia berlepas tangan dari memberi nafkah kepada keluarganya. Satu
contoh kasus, seorang ibu dari tiga anak mengeluhkan suaminya yang
enggan bekerja untuk menafkahi keluarganya. Kalaupun ia bekerja maka
hasilnya semata untuk diri sendiri, untuk makan enak dan membeli
kebutuhannya. Sementara untuk makan sehari-hari anak dan istrinya
ditanggung oleh sang istri yang terpaksa berjualan makanan ringan untuk
menghidupi diri dan anak-anaknya. Sesekali si suami mau mengeluarkan
uang dari sakunya bila istrinya telah marah-marah dan menuntut tanggung
jawabnya.
Lain lagi kisah seorang ibu setengah baya yang telah memiliki beberapa
orang cucu. Setelah berhenti dari pekerjaannya, sang suami hanya tinggal
di rumah, tidak mau mencari nafkah untuk keluarganya. Akhirnya,
tanggung jawab memberi nafkah pun beralih kepada sang istri sementara
suaminya bersikap masa bodoh.
Dua kasus yang kami sebutkan di atas benar-benar terjadi dan mungkin
banyak pula kejadian yang sejenis, baik itu di kalangan orang yang
kelihatannya mengerti agama, terlebih lagi di kalangan orang awam.
Allah I berfirman menyebutkan kewajiban suami ini: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233) Ketika Mu’awiyah bin Haidah z bertanya kepada Rasulullah r: “Wahai
Rasulullah, apa hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?” Beliau menjawab: “Engkau beri makan istrimu bila engkau makan, dan engkau beri pakaian
bila engkau berpakaian. Jangan engkau pukul wajahnya, jangan engkau
jelekkan1 dan jangan engkau boikot kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu
Dawud no.1830 dan Ibnu Majah no. 1840. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil
dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/202) Al-Imam Asy-Syaukani t berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang
wajibnya suami memberi makan kepada istrinya dengan apa yang ia makan
dan memberi pakaian kepada istrinya dengan apa yang ia pakai, tidak
boleh memukulnya dan tidak pula menjelekkannya.” (Nailul Authar, 6/376) Rasulullah r ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah
memuji dan menyanjung Allah, beliau memberi peringatan dan nasehat.
Kemudian beliau berkata: “Ketahuilah, berpesanlah tentang kebaikan terhadap para wanita (para
istri)2 karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian,
kalian tidak menguasai dari mereka sedikitpun kecuali hanya itu,3
terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata4. Maka bila
mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan
pukullah mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Namun bila
mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti
mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan
mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka
adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk
menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengijinkan orang yang
kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap
kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan
makanan mereka.” (HR. Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841,
dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 2030)
Hendaknya para suami mengetahui bahwa nafkah yang ia berikan kepada
keluarganya tidaklah bernilai sia-sia di hadapan Allah. Bahkan nafkah
itu terhitung sebagai amalan sedekahnya sebagaimana hadits Abu Mas’ud
Al-Anshari z dari Nabi r, beliau bersabda: “Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarganya dan dia
mengharapkan pahala dengannya maka nafkah tadi teranggap sebagai
sedekahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 55, 4006, 5351 dan Muslim no. 1002)
Sampaipun satu suapan yang diberikan seorang suami kepada istrinya,
teranggap sebagai amalan sedekah sang suami. Demikian disabdakan Nabi r
kepada shahabat beliau, Sa’ad bin Abi Waqqash z: “Dan apa pun yang engkau nafkahkan maka itu teranggap sebagai sedekah
bagimu sampaipun suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu.” (HR.
Al-Bukhari no. 5354 dan Muslim no. 1628)
Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yang dengannya engkau
mengharap wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala dengannya
sampaipun satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu.”
Al-Muhallab berkata: “Nafkah untuk keluarga hukumnya wajib dengan ijma’
(kesepakatan ulama). Adapun Penetap syariat (yakni Allah –red)
menamakannya dengan sedekah hanyalah dikarenakan kekhawatiran adanya
sangkaan bahwa mereka tidak akan diberi pahala atas kewajiban yang
mereka tunaikan. Mereka telah mengetahui pahala sedekah, maka Penetap
syariat mengenalkan kepada mereka bahwa nafkah/infak yang mereka
keluarkan (untuk keluarga) adalah sedekah mereka sehingga mereka tidak
mengeluarkan sedekah itu kepada selain keluarga, kecuali setelah mereka
mencukupi keluarga mereka. Dan penamaan infak ini dengan sedekah adalah
dalam rangka mendorong mereka agar mendahulukan sedekah yang wajib
(yaitu memberi nafkah kepada keluarga) daripada sedekah yang sunnah.”
(Fathul Bari, 9/600)
Namun tentunya nafkah itu barulah bernilai sedekah bila dibarengi dengan
niat karena Allah sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sa’ad di atas. Al-Imam An-Nawawi t berkata ketika menerangkan hadits Abu Mas’ud
Al-Anshari z: “Hadits ini menerangkan bahwa yang dimaukan dengan sedekah
dan nafkah secara mutlak dalam hadits-hadits yang ada adalah bila orang
yang mengeluarkannya itu ihtisab, maknanya ia menginginkan wajah Allah
dengan nafkah tersebut. Sehingga bila seseorang memberikan nafkah dalam
keadaan lupa atau kacau pikirannya, tidaklah ia mendapatkan nilai
sedekah seperti yang dinyatakan dalam hadits ini, namun yang masuk dalam
hadits ini hanyalah bila seseorang itu muhtasib (mengharapkan pahala),
ia ingat kewajibannya untuk memberikan infak kepada istri, anak-anaknya,
budaknya dan orang-orang yang wajib ia nafkahi selain mereka…” (Syarah
Shahih Muslim, 7/88-89)
Beliau juga berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits Sa’ad: “Hadits
ini menunjukkan disenanginya memberi infak dalam berbagai perkara
kebaikan, dan menunjukkan bahwa amalan itu tergantung niatnya, sehingga
seseorang itu hanyalah diberi pahala atas amalnya dengan niatnya. Hadits
ini juga menunjukkan bahwa memberi infak kepada keluarga akan diberi
pahala bila mengharapkan wajah Allah I. Sebagaimana pula dalam hadits
ini ditunjukkan bahwa perkara mubah bila diniatkan untuk mengharap wajah
Allah I akan menjadi amalan ketaatan dan diberi pahala karenanya.
Nabi r memberi peringatan tentang hal ini dengan sabda beliau:
“Sampaipun satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu,” sementara
istri termasuk bagian dunia yang paling khusus bagi seorang laki-laki,
tempat pelampiasan syahwatnya dan tempat kelezatannya yang mubah.
Biasanya menyuapi istri hanya terjadi ketika sedang bercengkerama,
berlemah lembut dan bercumbu dengan sesuatu yang mubah. Bila dipikir,
keadaan seperti ini tentunya sangat jauh dari ketaatan dan
perkara-perkara akhirat. Namun bersamaan dengan itu, Nabi r mengabarkan
bila si suami memaksudkan suapan tersebut dalam rangka mengharap wajah
Allah I maka ia akan memperoleh pahala dengan perbuatan tersebut.
Tentunya perbuatan yang selain ini lebih pantas untuk memperoleh pahala
bila ditujukan karena wajah Allah I. Terkandung dalam hal ini apabila
manusia melakukan sesuatu yang asalnya mubah dengan mengharap wajah
Allah maka ia akan diberi pahala, seperti bila seseorang makan dengan
niat agar kuat dalam melakukan ketaatan kepada Allah I, tidur untuk
istirahat agar bisa bangun untuk melaksanakan ibadah dalam keadaan segar
lagi bersemangat, bercumbu dengan istri dan budak wanita yang dimiliki
dengan tujuan menjaga diri, pandangannya dan selainnya dari perkara yang
haram, juga untuk tujuan memenuhi hak istri dan untuk memperoleh anak
yang shalih. Inilah makna dari sabda Nabi I: (“Dan pada kemaluan salah
seorang dari kalian ada sedekah.”) Wallahu a’lam.” (Syarah Shahih
Muslim, 11/77-78)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Dari hadits (Sa’ad) ini
diambil faidah bahwasanya satu amalan tidak akan diperoleh pahala
karenanya kecuali bila amalan itu bergandengan dengan niat.” (Fathul
Bari, 9/600)
Kemudian beliau menukilkan ucapan Al-Imam Ath-Thabari secara ringkas:
“Wajib memberi nafkah kepada keluarga. Orang yang melakukannya akan
diberi pahala dengan tujuannya. Dan tidaklah saling bertentangan antara
keberadaan nafkah ini sebagai sesuatu yang wajib dengan penamaannya
sebagai sedekah, bahkan nafkah ini lebih utama daripada sedekah yang
sunnah.”
Nafkah yang diberikan seorang suami kepada keluarganya merupakan nafkah
yang paling utama (afdhal) dan paling besar pahalanya di sisi Allah I. Tsauban z menuturkan: “Rasulullah I bersabda: “Dinar yang paling utama yang dibelanjakan oleh seseorang adalah
dinar yang dinafkahkan untuk keluarganya, dan dinar yang dibelanjakan
oleh seseorang untuk tunggangannya dalam jihad di jalan Allah U dan
dinar yang diinfakkan oleh seseorang untuk teman-temannya di jalan
Allah.” (HR. Muslim no. 994)
Abu Hurairah z berkata: “Rasulullah I bersabda: “Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah, satu dinar yang
engkau keluarkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau
sedekahkan kepada seorang miskin dan satu dinar yang engkau nafkahkan
untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya dari semua nafkah
tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR.
Muslim no. 995) Tentunya nafkah ini dikeluarkan oleh seorang suami sesuai dengan kadar kemampuannya, karena Allah I berfirman: “Orang yang mampu hendaknya memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan yang ada.”
(Ath-Thalaq: 7)
Tidak ada penetapan besarnya nafkah yang wajib dikeluarkan oleh suami,
namun yang jadi patokan adalah kecukupan nafkah tersebut bagi yang
dinafkahi, demikian pendapat jumhur ulama dari perselisihan pendapat
yang ada. (Subulus Salam, 3/341, Nailul Authar, 6/377)
Para suami hendaknya mengetahui bahwa Allah I berjanji untuk mengganti
nafkah yang telah diberikan oleh seorang hamba, dan tentunya ganti dari
Allah lebih baik dan lebih mulia. “Dan apa saja yang kalian nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rizki yang sebaik-baiknya.” (Saba: 39) Seorang suami yang tidak memberikan nafkah kepada keluarganya sementara
ia punya kemampuan berarti ia telah melalaikan satu kewajiban yang Allah
I telah bebankan di pundaknya, dan cukuplah baginya untuk mendapatkan
dosa. Rasulullah r menyatakan hal ini dalam sabdanya: “Cukuplah bagi seseorang untuk mendapatkan dosa bila ia menahan
makanan dari orang yang berhak mendapatkan makanan darinya.”6 (HR.
Muslim no. 996)
Al-Imam Ash-Shan’ani t berkata: “Hadits ini merupakan dalil tentang
wajibnya seseorang memberi nafkah kepada orang yang di bawah
tanggungannya. Karena tidaklah seseorang dihukumi berdosa kecuali karena
ia telah meninggalkan kewajibannya. Disampaikan di sini bahwa dosanya
tersebut cukup untuk membinasakan dirinya tanpa harus menyertakan dosa
yang selainnya.” (Subulus Salam, 3/345)
Bila ternyata seorang suami tidak memberikan nafkah kepada istrinya
dengan pemberian yang mencukupi atau malah tidak memberikan sama sekali,
diperkenankan bagi seorang istri untuk mengambil dari harta suaminya
walau tanpa sepengetahuannya. Hal ini pernah terjadi pada diri Hindun
bintu ‘Utbah x, istri Abu Sufyan dan ibu dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan
c. Ia mengadukan keadaan dirinya kepada Rasulullah r: “Abu Sufyan itu seorang lelaki yang bakhil.8 Ia tidak memberi nafkah
yang cukup padaku dan anakku, kecuali bila aku mengambil dari hartanya
dalam keadaan ia tidak tahu.”9 Rasulullah menjawab: “Ambillah untukmu
dan anakmu dengan apa yang mencukupimu dengan cara yang ma’ruf.” (HR.
Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 1714)
Namun tentunya seorang istri hanya dibolehkan mengambil harta tersebut
dengan cara yang ma’ruf, yaitu kadar harta yang diambil tersebut
diketahui secara kebiasaan telah mencukupi. (Fathul Bari, 9/613) Adapun bila suami telah memberikan nafkah dengan cukup sesuai
kemampuannya, tidak boleh seorang istri mengambil harta suaminya tanpa
ijinnya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Maksudnya, kata Abu Dawud, dengan mengatakan: “Semoga Allah menjelekkanmu.” (Sunan Abi Dawud, Kitabun Nikah, bab Fi Haqqil Mar-ah ‘ala Zaujiha). Demikian pula mengucapkan ucapan yang jelek, mencerca, mencela dan semisalnya. (‘Aunul Ma’bud)
2 Berkata Al-Qadhi: “Al-Istisha adalah menerima wasiat, maka makna
ucapan Nabi ini adalah: Aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan
terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini.” (Tuhfatul Ahwadzi)
3 Yakni selain istimta’ (berasyik masyuk dengannya), menjaga diri untuk
suaminya, menjaga harta suami dan anaknya serta menunaikan kebutuhan
suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)
4 Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)
5 Yang dimaksud dengan yahtasibuha adalah bertujuan untuk mencari pahala. (Fathul Bari, 9/600)
6 Orang yang ia beri makan adalah mereka yang wajib untuk ia berikan
infak/nafkah, yaitu istrinya, anak-anak, budak yang diimiliki. (Subulus
Salam, 3/345)
7 Dalam lafadz lain, Hindun berkata: “Apakah aku berdosa bila aku mengambil dari hartanya dengan sembunyi-sembunyi?” (HR. Al-Bukhari no. 2211)
8 Al-Qurthubi menyatakan: “Hindun tidaklah memaksudkan bahwa sifat Abu
Sufyan itu bakhil dalam seluruh keadaannya. Namun ia hanyalah
mensifatkan keadaan dirinya bersama Abu Sufyan, bahwa Abu Sufyan
menyempitkan pemberian nafkah untuknya dan untuk anak-anaknya. Dan ini
tidaklah berkonsekuensi bahwa Abu Sufyan itu memiliki sifat bakhil
secara mutlak karena kebanyakan para tokoh/pemimpin melakukan hal
tersebut terhadap istrinya dan ia mementingkan/lebih mendahulukan orang
lain dalam rangka mengambil hati mereka.” (Fathul Bari, 9/613)
9 Hadits ini merupakan satu dalil tentang bolehnya seseorang menyebut
perkara orang lain yang tidak ia sukai bila dalam rangka meminta fatwa
kepada seorang alim atau mengadukan perkaranya kepada orang yang
berwenang dan semisalnya. Ini salah satu bentuk ghibah yang
diperbolehkan. (Syarah Shahih Muslim, 12/7, Fathul Bari, 9/613, Subulus
Salam, 3/341)
Thank to:
0 Komen:
Posting Komentar