Skandal Bank Nusa Milik
Bakrie
Tahun 1999 dan Relevansinya
Awal tahun 1999, Indonesia belum setahun dipimpin Presiden Habibie yang
secara konstitusional menggantikan mantan Presiden Soeharto yang lengser 1998.
Kabinet Habibie menyebut diri “pemerintah
reformasi pembangunan”. Mudah dipahami, reformasi tidak semudah membalik
telapang tangan. Agenda reformasi Habibie tidak sesuai dengan wawasan gerakan
mahasiswa dan elemen rakyat yang mendengungkan “reformasi total”.
Lebih dari itu, sebuah masa transisional
era Habibie, kurs rupiah yang masih gonjang-ganjing $1/Rp 10.000,- dan
penyehatan perbankan nasional menyimpan sedikit-banyak catatan yang (minta
ijin) boleh dibuka kembali. Satu dekade lebih setelah Habibie, atau di
bawah pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, sejumlah orang yang dulu
memiliki catatan buruk praktek perbankan, kini menjadi Pemilik Media, menjadi
Pimpinan Partai, dan segalanya yang dimiliki “konglomerat".
Hebatnya lagi, para pelaku bisnis perbankan “era transisi yang chaotic”
itu, kemudian hari membentuk Partai atau membajak Partai lama sekalipun,
seperti men-take-over saham sebuah dinasti. Mereka bahkan tampil
dengan orang-orang muda yang tampak cerdas, yang harap saya keliru – juga
menderita amnesia sejarah atau hanya sekedar belum memiliki catatan-catatan
ini, dan bersikap luguh, jujur dan tegas. Saya amat keliru, kalau menganggap
orang-orang muda cerdas yang menduduki Rumah Rakyat di Senayan sekarang itu
tidak memiliki catatan sejarah ini tentang bosnya atau pimpinan partainya.
Bank Nusa
Nasional, Mega Skandal Perbankan 1999
Berita perbankan termasuk paling ramai dimuat media awal tahun 1999
adalah Bank Nusa Nasional (BNN) milik Aburizal Bakrie. Ketika itu, Faisal Basri
dalam seminar perbankan yang digelar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
meyakini kentalnya nuansa politis di balik penundaan itu. Bila banyak bank yang
ditutup risiko politiknya sangat besar. Bankir-bankir itu, katanya, mengancam
akan membongkar dana pejabat yang ditransfer ke luar negeri. Faisal Basri kemudian
mengusulkan agar Aburizal Bakrie dikeluarkan dari DPKEK dan DPR memanggil Menko
Ekuin Ginandjar untuk meminta penjelasan soal serius ini (Media Indonesia,
Senin, 1 Maret 1999).
Keganjilan yang terjadi pada BNN Aburizal Bakrie, yang ketika itu juga
masih sering dibubuhi media dengan - pengusaha pribumi, tak luput membawa-bawa
nama Adi Sasono dan mantan Presiden Habibie. Seperti diberitakan majalah Tempo,
edisi 23-1Maret 1999), BNN merupakan salah satu bank yang masuk ketagori C,
karena rasio kecukupan modalnya (capital adequacy ratio, CAR) di bawah
minus 25 persen (kriteria yang ditetapkan pemerintah). CAR BNN jauh di bawah
batas tersebut, yakni minus 210 persen. Apabila CAR BNN senilai Rp 2,4 triliun,
itu berarti modal BNN sudah minus 4,9 triliun. Untuk masuk ke kategori B, atau
CAR bisa di atas minus 25 persen BNN harus menyediakan dana tunai (fresh
money) sekitar Rp 5 triliun lebih hanya untuk Bank Aburizal.
Tetapi aneh bin ajaib dalam waktu kurang dari sebulan CAR BNN mendadak
naik meroket sehingga mencapai minus 24,5 persen (masuk kategori B), atau
mendadak meningkat 190 persen! Tak ada cara lain kecuali telah terjadi suntikan
modal ke bank tersebut. Lalu dari mana dana sedemikian banyak? Sementara grup
Bakrie sendiri sedang pusing tujuh keliling memikir pelunasan hutang-hutang
luar negerinya. Isu pun merebak, mengatakan bahwa dana tersebut diperoleh BNN
dari Menkop Adi Sasono berdasarkan memo dari Habibie sendiri. Besarnya sampai
1,5 triliun, yang diambil dari dana Jaring Pengaman Sosial (JPS), dan sebagian
lagi dari Departemen Koperasi dan penjualan aset Bakrie Grup (Sumber Kontan).
Dalam kasus BNN, ketika majalah Tempo melakukan konfirmasi bahwa Adi
Sasono telah mencairkan dana JPS untuk menolong bank Aburizal Bakrie itu, Adi
Sasono dengan tegas membantahnya dengan mengatakan bahwa dia tidak terlibat
soal begituan. Sebagai Menteri Koperasi, ia mengaku hanya mengurus soal yang
kecil-kecil, yang besar seperti itu urusan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank
Indonesia (Tempo, 23 Februari - 1 Maret 1999).
Ada apa di balik
penundaan pengumuman likuidasi bank-bank tanggal 27 Februari 1999? Sangat kuat
dugaan bahwa itu terjadi karena ada intervensi ke pemerintah oleh para pemilik
bank — yang kali ini dilakukan oleh bankir pribumi. Yang sudah “ketahuan” selain
Aburizal Bakrie (BNN), adalah Fadel Muhammad (Bank Intan) dan Sukamdani Sahid
Gitosardjono (Bank Sahid Gajah Perkasa).
Bahkan ketika itu, Ginanjar Kartasasmita dianggap teganya menipu rakyat,
dengan mengatakan bahwa penundaan pengumuman likuidasi bank-bank itu telah
disetujui IMF dan Bank Dunia, padahal kedua lembaga keuangan itu tak
tahu-menah. Kritik terhadap kebohongan Ginanjar itu dilancarkan ekonom
muda Sri Mulyani Indrawati di harian Kompas ketika itu.
Faisal Basri, yang juga Sekjen PAN mengritik bahasa rasis dan menggunakan
tameng isu rasialistis para pelaku perbankan, dengan mengatakan, “Tidak relevan
untuk menyelamatkan pribumi di sini. Sebaliknya justru semakin menyengsarakan
rakyat banyak yang adalah pribumi. Cara yang ditempuh pemerintah adalah karena
mereka mempunyai ambisi besar untuk menyeimbangkan posisi ekonomi pribumi
dengan ekonomi pengusaha keturunan, tetapi cara yang ditempuh sangat barbarian
dan sangat kontraproduktif,” (Warta Ekonomi, No. 42, 8 Maret 1999).
Skandal Bank BNN milik Aburizal Bakrie yang hilang di tengah masa
transisi politik-ekonomi-sosial awal 1999 itu dimungkinkan pula karena
posisinya sebagai Sekjen Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan
(DPKEK). Sedangkan beberapa menteri ketika itu juga menjadi anggota dari DPKEK
ini, seperti Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Rahadi Ramelan), Menteri
Pendayagunaan BUMN (Tanri Abeng), Menteri Keuangan (Bambang Subianto), Menko
Ekuin (Ginandjar Kartasasmita), dan Gubernur BI (Sjahril Sabirin). Bahkan
beberapa bank yang masuk kategori C, saham-sahamnya dimiliki oleh sejumlah
menteri tersebut.
Perkiraan
Solusi
Catatan dari dua titik sejarah satu dekade ini adalah, pertama,
kritik historis terhadap suatu kejadian di tengah kehidupan adalah cermin
kebenaran tertentu. Pilihannya adalah perbaikan diri, atau memproyeksikan suatu
kejahatan tertentu terhadap orang lain, apa yang pernah Anda sangat ahli telah
melakukannya. Sementara orang lain belum tentu mengetahui jenis kejahatan yang
dapat diduga Anda lakukan.
Kedua, peran media dan Wakil Rakyat Indonesia di Senayan
terakhir ini adalah bagian dari pencerdasan, tapi juga (dapat) jadi bagian dari
distorsi sejarah yang (relatif) utuh, teruji dan lengkap. Kebenaran hanya
diambil dari media yang jujur dan berintegritas, diterima masyarakat sebagai
kebenaran pula. Peran krusial media untuk menjadi kontrol sebuah pemerintahan
atau regim dapat disalah-gunakan, maka tidak “dikutip” dalam regim yang lain
sebagai kebenaran. Rakyat menilainya dalam sejarah.
Ketiga, Tidak mudah menjaga profesionalisme media,
kepentingan kelompok dan pribadi. Dalam kasus BNN dan Bank Century, misalnya,
satu dekade berbeda dengan beberapa orang dan kelompok yang sama, semuanya
menjadi cermin terbuka bagi masyarakat. Ini hanya sebuah catatan awal normatif
terhadap orang yang patut dianggap belum tentu bersalah dalam kasus Bank
Century. Jauh berbeda dengan Skandal Bank Nusa.
Meski sebagian dari kita mencatatnya, sebagian hidup di salah-satunya.
Pemberitaan sebagian media, antara lain dan terutama TV One, milik Aburizal
Bakrie, dianggap memberitakan secara tak seimbang kasus Bank Century, dan
melakukan “character assasination” terhadap sejumlah pejabat, antara
lain mantan Menkeu dan kini menjadi pejabat Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati.
Sri dalam catatan ini, bahkan tercatat melawan kebohongan mantan Menko Ekuin
Laksda (purn) Ginanjar Kartasasmita. Keberanian yang satu dekade kemudian,
hadir juga saat tampak menolak kompromi dengan Grup Bakrie.
Secara normatif, semua hal yang perlu dikritisi, seperti dilakukan
anggota Fraksi Golkar Bambang Soesatyo, yang juga saya kagumi, misalnya,
berlangsung baik, namun ahistoris. Masyarakat berharap mereka menyuarakan rasa
keadilan secara historis dan relatif obyektif, daripada jatuh pada “kebenaran
yang partisan”.
Akhirnya, keempat, catatan ini sekedar mengingatkan kita
pada sebuah pernjalanan sejarah. Pesan metaforis ini tetap aktual: “Jangan
biarkan anjing Anda terus menggongong orang (yang belum tentu) berniat buruk
atau tak bersalah, karena gonggongannya akan mengundang lebih banyak anjing
lain, dan berbalik mengeroroyok Anda, tuannya sendiri.
0 Komen:
Posting Komentar