v BAB 1
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Permasalahan korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah
penyakit yang tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang
diungkapkan oleh media seolah-olah merepresentasikan jati diri bangsa yang
dapat dilihat dari budaya korupsi yang telah menjadi hal yang biasa bagi semua
kalangan, mulai dari bawah hingga kaum elite.
Banyak kasus korupsi yang sampai sekarang tidak diketahui
ujung pangkalnya. Salah satunya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh
seorang pegawai pajak golongan IIIA, yang sempat menggegerkan Mabes Polri,
Gayus Tambunan. Keterkejutan semua orang terhadap apa yang telah dilakukan oleh
Gayus Tambunan adalah suatu hal yang wajar. Karena apabila kita melihat dari
statusnya yang hanyalah seorang pegawai negeri biasa, tetapi memiliki tabungan
yang begitu banyak, senilai Rp25 Miliar, tentu saja hal ini
mengundang tanya: Apalagi kalau bukan korupsi? Padahal, pekerjaan Gayus
sehari-hari cuma menjadi penelaah keberatan pajak (banding) perorangan dan
badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak. Mengingat gaji pegawai pajak
setingkat golongan IIIA hanyalah berkisar antara Rp1.655.800 sampai Rp1.869.300
per bulan, hal ini menegaskan bahwa seorang Gayus Tambunan pasti telah
melakukan kecurangan yang dapat merugikan Negara dan masyarakat banyak.
Seperti yang telah diberitakan oleh berbagai media bahwa
nama Gayus Tambunan mulai mencuat ketika disebutkan oleh mantan Kabareskrim
Komjen Susno Duadji sebagai seseorang yang berkaitan erat dengan makelar kasus.
Susno menyebutkan Gayus memiliki Rp25 miliar di rekeningnya, namun
hanya Rp 395 juta yang disita negara. Sisanya Rp24,6
miliar menguap entah ke mana. Susno mengutarakan bahwa ada keterlibatan
dari tubuh Polri sendiri dalam kasus manipulasi pengusutan pajak.
Gayus kemudian dituntut kepolisian dengan tiga pasal, yakni
pasal penggelapan, pencucian uang, dan korupsi. Namun pada persidangan itu
Gayus hanya dituntut dengan pasal penggelapan, divonis oleh hakim dengan
hukuman 1 tahun percobaan, kemudian dibebaskan. Terdapat berbagai kejanggalan
di pengadilan Gayus saat itu, antara lain soal ancaman hukuman yang ternyata
lebih ringan dari ketentuan Undang-Undang, tuntutan dari jaksa yang hanya
berupa tuntutan soal penggelapan uang, serta penggelaran persidangan yang
dilakukan di hari Jumat, di Pengadilan Negeri Tangerang,
yang biasanya tidak digelar persidangan pidana.[1]
Modus Gayus melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan
wewenangnya bermacam-macam. Dalam posisinya sebagai pegawai Sub Direktorat
Banding Direktorat Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007 Gayus berhasil
memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Berkaitan dengan ini, Gayus
memiliki peluang besar untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam pengadilan pajak,
yaitu dengan memainkan selisih pemenangan banding. Misalnya seorang wajib
pajak seharusnya membayar pajak Rp3 Miliar. Lalu dia keberatan,
ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu Gayus memenangkan banding wajib
pajak. Selain itu, menurut Indonesia
Corruption Watch (ICW), diduga modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain
kurs Rupiah saat menangani pajak Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil
manipulasi tersebut menyebabkan kewajiban pajak berkurang hingga US$ 164,627
ribu.[2]
Kini Gayus Tambunan kembali ditetapkan sebagai terdakwa dan
dijerat pasal berlapis yakni korupsi, pencucian uang dan penggelapan. Kasus
Gayus kini melebar dan melibatkan sejumlah pihak. Namanya mencuat kembali saat
dirinya diduga bebas berkeliaran keluar dari rumah tahanan. Gayus Tambunan,
entah mengapa, mendapatkan perlakukan khusus yang sangat tidak masuk akal.
Perkembangan terkini dari penanganan kasus korupsi Gayus
Tambunan semakin membuat masyarakat jengah. Gayus Tambunan sebagai tersangka
korupsi seolah-olah memiliki kuasa sahingga dia selalu mendapatkan perlakuan
istimewa. Terakhir, dia kembali mendapatkan perlakuan istimewa di depan hukum,
yaitu kepolisian hanya menjeratnya dengan pasal gratifikasi, di mana dia hanya
dapat dihukum maksimal 3 tahun penjara. Dalam berbagai perkara yang pernah ada,
seseorang yang terjerat pasal gratifikasi sering lolos dari jeratan hukum. Hal
ini kemudian menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak
hukum dalam menangani kasus Gayus. Oleh karena itu masyarakat banyak yang
mendesak agar kasus Gayus ditangai oleh KPK. Akan tetapi, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sendiri tetap menegaskan bahwa kasus Gayus tetap ditangai
oleh Polisi. Padahal, telah jelas terlihat bahwa Kepolisian sendiri tidak
serius dalam menangani kasus korupsi Gayus sehingga menyebabkan kasus ini tidak
menemui ujungnya.[3]
Hal ini kemudian menjadi pertanyaan penting bagi kita semua.
Ada apa dengan negeri ini? Mengapa korupsi tetap saja dapat berjaya dan
bersemayam di tubuh semua lembaga, bahkan di lembaga yang seharusnya memiliki
kewajiban untuk memberantas korupsi itu sendiri. Ini menjadi tantangan bagi
bangsa dan negara dalam mengatur dan menata kehidupannya.
2.
Rumusan Masalah
Pertanyaan yang penting untuk dijawab di sini adalah
bagaimana bisa muncul suatu penyakit, yaitu korupsi. Mengapa dia menjadi benalu
yang tidak pernah lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara? Bahkan korupsi
telah menjamah semua kalangan di dalam masyarakat. Yang lebih memprihatinkan
adalah korupsi terus bersarang, dan sarangnya semakin besar, di kalangan atas,
para elite, pejabat, dan pemimpin yang memiliki kuasa dalam mengatur
kesejahteraan masyarakat umum.
Mengapa korupsi bisa terjadi? Mengacu kepada kasus Gayus
Tambunan, melihat keterkaitan korupsi dengan kekuasaan, tindak kejahatan
korporasi dan birokrasi, adalah hal yang akan dibahas dalam makalah ini.
Rumusan masalah dalam makalah ini terletak pada kasus korupsi yang dilakukan
oleh kalangan atas, para elite, pejabat dan petinggi negara semakin serius
sehingga menimbulkan banyak kerugian bagi negara dan masyarakat.
3.
Tujuan
Tujuan
dari makalah ini adalah untuk memahami mengapa munculnya suatu penyimpangan
etika yairu suatu tindakan korupsi dalam sebuah kekuasaan, bahkan dalam
praktek-praktek penegakan hukum sekalipun. Selain itu, dengan pembahasan dalam
makalah ini, diharapkan juga dapat diketahui apa-apa saja faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya tindakan korupsi di kalangan atas, para elite, dan
pejabat pemerintah. Serta mencari akar-akar permasalahannya dan solusinya.
v BAB 2
LANDASAN TEORI
Dalam
melihat hubungan antara korupsi, kekuasaan, dan kejahatan korporasi dan
birokrasi ini, akan dibahas pengertian beberapa kerangka teoritik berikut.
1. Korupsi
Secara
etimologi, kata korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptus
yang merupakan kata sifat dari kata kerja corrumpere yang bermakna
menghancurkan (com memiliki arti intensif atau keseungguh-sungguhan,
sedangkan rumpere memiliki arti merusak atau menghancurkan). Dengan
gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara harfiah bahwa korupsi
adalah suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara intensif. Dalam
dictionary.reference.com, kata corruption diartikan sebagai to
destroy the integrity of; cause to be dishonest, disloyal, etc., esp. by
bribery.[4]
Sejatinya,
ada begitu banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para
ahli. Huntington (1968) memberikan pengertian korupsi sebagai perilaku
pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat,
dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan
pribadi. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum. Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan
kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti
sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. “Mempertahankan
jarak” ini maksudnya adalah dalam mengambil sebuah keputusan, baik di bidang
ekonomi, politik, dan sebagainya, permasalahan dan kepentingan pribadi atau keluarga
tidak memainkan peran.[5]
Selain itu, korupsi juga dapat dikatakan sebagai representasi dari rendahnya
akuntabilitas birokrasi publik.[6]
Nye, J.S. (1967) dalam “Corruption and political development”
mendefiniskan korupsi sebagai prilaku yang menyimpang dari aturan etis formal
yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan
oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status.[7]
Amin Rais, dalam sebuah makalah
berjudul “Suksesi Sebagai Suatu Keharusan”,
tahun 1993, membagi jenis korupsi menjadi empat tipe. Pertama, korupsi
ekstortif (extortive corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada
situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau
mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha
dengan sengaja memberikan sogokan pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin
usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari
ribuan sampai miliaran rupiah. Kedua, korupsi manipulatif (manipulative
corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada usaha kotor seseorang untuk
mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka
memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya pemberian uang kepada
bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat
menguntungkan pihak tertentu yang memberikan uang tersebut Peraturan ini
umumnya dapat merugikan masyarakat banyak. Ketiga, korupsi nepotistik
(nepotistic corruption), yaitu perlakuan istimewa yang diberikan pada
keluarga: anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap
eselon. Dengan perlakuan istimewa itu para anak, menantu, keponakan dan
istri sang pejabat juga mendapatkan keuntungan. Keempat, korupsi
subversif (subversive cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap
kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat negara dengan menyalahgunakan
wewenang dan kekuasaannya.
2. Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau
sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain
sedemikan rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan
tujuan dari oang yang mempunyai kekuasaan itu. Kekuasaan sosial terdapat dalam
semua hubungan sosial dan dalam semua organisasi sosial.[8]
Kekuasaan
sosial adalah kemampuan untuk mengedalikan tingkah laku orang lain, baik secara
langsung dengan jalan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan
mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia.[9]
Kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramida, yang disebabkan
oleh kekuasaan yang satu menegaskan dirinya lebih unggul daripada yang
lain. Piramida kekuasaan ini menggambarkan kenyataan bahwa dalam sejarah
masyarakat golongan yang berkuasa dan yang memerintah itu relatif lebih kecil
dari pada yang dikuasai.[10]
Kekuasaan
politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah)
baik terbentuknya mamupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang
kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial,
dan fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang berwenang
untuk mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan.[11]
3.
White-Collar
Crime
Pengertian
dasar dari konsep white-collar crime yang dikemukakan oleh Sutherland
adalah untuk menunjuk tipe pelaku dari suatu kejahatan, yaitu “orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur
pekerjaanya”.[12] Orang
dari kelas sosial ekonomi ini, menurut Sutherland, adalah mengacu kepada
orang-orang yang berada di kelompok orang-orang terhormat.
Atas
dasar pengertian di atas, tindakan kriminal seperti pembunuhan, perzinahan, dan
peracunan tidak dapat dikategorikan sebagai white-collar crime meskipun
kejahatan itu dilakukan oleh orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi karena
tindakan itu tidak memiliki kaitan dengan pekerjaannya. Kejahatan yang
dilakukan oleh penjahat yang kaya, misalnya kecurangan dalam perjudian, yang
memiliki kaitan erat dengan pekerjaannya, juga tidak dapat dikateogrikan
sebagai white-collar criminal, karena penjahat tersebut tidak termasuk
dalam golongan orang terhomat.[13]
White-collar
yang dimaksudkan oleh Sutherland adalah mereka yang merupakan orang-orang
terhormat. Istilah itu merupakan istilah yang awalnya digunakan oleh Sloan,
Direktur General Motors dalam bukunya The Autobiography of a White Collar
Worker, yang memiliki arti lebih luas. White-collar menunjuk kaum
peneruma gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam pekerjaanya,
seperti karyawan administrsi kantor, para manajer dan para asistennya.[14]
Pelanggaran-pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh orang-orang terhormat ini biasanya berupa pemanfaatan
wewenang untuk kepentingan pribadi, biasanya dalam usaha untuk mempertahankan
jabatan atau memperoleh kekayaan. Terkait dengan hal ini, sistem keuangan
negara yang berlaku di negeri ini merupakan lahan yang subur bagi praktik-praktik
yang demikian. Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi mesin
utama bagi negara dalam menghasilkan dana juga membuka kesempatan terjadinya
kejahatan oleh kerah putih. White-collar crime dalam bentuk kejahatan
korporasi tercatat terjadi di bidang yang berhubungan dengan perlindungan
konsumen, pencemaran lingkungan, pembalakan hutan (Illegal loging).
Terdapat dua kategori kejahatan dalam dimensi white-collar
crime, menurut Clinard dan Quinney (1973), yaitu occupational criminal
behavior dan corporate criminal behavior. Dalam menjabarkan
ciri-ciri occupational crime behavior, Clinar dan Quineey merujuk kepada
rumusan tipologi oleh Bloch dan Geis (1970), yaitu perbuatan yang dilakukan:
-
oleh individu sebagai individu
(misalnya pengacara, dokter);
-
oleh pegawai terhadap majikannya
(misalnya kasus penggelapan);
-
oleh pejabat pembuat kebijakan
untuk kepentingan majikan (kasus monopoli);
-
oleh agen korporasi terhadap
kepentingan umum (misalnya iklan yang menyesatkan);
-
oleh pedagang terhadap konsumen
(pelanggaran konsumen).
Hagan (1989) memberikan tipologi white-collar
crime yang berangkat dari tipologi yang diutarakan oleh Edelhertz.
Tipologi oleh Edelhertz adalah sebagai berikut:
-
Kejahatan
oleh orang-orang yang bekerja secara individual dan sementara (ad hoc),
misalnya pelanggaran pajak, penipuan kartu kredit, penipuan kebangkrutan dan
lain-lain;
-
Kejahatan
yang dilakukan dalam rangka pekerjaan (yang sah) oleh orang yang mengoperasikan
bisnis internal, pemerintahan, atau lain-lain kemapanan, dalam bentuk
pelanggaran tugas atau loyalitas dan kesetiaan terhadap majikan dank lien,
misalnya penggelapan, pencurian, penggajian pegawai palsu;
-
Kejahatan
yang sesekali dilakukakan dalam rangka memajukan usaha bisnis, misalnya
pelanggaran antimonopoli, penyuapan, pelanggaran peraturan makanan, dan
obat-obatan;
-
White-collar
crime sebagai bisnis, atau sebagai
aktivitas utama. Konsep ini termasuk dalam bahasan kejahatan professional,
misalnya penipuan layanan pengobatan dan kesehatan, undian palsu, dan
sebagainya.[15]
Ketentuan
tipologi yang pertama dan kedua adalah bentuk kejahatan yang dijalankan oleh
individu, sedangkan ketentuan yang ketiga dan keempat merupakan bentuk
kejahatan yang dilakukan oleh organisasi.
4. Kejahatan
Korporasi
Kejahatan
korporasi tidak dapat dilihat sebagai tingkah laku yang dilakukan oleh orang,
tetapi harus sebagai tingkah laku organisasi yang kompleks. Kejahatan korporasi
dapat dipahami melalui teori organisasi untuk menjelaskan bagaimana korporasi
sebagai organisasi yang secara kodrati khas, yaitu organisasi berskala besar
melakukan tingkah laku yang melanggar hukum. Strtuktur dari organisasi
korporasi ini sangat luas sehingga menopang keadaan yang mendorong terjadinya
penimpangan oleh organisasi, disebabkan oleh menyebarnya tanggung jawab secara
luas. Kodrat tujuan korporasi untuk mendapatkan keuntungan yang merupakan cirri
iklim sosal industry dapat mendorong tindakan pelanggaran hukum dan tindakan
yang mendekati pelanggaran hukum.[16]
Di
dalam korporasi, terdapat jenjang-jenjang yang memungkinkan setiap jenjang
tersebut memiliki sikap tidak bertanggung jawab (pelembagaan sikat tidak
bertanggung jawab). Hal ini menyebabkan korporasi bekerja dan memiliki fungsi
seperti tirai, yang membolehkan setiap orang di dalamnya tidak tersentuh oleh
moral maupun hukum. Dari situasi seperti inilah kejahatan korporasi hampir
dapat terjadi. Mereka, eksekutif korporasi, dapat mengelak dari tanggung jawab
dengan dalih bahwa cara-cara tidak sah dalam mencapai tujuan korporasi yang
dirumuskan secara umum sdah merupakan sarana yang tersedia tanpa dapat
dikendalikan.[17]
5. Differential Association
Differential
Association
adalah sebuah teori kriminologi yang melihat bahwa tindakan kejahatan sebagai
perilaku yang dipelajari. Teori yang dikemukakan oleh Sutherland ini,
berkeyakinan bahwa perilaku menyimpang disosialisasikan melalui sebuah cara
yang kurang memiliki perlawanan terhadap perilaku iti sendiri. Sama halnya
dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, yang disosialisasikan melalui
interaksi sosial dan ketaatan, begitu juga dengan kejahatan dan perilaku
menyimpang. Sutherland memberikan 9 prinsip dari
teori Differential Association, yaitu:
1)
Kejahatan dan perilaku menyimpang
itu dipelajari.
2)
Kejahatan dan perilaku menyimpang
itu dipelajari dalam sebuah interaksi dengan orang lain melalui proses
komunikasi.
3)
Belajar menjadi jahat terjadi di
dalam primary group (keluarga, teman, teman sepermainan atau sahabat
paling dekat).
4)
Belajar menjadi jahat termasuk
juga di dalamnya untuk belajar mengenai teknik, tujuan, rasionalisasi,
kebiasaan dan sikap sehari-hari.
5)
Arah khusus dari tujuan dan sikap
itu dipelajari dari definisi situasi yang menguntungkan dan tidak
menguntungkan.
6)
Seseorang menjadi penjahat
apabila di dalam dirinya ada pertimbangan bahwa dengan melanggar hukum akan
mendapat keuntungan yang lebih banyak daripada tidak melanggar hukum.
7)
Differential association bervariasi dalam
frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.
8)
Proses belajar menjadi jahat itu
melibatkan semua mekanisme yang terlibat dalam pembelajaran lainnya.
9)
Meskipun perilaku kejahatan
(kriminal) adalah ekspresi dari kebutuhan umum dan sikap, perilaku kriminal dan
tujuannya tidak dijelaskan atau dimaafkan oleh kebutuhan dan sikap sama,
sedangkan perilaku non-kriminal dijelaskan oleh kebutuhan umum dan sikap sama.
v BAB 3
PEMBAHASAN
Korupsi
tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari apa yang dinamakan kekuasaan. Di mana
ada kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini telah menjadi kodrat dari kekuasaan
itu sendiri, yang menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya tindakan korupsi.
Kekuasaan dan korupsi yang selalu berdampingan, layaknya dua sisi mata uang,
merupakan hakikat dari pernyataan yang disampaikan oleh Lord Acton, dari
Universitas Cambridge, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt
absolutely.
Terdapat
sebuah postulat yang mengatakan bahwa korupsi selalu mengikuti watak kekuasaan.
Dalam artian bahwa korupsi itu ada baik di pemerintahan yang sentralistik
maupun desentralistik. Jika pemerintahan suatu negara adalah sentralistik,
korupsi juga akan bersifat sentralistik. Semakin kuat kekuasaan itu tersentral,
semakin besar pula terjadi kasus korupsi di kekuasaan pusat tersebut. Di
Indonesia, hal ini terjadi pada masa Orde Baru. Sebaliknya, jika pemerintahan
suatu negara adalah desentralistik, misalnya dengan Otonomi Daerah, tindakan
korupsi akan tersebar pula mengikuti pola pemerintahan desentralistik tersebut.
Dengan kata lain, praktek korupsi juga terjadi di pemerintahan tingkat daerah.
Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan
yang otonom, korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat kekuasaan
kepada banyak pusat kekuasaan. Situasi seperti ini terjadi pada masa sekarang
di Indonesia.[18]
Sesuai
dengan definisinya, korupsi sebagai prilaku yang menyimpang merupakan suatu
tindakan yang melanggar aturan etis formal yang dilakukan oleh seseorang dalam
posisi otoritas publik (penguasa). Korupsi cenderung dilakukan oleh orang yang
memiliki kuasa atau wewenang terhadap sesuatu. Apabila seseorang tersebut tidak
memiliki kuasa, kecil kemungkinan bagi dirinya untuk melakukan korupsi. Namun,
merupakan suatu kemustahilan bagi manusia yang tidak memiliki sebuah
‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling utama dari korupsi adalah tindakan
tersebut dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi semata dan
merugikan pihak lain di luar dirinya. Contoh paling mudah adalah seorang
mahasiswa yang bolos kuliah dan meminta temannya untuk mengisi buku hadir.
Sejatinya, ia telah melakukan korupsi karena ia memiliki kuasa terhadap
kehadiran dan ketidakhadiran dirinya di dalam kelas. Dia melakukan tindakan
tersebut untuk kepentingannya sendiri.
Melihat konteks kasus-kasus korupsi yang terjadi di
Indonesia, korupsi kelas kakap, merupakan korupsi serius yang merugikan negara
dan masyarakat banyak. Korupsi yang dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah
kekuasaan. Para pejabat publik telah dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya
untuk melakukan tindakan melanggar hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang
pejabat publik yang memegang kekuasaan (memiliki wewenang) secara otomatis
memiliki daya untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan. Sesuai dengan
sifat dari kekuasan (kekuasaan politik) itu, yaitu mengendalikan tingkah laku
manusia (masyarakat) secara koersif (memaksa) agar supaya masyarakat bersedia
tunduk kepada negara (pemerintah). Dalam hal ini, setiap kebijaksanaan yang
diberlakukan sejatinya merupakan sebuah ketentuan atau aturan yang sesuai
dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Dari sini lah peluang untuk
terjadinya tindakan korupsi besar sekali.
Mengacu pada kasus korupsi Gayus
Tambunan, dapat dijelaskan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan oleh Gayus itu
dapat terlaksana karena dia memiliki suatu kekuasaan dan wewenang. Seperti yang
kita ketahui bahwa Gayus bekerja di kantor pusat pajak, memegang jabatan
sebagai Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak. Posisi yang demikian
sangat memudahkannya untuk memanipulasi data, mempengaruhi suatu kebijakan
sehingga ia dapat meraup keuntungan yang besar untuk dirinya sendiri. Menurut
sumber Media Indonesia, modus Gayus melakukan pelanggaran dengan
memanfaatkan wewenangnya bermacam-macam. Dalam posisinya sebagai pegawai Sub
Direktorat Banding Direktorat Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007
Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Berkaitan
dengan ini, Gayus memiliki peluang besar untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam
pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih pemenangan banding. Misalnya
seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak Rp3 Miliar. Lalu dia
keberatan, ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu Gayus memenangkan
banding wajib pajak. Selain itu, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW),
diduga modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain kurs rupiah saat menangani
pajak Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut menyebabkan
kewajiban pajak berkurang hingga US$ 164,627 ribu.[19] Dari perkara-perkara seperti ini lah Gayus berhasil
mendapatkan keuntungan tersebut. Dia memiliki kepintaran dan kelihaian yang
merupakan ‘senjata’ dari sebuah kekuasaan dan kewenangan.
Manusia memiliki sifat dasar untuk
terus mengonsumsi, atau paling tidak memenuhi kebutuhan pokoknya. Oleh karena
itu, besar kemungkinan tuntutan-tuntutan pribadi tetap membayangi manusia di
dalam melaksanakan kewajibannya, yang seharusnya kewajiban itu menuntut
seseorang untuk dapat berperilaku bersih dan mengutamakan kepentingan umum dan
tanggung jawab. Hal ini pula yang menimpa Gayus Tambunan. Ada kecurigaan bahwa
kasus korupsi, penggelapan dan pencucian uang disebabkan oleh suap yang
dilakukan oleh para pengusaha agar mau memudahkan jalan bagi usaha mereka.
Seperti misalnya ketika Gayus menerima aliran duit sebesar Rp370
juta. Selain itu, ada keterlibatan pengusaha bernama Andi Kosasih dalam kasus
korupsi Gayus Tambunan.
w 1. Korupsi yang merugikan negara dan masyarakat banyak
biasanya bermula dari penguasa.
Kaitan
tindakan kejahatan, korupsi, antara penguasa dan keterlibatan para pengusaha,
secara sederhan dapat diilustrasikan sebagai berikut; penguasa dapat memberikan
akses kepada para pengusaha untuk melakukan eksploitasi rente ekonomi yang
merugikan konsumen dan masyarakat luas. Di lain pihak pengusaha diuntungkan,
dan bagian keuntungan tersebut harus dibayar (diserahkan) kepada pemberi akses
tadi, yaitu penguasa.[20]
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi,
antara lain adalah korporatisme. Korporatisme, dalam khasanah literature
ekonomi-politik, sering disepadankan dengan praktek politik di mana pemerintah
atau penguasa berinteraksi secara tertutup (idak diketahui oleh
masyarakat) dengan sektor swasta besar (pengusaha kelas kakap). Dalam
ketertutupan tersebut, transaksi ekonomi mapun politik terjadi hanya untuk
kepentingan segelintir kelompok kepentingan (interest group) yang
terlibat di dalamnya. Biasanya transaksi politik maupun eknomi yang seperti ini
terjadi secara informal dalam tatanan hukum yang kabur atau tatanan hukum yang
memihak kepentingan kelompok kecil tersebut. Adanya persengkongkolan seperti
ini membuka peluang besar bagi hukum untuk dipermainkan (mafia hukum) sehingga
hukum seorah-olah telah dipegang oleh tangan-tangan tertentu.[21]
Sistem
korporatisme akan menimbulkan ketidakstabilan dan rakyat menjadi pihak yang
dirugikan. Dalam prakteknya, korporatisme biasanya berbarengan dengan
praktek-praktek haram lainnya yang disebut dengan rent seeking (memburu
rente) yang dilakukan oleh para elite penguasa atau pun keluarga di lingkup
elite. Rent seeking dalam prakteknya adalah menjualbelikan jabatan
publik yang dimiliki oleh pejabat publik guna memperoleh kekuntungan ekonomi,
yang prakteknya berwatak “koruptif”. Praktek-praktek seperti ini dapat dilihat
jelas pada masa Orde Baru, yang pada saat itu terjadi distribusi modal yang
hanya dinikmati segelintir orang atau pengusaha (yang umumnya adalah keluarga
Soeharto) dan terdapat praktek monopoli dalam produksi.[22]
Seperti
yang disampaikan oleh Amien Rais tentang empat tipe korupsi, secara jelas bahwa
bagaimanapun tindakan korupsi itu, tidak akan lepas dari apa yang namanya
persengkongkolan (korporasi) antara penguasa (penguasa merupakan pihak pertama
yang pada awalnya membuka akses untuk terjadinya kecurangan) dengan para
pengusaha (sektor swasta, yang berpotensi memberikan rangsangan kepada penguasa
untuk membuka akses kemudahan bagi pelanggaran hukum). Korupsi atau kejahtan
korporasi juga didorong oleh pengaruh hasrat dan ketamakan dari dalam diri
seseorang (dalam hal ini adalah penguasa), serta tuntutan keluarga (korupsi
nepotistik).
Prof.
Muhammad Mustofa, dalam bukunya Kleptokrasi, menjelaskan keterkaitan
konsep keluaga dalam tatanan sosial Indonesia dengan tindakan korupsi. Dalam
masyarakat Indonesia, keluarga dimaknai sebagai kelompok yang tidak hanya
terdiri dari ayah, ibum dan anak-anak (keluarga batih), tetapi juga berupa
konsep keluarga besar yang meliputi seluruh kerabat dekat dan kerabat jauh,
seperti nenek dan nenek, paman dan bibi beserta anak-anaknya, baik dari pihak
ayah maupun ibu. Dalam tatanan sosial terdapat suatu tuntutan dan harapan peran
agar setiap individu di dalam keluarga itu bertanggung jawab terhadap
anggota-anggota keluaraga besa yang sedang tidak beruntung.[23]
Pola seperti ini memang memiliki manfaat yang baik. Konsep
keluarga besar ini tersebut dapat dianggap sebagai mekanisme yang memiliki
potensi untuk mengatasi masalah sosial, seperti pengengguran dan kemiskinan.
Namun begitu, konsep keluarga besar seperti ini juga memiiki potensi yang tak
kalah kuatnya untuk mendorong ke situasi yang kondusif bagi dilakukannya
tindakan penyimpangan. Ketika ada tuntutan dan tanggung jawab yang diemban
untuk saling membantu anggota keluarga yang sedang susah, seseorang berada pada
titik di mana dia harus memberikan bantuan materil (terkadang pemberian
pekerjaan). Keadaan seperti ini sama saja dengan “lebih besar pasak dari
pada tiangnya” sehingga individu tersebut harus mencari tambahan
penghasilan untuk menutupi kekurangan tersebut. Hal ini lah yang kemudian
menyebabkan individu sering melakukan suatu tindakan untuk mendapatkan
penghasilan tambahan dengan jalan yang tidak sah, misalnya korupsi.[24]
w 2. Korupsi merupakan white-collar crime.
Merujuk
kepada pengertian white-collar crime yang menunjukkan suatu tindakan
kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat, sesungguhnya kasus korupsi
Gayus Tambunan sangat dapat dilihat dari pisau bedah ini.
Yang
pertama sekali harus diperhatikan adalah kata “orang terhormat” tersebut. Bisa jadi ini dapat menimbulkan
pengertian yang bias tentang status Gayus Tambunan yang hanyalah seorang
pegawai rendahan di kantor pusat pajak. Oleh karena itu, penulis lebih
menekankan pengertian white-collar ini sebagai istilah yang memiliki
makna pada awal kemunculannya, yang digunakan oleh Sloan, yaitu white-collar
yang menunjuk kaum penerima gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam
pekerjaanya, seperti karyawan administrsi kantor, para manajer dan para
asistennya. Dari sini, Gayus termasuk dalam kategori yang dimaksudkan.
Tipologi dari white-collar crime yang dibuat oleh
Clinard dan Quinney (1973) adalah occupational criminal behavior dan corporate
criminal behavior. Dua tipologi ini kemudian dibagi menjadi lima tipe ciri
pelaku dan tujuan, yaitu:
1)
Pelanggaran
individu sebgai individu.
2)
Pelanggaran
pegawai terhadap majikan.
3)
Pelanggaran
pejabat pembuat keibjakan untuk kepentingan umum.
4)
Pelanggaran
agen korporasi terhadap kepentingan umum.
5)
Pelanggaran
oleh pedagan terhadap konsumen.[25]
Kejahatan
korupsi adalah pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang terhormat tadi.
Kejahatan ini dapat dilakukan oleh individu sebagai individu, atau pegawai
terhadap majikannya (kasus penggelapan). Melihat secara sepintas kasus korupsi
yang dilakukan oleh Gayus, tindakannya temasuk dalam kategori ini, yaitu
dilakukan oleh individu sebagai individu demi keuntungan yang dinikmati oleh
individu. Namun demikian, adanya dugaan keterlibatan para pengusaha lain, seperti
Andi Kosasih, dan para petinggi dari Kepolisian, menjadikan kasus korupsi Gayus
(makelar kasus) sebagai bentuk dari kejaharan korporasi (dilakukan oleh
organisasi, dalam bentuk struktur organisasi yang saling menguntungkan dan
melindungi, serta melempar tanggung jawab). Aksi seperti ini termasuk dalam
tipe 3 dan tipe 4 yang disampaikan oleh Clinard dan Quinney, yaitu pelanggaran
yang dilakukan oleh pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan atau
pihak tertentu; pelanggaran yang dilakukan oleh agen korporasi terhadap
kepentingan umum. Berkaitan dengan hal ini, pengusaha memanfaatkan posisi Gayus
untuk mempermudah prosedural pengurusan pajak, dan bahkan melibatkan pihak
kepolisian untuk menutupi kecurangan yang telah dilakukan.
Prof.
Muhammad Mustofa, memberikan penjelasan tentang teori yang digagas oleh
Sutherland, berkaitan dengan kasus korupsi ini. Sutherland menganalisa dan
menjelaskan gejala white-collar crime dengan menggunakan teori different
association. Sutherland menunjukkan bahwa para pelaku kejahatan tersebut dalam
melaksanakan pekerjaannya melakukan pelanggaran hukum, tetapi bukan merupakan
kelanjutan dari kenakalan yang pernah dilakukan pada masa anak atau remaja.
Konsep ini menunjukkan bahwa mereka berasal dari kalangan atas yang berpendidikan.
Ketika para pelaku ini belajar masalah bisnis, pada saat itu pula lah mereka
belajar tentang bagaimana cara melakukan pelanggaran hukum (dalam
different association dikatakan bahwa kejahatan didapat dari proses belajar).
Konsep bisnis dihayati sebagai sikap untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya
dengan segala cara. Dalam melakukan bisnis ini, sering terjadi penyelewengan
hukum demi kelancaran jalannya bisnis. Penyimpangan sengaja dilakukan untuk
meningkatkan keuntungan. Misalnya pelaku usaha yang sengaja membuat iklan
terlalu berlebihan dan menyesatkan (terdapat unsur kebohongan) agar konsumen
mau membeli produk mereka. Hal ini merupakan sebagian kecil dari banyak contoh
yang memperlihatkan bentuk kecurangan dalam perilaku bisnis. Biasanya dalam
melakukan kecurangan, pelaku bisnis jarang sekali mendapatkan kritik dari media
massa, karena sejatinya media massa juga merupakan palaku bisnis. Para pelaku
bisnis terbebas dari kritik dan terbebas dari kemungkinan diajukan ke
pengadilan karena mereka mempuyai hubungan yang erat dengan birokrasi.[26]
Mengacu
kepada kasus Gayus Tambunan, jelaslah sudah bahwa teori different
association dapat dijadikan landasan sebagai pisau untuk menjelaskan
mengapa korupsi dapat terjadi dan dilakukan oleh seorang individu. Menurut yang
diberitakan dalam Republika Online, Gayus semasa muda adalah orang yang
berpendidikan, terkenal sebagai anak muda yang baik, ramah, dan pintar dalam
mengatur keuangan. Keluarganya dipandang cukup berada pada masa itu. Selain
itu, Gayus juga merupakan seorang tamatan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
dengan nilai yang cukup memuaskan meskipun tidak dapat dikatakan sebagai nilai
yang spektakuler.[27]
Tentunya semua kelihaian Gayus dalam mengolah data keuangan di kantor pusat
pajak ia dapatkan dari bekalnya menuntut ilmu tersebut. Akan tetapi kemahiran
dalam melakukan pelanggaran hukum didapatkan di lapangan, setelah ia terjun
langsung dalam dunia perpajakan dan bisnis (dalam hal ini bisnis diartikan
sebagai kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk mendapatkan
laba/keuntungan).
Tidak
hanya kepada Gayus, teori ini juga dapat ditunjukkan kepada pelaku usaha yang
bekerja sama dengan Gayus Tambunan. Semua pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
pelaku bisnis, sesuai dengan teori tersebut, merupakan hasil belajar dari
pengalaman, belajar di lapangan, yang terpicu karena penghayatan pelaku bisnis
yang memaknai kegiatan mereka adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya. Atas
dasar ini, pelanggaran hukum telah menjadi suatu kebiasaan, atau bahkan mereka
terisolasi dari pengertian yang menegaskan bahwa pelanggaran hukum yang mereka
lakukan adalah salah.
Adanya
faktor tuntutan dari konsep keluarga besar yang ada dalam masyarakat Indonesia,
wewenang yang dimiliki (kekuasaan), tuntutan bisnis dan keuntungan pribadi,
persengkokolan (korporasi) menjadikan tindakan korupsi sebagai tindakan yang
sudah biasa dan lazim saja dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Mengerucutkan semua faktor-faktor yang ada tersebut, semuanya kembali
kepada hati nurani dan keimanan seseorang dalam mengambil sikap dan
melaksanakan amanah yang mereka emban.
Dalam
ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Korupsi tidak ditemukan pengertian tentang korupsi. Akan
tetapi, dengan memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik
formil, maka Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 mengatur secara
tegas mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi dimaksud. Pasal 2
Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan sebagai berikut : “Setiap orang yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman
Negara.” Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.”
Definisi yuridis di atas merupakan batasan formal yang
ditetapkan oleh badan atau lembaga formal yang memiliki wewenang untuk itu di
suatu negara. Oleh karena itu, batas-batas korupsi sangat sulit dirumuskan dan
tergantung pada kebiasaan maupun undang-undang domestik suatu negara. Korupsi
pertama kali dianggap sebagai tindak pidana di Indonesia berdasarkan
Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dalam kenyataannya undang-undang ini tidak
mampu melaksanakan tugasnya sehingga dicabut dan diganti dengan Undang-Undang
No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan terakhir
sejak tanggal 16 Agustus 1999 diganti dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tujuan pemerintah dan pembuat
undang-undang melakukan revisi atau mengganti produk legislasi tersebut
merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan
korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operandi tindak pidana korupsi
dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan alasan untuk dapat
melepaskan diri dari jeratan hukum. Dalam pengertian yuridis, Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan batasan tentang
pengertian Tindak Pidana Korupsi dengan cakupan yang lebih luas sehingga
meliputi berbagai tindakan termasuk tindakan ”penyuapan”, yang dapat dipahami
dari bunyi teks pasal-pasalnya, kemudian mengelompokannya ke dalam beberapa
rumusan delik. Dengan memahami hal tersebut diharapkan segala tindakan hukum
dalam rangka pemberantaan korupsi akan terwujud, baik dalam bentuk pencegahan
(preventif) maupun tindakan (represif). Pemberantasan korupsi tidak hanya
memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal.
Oleh
karena korupsi berpangkal kepada hal-hal yang sifatnya kompleks, maka untuk
mencegah dan atau menanggulanginya perlu ditempuh berbagai cara melalui
pendekatan interdisipliner dan multidimensional. Dalam kaitan ini, cara terbaik
untuk memberantas atau mencegah korupsi dapat dibagi kedalam tiga kategori
besar, yakni kategori kultural, kategori sosial historis, dan kategori
pemerintahan.
Dari kategori kultural, program penanggulangan korupsi
sangat tergantung pada keadaan dan kemauan kelompok pemimpin. Dalam hal ini
sangat dituntut kesadaran mereka serta pengertian dan pemahamannya terhadap
sifat, sebab dan akibat korupsi. Dengan dimilikinya kesadaran serta pengertian
dan pemahaman para pejabat terhadap korupsi, diharapkan mereka akan merubah
orientasinya bahwa pembangunan dan aspek-aspek keuangannya hanyalh ditujukan
untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, “pencurian” dan “penipuan” terhadap keuangan negara sama dengan tindakan
penghianatan kepada rakyat jelata yang tidak terhitung jumlahnya. Dalam kaitan
ini perlu dibangun juga keberanian membuang pejabat yang korup secara
sistematis.
Transformasi budaya bagi para pelaku
(dan calon pelaku) korupsi ini sangat diperlukan mengingat instrumen hukum
pidana sering kali hanya merupakan “tongkat yang patah” untuk memberantas
kejahatan korupsi. Pemberantasan korupsi melalui instrumen yuridis tidak akan
pernah bisa membabat hingga ke akar-akarnya. Oleh karena itu, yang lebih
penting adalah pembenahan terhadap pola tingkah laku dimana terdapat kejahatan
suatu sikap lembaga, baik dari para pemegang kekuasaan maupun dari umum yang
belum terkena virus korupsi.
Sedangkan dari kategori sosial
historis, budaya birokrasi patrimonial perlu dikikis secara perlahan-lahan
namun pasti, sehingga pada saatnya akan menghapus pula budaya nepotisme yang
jelas-jelas tidak mendukung kepada upaya penciptaan profesionalisme birokrasi.
Dengan kata lain, sudah saatnya warisan budaya lama ini ditinggalkan dan disesuaikan
dengan tuntutan-tuntutan baru yang lebih menghendaki rekrutmen secara lebih
fair dan obyektif. Pengenaan pajak kepada seluruh warga negara mestinya bukan
dilandasi filosofi sebagai persembahan upeti kepada penguasa, melainkan
pengumpulan dana dalam rangka pembangunan sosial.
Adapun dari kategori pemerintahan,
banyak hal yang harus dilakukan antara lain
melalui strategi sebagai berikut:
melalui strategi sebagai berikut:
1.
Penyempurnaan
atau pembaharuan sistem administrasi yang belum sempurna untuk
mencegah kebocoran. Khususnya dalam hal ini masalah pengawasan harus lebih
diintensifkan dan memangkas duplikasi-duplikasi dalam kelembagaan pengawasan.
mencegah kebocoran. Khususnya dalam hal ini masalah pengawasan harus lebih
diintensifkan dan memangkas duplikasi-duplikasi dalam kelembagaan pengawasan.
2.
Peningkatan tingkat kesejahteraan
aparatur. Pengertian kesejahteraan disini harus
ditafsirkan sebagai pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik, dimana dengan
pemenuhan dari kedua aspek ini diharapkan aparatur tidak akan mudah tergoda
untuk melakukan penyelewengan, justru sebaliknya akan memperkuat motivasinya
guna mengabdikan diri kepada kepentingan bangsa dan masyarakat.
ditafsirkan sebagai pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik, dimana dengan
pemenuhan dari kedua aspek ini diharapkan aparatur tidak akan mudah tergoda
untuk melakukan penyelewengan, justru sebaliknya akan memperkuat motivasinya
guna mengabdikan diri kepada kepentingan bangsa dan masyarakat.
3.
Pembaharuan sistem hukum pidana
nasional guna mencegah kecenderungan kolusi
yang sulit dibuktikan. Pembaharuan sistem hukum disini dimaksudkan sebagai
penegakan norma-norma yang tidak semata-mata mengandalkan kepada kebenaran
formil dalam pembuktiannya, tetapi juga harus memperhatikan perasaan keadilan dalam masyarakat secara materiil.
yang sulit dibuktikan. Pembaharuan sistem hukum disini dimaksudkan sebagai
penegakan norma-norma yang tidak semata-mata mengandalkan kepada kebenaran
formil dalam pembuktiannya, tetapi juga harus memperhatikan perasaan keadilan dalam masyarakat secara materiil.
***
v BAB 4
ANALISA DISKUSI TANYA JAWAB
Guna
lebih menyempurnakan lagi dalam penyusunan makalah ini dan guna mengetahui
bagaimana suara-suara orang di luar sana mengenai korupsi, saya selaku penyusun
menyempatkan diri untuk melakukan sesi diskusi tanya jawab yaitu dengan
mengajukan beberapa pertanyaan kepada beberapa orang teman saya seputar
korupsi. Dan memintai pendapat atau argumen-argumen dari pertanyaan-pertanyaan
yang saya ajukan. Adapun pertanyaan yang saya ajukan.
Pertanyaan
:
1.
Menurut anda, bagaimana bisa
muncul suatu penyakit yaitu korupsi?
2.
Mengapa korupsi menjadi benalu
yang tidak pernah lepas dari kehidupan dan bernegara?
3.
Mengapa korupsi bisa terjadi?
4.
Menurut anda, apa yang harus
dilakukan untuk memberantas korupsi?
Jawaban
:
w
Yudo
Wijeseno (Mahasiswa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Semester 2, Jurusan Manajemen, Fakultas
Ekonomi dan Bisnis) :
1.
Karena manusia tidak pernah
merasa puas, dan korupsi menjadi jalan pintas untuk kaya.
2.
Karena apa yang mereka korup
merupakan harta rakyat dan negara.
3.
Bisa terjadi karena lemahnya
pembelajaran yang bersifat preventif dan represif serta badan hukum tidak
tegas.
4.
Ambil semua hartanya dan
kembalikan ke negara.
w
Agus
Faisal (Mahasiswa
Gunadarma Semester 2, Jurusan Informatika dan Teknologi):
1.
Karena buruknya kesadaran moral
atau pun akhlak seseorang (koruptor).
2.
Karena korupsi sangat
menyengsarakan rakyat terutama rakyat kecil atau menghambat proses dalam
mensejahterakan rakyat.
3.
Korupsi terjadi karena sifat
manusia yang tidak pernah merasa puas baik dari segi materil sehingga mengambil
uang rakyat yang tidak semestinya.
4.
Membuat UUD yang tegas dan
konkret, dalam pelaksanaannya menanamkan sikap, moral ataupun akhlak kepada
jiwa muda agar tidak melakukan korupsi.
w
Angga
Triwaluyo (Mahasiswa
Universitas Mercu Buana, Semester 2, Jurusan Broadcasting):
1.
Muncul karena kemurnian pegawai
pemerintah sudah tidak real berdasarkan pendidikan, tetapi karena uang.
2.
Karena korupsi sudah sering terjadi
dan menjadi hal yang biasa untuk dilakukan.
3.
Karena iman yang tak kuat melihat
kesempatan untuk korupsi.
4.
Cara memberantas korupsi, dengan
menghukum mati dan yang dikorupsi dikembalikan 100% kepada negara.
w
Muhammad
Jamil (Karyawan
PT. Sumber Alfaria Trijaya. Tbk)
“Jawaban saya
dari nomer 1 sampai 3 sama, intinya manusia itu tidak pernah puas dengan apa
yang telah didapat. Pengennya lebih terus, sulit dihilangkan, kecuali yang
imannya teguh.”
w
Fenti
Dwi Iryanti (Mahasiswi
Universitas IndonusaEsa Unggul, Semester 2, Jurusan Ilmu-ilmu Keperawatan,
Fakultas Ilmu Kesehatan) :
1.
Karena pikiran mereka yang sakit
akan kekayaan, kekuasaan, dan hidup yang
mewah.
2.
Karena di mata seseorang uang
adalah yang paling penting dan selalu diutamakan.
3.
Kurangnya penagawasan dalam
pekerjaan, sehingga mereka dapat berbuat curang dengan korupsi.
4.
Pengawasan dalam pekerjaan harus
diperketat, terapakan UU yang adil dan bijaksana.
w
Rulih
(Karyawan
PT. Surya Tara Adika Raya):
1.
Karena perilaku pejabat publik
yang secara tidak wajarnya illegal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya.
2.
Karena semua orang sudah
terlanjur terlena, terbius hidup konsumtif, berpolah-polah, dan berlomba-lomba
dalam kemewahan. Akibatnya negeri religious ini menjadi negeri tidak tertib,
kacau dan sebagainya.
3.
Korupsi terjadi karena adanaya
pola hidup yang melampaui batas kemampuan dan amat berlebihan.
4.
Hukum saja yang terbukti korupsi
dan cari bukti-bukti yang menguatkan bahwa dia terbukti korupsi, setelah itu
disidang, tidak usah berlama-lama, sidangnya kalau perlu langsung divonis saja.
Ya, minimal 15 tahun penjara dan juga denda kira-kira 100 juta rupiah.
w
Ryantio
Priyono (Mahasiswa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Semester 2, Jurusan Kesehatan Masyarakat ,
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan)
“ Menurut saya untuk jawaban nomer 1 dan
3 yaitu bisa dipengaruhi tingkat kehidupan. Dimana tingkat kehidupan yang
tinggi akan mempengaruhi nilai konsumsi namun tak diiringi dengan pendapatan.
Adanya faktor lain seperti jika banyak materi akan lebih terpandang, lebih
safety dan lain-lain. Dalam segi psikologi, bahwa adanya tekanan dari keluarga
seperti membandingkan pendapatan dengan orang lain padahal pendidikan dia lebih
baik dari orang lain sehingga mendorong dia korupsi. Selain itu karena
lingkungan, bila ia melihat di sekiarnya korupsi dan tidak ketahuan maka dia
akan ikut korupsi juga. Lalu untuk jawaban nomer 4 menurut saya yaitu penanaman
pendidikan antikorupsi, nilai-nilai agama, dan menciptakan sistem hukum yang
kuat.”
w
Murti
Widiastuti
(Mahasiswi D3 Keperawatan STIKes PERTAMEDIKA, Semester 2)
1.
Karena desakan ekonomi yang
tinggi dan gelapnya mata jika sudah berhubungan dengan uang.
2.
Karena setiap orang mempunyai
kebutuhan dan ingin hidup sejahtera jika mempunyai uang yang banyak dan bisa melakukan
segalanya dengan uang.
3.
Karena tawaran atau tergiurnya
akan uang banyak tanpa memikirkan kedepannya.
4.
Bekerja dengan jujur terutama
mulai dari diri sendiri karena orang yang korupsi memiliki jiwa dan moral yang
rusak.
w
Ririn
Hidayati (Karyawati
PT. Communitas Managemen Terpadu)
1.
Karena tidak kuat iman sehingga
mudah tergiur.
2.
Karena pemberantasannya bukan
dari akar koruptornya.
3.
Karena dia berfikir sesuai
keinginan sendiri, tidak memikirkan orang lain dan tidak punya iman yang kuat.
4.
Dari pribadi masing-masing
disadarkan kalu perbuatan korupsi itu tidak baik, percuma kalau dibilangin saja
tapi dari pribadinya tidak ada kesadaran untuk tidak melakukannya,
banyak-banyak mendekatkan diri kepada yang diatas.
Dari
semua jawaban yang saya tanyakan, dapat saya simpulkan bahwa yang namanya
korupsi itu sangatlah merugikan orang banyak. Bahkan mencakup bangsa dan
negara. Korupsi bisa terjadi dikarenakan oleh etika dan moralitas yang ada pada
seorang koruptor sangatlah lemah bahkan ada yang beranggapan rusak. Karena
tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk untuk diri sendiri dan orang di
sekitarnya. Korupsi bisa terjadi karena orang-orang tersebut bekerja tidak
dengan hati yang baik. Mereka hanya memikirkan yang sifatnya materi saja. Jika
dihadapkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kemewahan mereka ingin yang
lebih lagi. Intinya moral para pemimpin atau orang-orang yang melakukan korupsi
itu sudah dibeli dengan uang. Selain itu
adalah faktor kepuasan yang ada dalam diri koruptor sangatlah tinggi. Koruptor
tidak puas dengan apa yang sudah dimilikinya, sehingga dia rela melakukan
korupsi. Dari segi pemberantasannya juga dapat saya simpulkan bahwa para
penjawab ingin para koruptor diadili dengan seail-adilnya sesuai dengan hukum
yang berlaku. Tanpa pandang bulu dan campur tangan poltik serta jabatan yang
mereka duduki. Selain itu dengan membuat kebijakan-kebijakan seputar korupsi
yang bisa mencegah seseorang untuk melakukan tindak korupsi baik dalam bentuk pencegahan (preventif) maupun tindakan
(represif).
Oleh karena itu, dalam sesi diskusi tanya jawab ini saya
mengingatkan dan menghimbau kembali bahwa korupsi adalah sebagai sebuah
perbuatan yang kotor, buruk, licik, dan curang maka sebaiknya jangan ditiru,
bahkan harus dan wajib jangan ditiru. Ya, walaupun sudah membudaya kita harus
sebisa mungkin menjauhi perilaku yang korup tersebut. Karena jika ditiru,
muuncul pertanyaan mau dibawa kemana negeri ini jika masih saja banyak yang
melakukan korupsi, sedangkan kita sendiri sedamg memerangi korupsi.
***
v BAB 5
PENUTUP
1. Kesimpulan
Merangkai kata untuk perubahan
memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang
teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan
merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya
pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama
menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap
wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang sakit kepala, kok yang diobati tangan “. Pemberantasan korupsi
seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati.
Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan
membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di
Indonesia. Tidak mudah memang.
Korupsi adalah kejahatan atau
penyimpangan berupa pelanggaran hukum yang dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi, di mana
tindakan tersebut menimbulkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat.
Korupsi
pada dasarnya dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, menyentuh semua
kalangan di dalam masyarakat. Namun dengan mengacu kepada kasus Gayus
Tambunan, korupsi yang sangat merugikan ini sering kali terjadi di kalangan
atas, kau elite, dan para pejabat yang memiliki kekuasaan dan posisi yang
strategis.
Korupsi
muncul bukan tanpa sebab. Korupsi merupakan akibat dari sebuah situasi kondisi
di mana seseorang membutuhkan penghasilan lebih, atau merasa kurang terhadap
apa yang dia peroleh jika menjalankan usaha dengan cara-cara yang sah. Korupsi
merupakan tindakan yang tidak lepas dari pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang
dimiliki oleh individu maupun kelompok, dan dilaksanakan baik sebagai
kejahatan individu (professional) maupun sebagai bentuk dari kejahatan
korporasi (dilakukan denga kerjasama antara berbagai pihak yang ingin
mendapatkan keuntungan sehingga membentuk suatu struktur organisasi yang saling
melindungi dan menutupi keburukan masing-masing). Korupsi merupakan cerminan
dari krisis kebijakan dan representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi
publik.
Korupsi
juga dapat terjadi karena kurangnya kesadaran untuk mematuhi prinsip
“mempertahankan jarak”. Ketika di dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia
yang menjujung tinggi konsep keluarga besar menjadi sebuah faktor individu
untuk berada di situasi yang sulit dalam menutupi kekurangan ekonomi,
pengaruh-pengaruh dari keluarga dan kerabat dapat menyebabkan munculnya sikap
untuk melakukan kecurangan dan pelanggaran hukum. Individu yang melakukan
korupsi gagal dalam memilah antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum.
Korupsi terjadi karena hilangnya rasa tanggung jawab dan rasa malu di dalam
diri pelakunya.
Korupsi
juga tidak datang begitu saja di pikiran seorang pelaku. Dia dipahami seabagai
suatu tindakan melanggara hukum dan diperoleh melalui proses belajar. Sesuai
dengan teori different association, kemungkinan terbesar aksi
pelanggaran hukum ini dipelajari ketika seseorang mulai belajar melakukan
bisnis atau usaha untuk mencari keuntungan. Semakin kuatnya paham setiap pelaku
bisnis bahwa mendapatkan keuntungan (materil) adalah tujuan utama dari suatu
bisnis, menyebabkan pelangaran hukum, seperti korupsi, menjadi hal yang lumrah
untuk dilakukan. Selain itu, semakin bertambahnya anggota yang memiliki paham
yang sama tentang keuntungan tersebut, menjadikan korupsi sebagai lahan untuk
mencari uang sehingga membuka lebar untuk terjadinya tindakan kejahatan
korporasi.
Semua
faktor-faktor itu sangat mempengaruhi diri individu untuk melakukan kejahatan:
korupsi. Hal ini disebabkan kurangnya rasa kesadaran akan pentingnya tanggung
jawab moral bagi mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan. Oleh karena itu,
meskipun terkesan sebagai mimpi dan harapan yang muluk, memperbaiki kesadaran
seseorang dan mengembalikan rasa tanggung jawab moralnya adalah salah satu cara
yang paling ampuh untuk mencegah dan menghentikan korupsi di negeri ini.
Pendidikan agama dan aksi memperkuat iman adalah metode yang mesti ditingkatkan
demi mendapatkan orang-orang yang memiliki hati nurani bersih dan mau bekerja
demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
2. Saran
Memang
tidak mudah untuk menuntaskan korupsi dalam suatu negara. Korupsi sudah ada
dari sananya dan kalau sudah mendarah daging sangat sukar untuk dibasmi. Korupsi
itu seperti penyakit kanker jika sudah mengakar agak sulit untuk dicegah. Penyebab
yang paling hakiki dari manusia adalah sifatnya yang tidak pernah puaslah
sebagiai pemicu seseorang melakukan tindakan pencurian. Ada pencuri Intelektual
dan pencuri preman (amatir). Pencuri intelektual memiliki analisis, serta
kajian khusus dalam melakukan aksinya.karena tingkat intelektualnya tinggi jadi
para koruptor tersebut melakukan tindakan pencurian secara secara profesional.
Bayangkan saja, KPK adalah sebuah lembaga yang dibentuk untuk menangani korupsi
ditanah air yang bermasalah, Polisi saja yang menangkap pelaku korupsi terjerat
masalah korupsi. Mereka hanyalah manusia biasa, paling pemimpin rohani pun
tidak terlepas dari yang namanya korupsi. Kadang agama diperalat untuk
seseorang melakukan tindakan korupsi. Kita harus jujur di negara kita sudah
tertanam benih-benih korupsi dari zaman orde baru pada saat Almarhum Presiden
RI yang kedua Soeharto memangku jabatan di Republik ini. Jadi kasus-kasus
memperkaya diri begitu tinggi. Nah yang kena getahnya adalah di zaman demokrasi
saat ini. Coba kita belajar sistem metode yang diterapkan oleh China, Jepang
dan Amerika, yang jika mereka melakukan korupsi kalau bukan mereka yang bunuh
diri ada undang-undang yang sangat berat bagi koruptor tersebut. Ketegasan dari
setiap pemimpin di negeri ini serta undang-undang yang diberlakukan yang keras
yang dapat menghadang laju dari para pencuri uang negara. Kadang ada pemimpin
yang memiliki rasional tapi tidak berfungsi. Jadi antara IQ, EQ dan SQ harus
seimbang. Pertanyaanya siapakah yang tahan untuk tidak merampok uang negara? Pernakah
para koruptor kapok dengan ulah mereka? Hukuman seperti apa bagi mereka biar
meraka jera? Akankah negara ini terus terpuruk dengan hadirnya pemimpin-pemimpin
yang memiliki latar belakang kapitalis serta tidak pernah memikirkan nasib rakyat?
Marilah kita buat sebuah hari yaitu hari tanpa korupsi dan jadikan korupsi itu
menjadi musuh kita jangan berikan kesempatan pada iblis korupsi yang menguasai
pikiran kita. Maju terus Indonesia tanpa korupsi. Lebih baik berbuat amal
kebaikan, memberikan sedekah, zikir, taufik, hidayah dan terakhir igtigsfar
bagi para korupsi katakan tidak pada korupsi. Selain itu, mari kita tingkatkan
iman dan takwa kita kepad Allah SWT supaya etika kita dalam melakukan sesuatu
tidak menyimpang dari jalan kebenaran.
Selain itu mari kita dukung slogan yang ingin dikampanyekan
oleh rakyat Indonesia dengan Slogan “Stop Korupsi dan Suap di Indonesia” semoga bermanfaat dan menjadikan
kita manusia yang patuh akan aturan dan korupsi di Indonesia bisa ditekan
sekecil-kecilnya sehingga harapan kita semua untuk mewujudkan masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Mustofa,
Muhammad. kleptokrasi: Persengkongkolan Birokrat-Korporat sebagai Pola
White-Collar Crime di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
Budiarjo,
Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ke duapuluh tujuh.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005
Suradika,
Agus. RELASI KORUPSI DAN KEKUASAAN: Antara Cermin Budaya dan
Penanggulangannya, http://www.docstoc.com/docs/5936230/Agus-Suradika-Korupsi-dan-Kekuasaan, diakses tanggal 7 Desember, 2010
Djafar, Wahyudi. Perselingkuhan
Birokrasi dan Korupsi,
http://www.legalitas.org/content/perselingkuhan-birokrasi-dan-korupsi, diakses
tanggal 7 Desember, 2010
http://www.waspada.co.id/index.php/images/flash/index.php?option=com_content&view=article&id=81290:korupsi-dan-kekuasaan&catid=25:artikel&Itemid=44, diakses tanggal 7 Desember, 2010.
Rastika,
Icha. Andi Kosasih Dituntut 10 Tahun. Kompas.com 23 November 2010. http://nasional.kompas.com/read/2010/11/23/16344531/Andi.Kosasih.Dituntut.10.Tahun, diakses tanggal 7 Desember, 2010.
Taufiqqurahman, Muhammad. Mencari Jejak Gayus Tambunan di Warakas. detikNews 24 Maret 2010. http://www.detiknews.com/read/2010/03/24/104528/1324145/10/mencari-jejak-gayus-tambunan-di-warakas, diakses tanggal 7 Desember 2010.
Kompas. Jago Keuangan
dari Warakas. http://koran.republika.co.id/koran/0/106988/Jago
Keuangan dari Warakas, diakses tanggal 7 Desember 2010.
“Corrupt | Define Corrupt at
Dictionary.com”. Dictionary.reference.com. Retrieved
2010-12-06.
www.google.com
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak-pidana/#ixzz1skCWaNh9, 20 Juli 2010
[4]
Lihat “Corrupt
| Define Corrupt at Dictionary.com”.
Dictionary.reference.com. Retrieved 2010-12-06
[6] Wahyudi Kumorotomo, 2005: V
[7] Lihat Agus Suradika, 2009: 2
[9] Robert M.
Maclver, 1961: 87
[12] Sutherland, 1949:
9
[13] Muhammad Mustofa,
2010: 17
[14] Lihat Sutherland,
1949: 9, catatan kaki 7
[15] Lihat Muhammad Mustofa, 2010: 28
[16] Clinard, Yeager, 1980: 43
[18] Lihat Agus
Suradika, 2009: 1
[20]
Lihat Siti Akhiriah
Nasution, “Korupsi dan Kekuasaan”,
Opini, http://www.waspada.co.id, Januari 2010
[21] Lihat Didik J. Rahbini, 1996: 92
[22] Lihat Agus
Suradika, op cit., h.7
[23]
Muhammad
Mustofa, 2010: ix
[25]
Lihat Muhammad Mustofa, 2010: 26
[26] Muhammad Mustofa,
2010: 43
0 Komen:
Posting Komentar