Sabtu, 04 Mei 2013

Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan dalam Membangun Good Government Governance (GGG) di Indonesia

Dibawakan oleh: Gusti Eka Suhendra
(Akuntansi-Semester 5)
  Dalam mengukur tingkat pencapaian keberhasilan atas suatu kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah, memang membutuhkan proses yang cukup panjang, dengan kata lain kita belum bisa berasumsi secara cepat dalam menilai hasil dari kebijakan yang telah di ambil oleh pemerintah.
     Kendatipun reformasi memaksa terjadinya perubahan struktur (restrukturisasi) dengan penyesuaian daerah otonom, dimana disadari pemerintahan tidak lagi bercorak korporatis dan sentralistik pada kepemimpinan top executive di tangan bupati/wali kota. Politisasi birokrasi yang masih cukup kental mewarnai dinamika otonomi daerah Hal ini, erat kaitannya juga dengan kegagalan hubungan kelembagaan eksekutif dan legislatif, karena proses menguatnya political society. Sunarsip ( 2001) mengemukakan bahwa terjadinya krisis ekonomi di Indonesia disebabkan oleh tata kelola yang buruk ( bad governance ) pada sebagian besar pelaku ekonomi ( publik dan swasta ).
     Upaya yang dapat kita lakukan kita pada saat ini adalah dengan menciptakan iklim yang baik baik dalam hal ekonomi, sosial, dan politik. Hal-hal tersebut tentunya hanya dapat kita capai melalui pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dengan mencoba mewujudkan suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa atau yang dikenal dengan istilah good governance. Oleh karena itu tuntutan terhadap terwujudnya good governance (tata kelola yang baik) sangat diperlukan terutama diinstansi pemerintah. Penetapan UU No. 22 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 oleh pemerintah, mengenai Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, membawa dampak pada pemberlakuan otonomi bagi pemerintah daerah pada ruang lingkup yang lebih besar serta akuntabilitas publik yang lebih nyata (Halim, 2001).
     Selanjutnya, Undang-Undang ini diganti dan disempurnakan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004. Kedua undang-undang tersebut telah merubah akuntabilitas atau pertanggungjawaban pemerintah daerah dari pertanggungjawaban vertikal (kepada pemerintah pusat) ke pertanggungjawaban horisontal (kepada masyarakat melalui DPRD). Pada intinya semua peraturan tersebut menginginkan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Namun, setelah empat tahun berlakunya paket undang-undang tersebut, delapan tahun sejak otonomi yang luas kepada daerah, dan sepuluh tahun setelah reformasi, hampir belum ada kemajuan signifikan dalam peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan Negara/Daerah.
     Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dalam tiga tahun terakhir secara umum masih buruk (Siaran Pers, BPK RI, 23 Juni 2008). Kondisi ini semakin memburuk, sebagaimana di ungkapkan dalam siaran pers BPK RI pada tanggal 15 Oktober 2008 yaitu: dilihat dari persentase LKPD yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) selama periode 2004-2007 semakin menurun setiap tahunnya. Persentase LKPD yang mendapatkan opini WTP semakin berkurang dari 7% pada tahun 2004 menjadi 5% pada tahun berikutnya dan hanya 1% pada tahun 2006 dan 2007. Sebaliknya, LKPD dengan opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) semakin meningkat dari 2% pada tahun 2004 menjadi 17% pada tahun 2007 dan pada periode yang sama opini Tidak Wajar (TW) naik dari 3% menjadi 19%. Selanjutnya hasil pemeriksaan BPK menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan negara/daerah yang dilakukan pemerintah dalam Tahun 2008 masih menunjukkan banyak kelemahan dan baru menunjukkan tanda-tanda perbaikan, BPK memberikan opini WTP atas delapan Laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD), opini WDP atas 217 LKPD, opini tidak wajar (TW) atas 21 LKPD, dan opini TMP atas 47 LKPD dari 293 LKPD Tahun 2008 yang telah diperiksa BPK pada Semester I Tahun 2009 (BPK, 2009).
     Pembuatan laporan keuangan merupakan suatu bentuk kebutuhan akan adanya transparansi yang menjadi syarat pendukung terhadap akuntabilitas berupa keterbukaan ( opennes ) atas aktivitas pengelolaan sumber daya publik. Transparansi dapat dilakukan apabila ada kejelasan tugas dan kewenangan, ketersediaan informasi terhadap publik, proses penganggaran yang terbuka, dan jaminan integritas dari pihak independen mengenai perkiraan fiskal, informasi, dan penjabarannya. (IMF, 1998 dalam Schiavo-Campo and Tomasi, 1999).

Konsep Dasar Akuntansi Pemerintahan
1. Entitas Pelaporan dan Pengguna Laporan Keuangan Entitas pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri atas satu atau lebih entitas akuntansi yang menurut peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan keuangan, yang terdiri atas; 1. Pemerintah Pusat. 2. Pemda. 3. Satuan Organisasi di lingkungan pemerintah pusat / daerah. 4. Organisasi lainnya, jika menurut peraturan perundang-undangan satuan organisasi dimaksud wajib menyajikan laporan keuangan.

2. Peranan dan Tujuan Laporan Keuangan
Setiap entitas pelaporan mempunyai kewajiban untuk melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan serta hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan terstruktur pada suatu periode pelaporan untuk kepentingan: Akuntabilitas, Manjemen,Transparansi, Keseimbangan, antargenerasi.

3. Tujuan Laporan Keuangan
Pelaporan keuangan pemerintah seharusnya menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para pengguna dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan, baik keputusan ekonomi, sosial, maupun politik.

4. Komponen Laporan Keuangan
Laporan Keuangan pokok terdiri atas :Laporan realisasi anggaran,Neraca,Laporan Arus Kas,Catatan atas laporan keuangan. Selain laporan keuangan pokok tersebut, entitas pelaporan diperkenankan menyajikan laporan kinerja keuangan dan laporan perubahan ekuitas.

Hubungan antara penerapan StandarAkuntansi Pemerintahan terhadap Good Governance
     Good governance menghendaki pemerintahan dijalankan dengan mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan yang baik, seperti transparansi (keterbukaan), akuntabilitas, partisipasi, keadilan, dan kemandirian, sehingga sumber daya negara yang berada dalam pengelolaan pemerintah benar-benar mencapai tujuan sebesar besarnya untuk kemakmuran dan kemajuan rakyat dan negara. Penerapan prinsip-prinsip good governance dalam penyelenggaraan negara tak lepas dari masalah akuntabilitas dan tranparansi dalam pengelolaan keuangan negara dan daerah (Cadbury,1992 yang dikutip Media Akuntansi 2000 dalam Sunarto,2003). Sebagian besar penelitian tentang good governance di tingkat perusahaan dilakukan di Amerika dan negara-negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) (Shleifer dan Vishny, 1997).
     Penelitian dilakukan di negara yang sedang berkembang masih sangat sedikit. Black (2001) berargumen bahwa pengaruh praktek good governance terhadap nilai perusahaan akan lebih kuat di negara berkembang dibandingkan di negara maju. Hal tersebut dikarenakan oleh lebih bervariasinya praktik good governance di negara berkembang dibandingkan negara maju. Durnev dan Kim (2002) memberikan bukti bahwa praktik good governance lebih bervariasi di negara yang memiliki hukum lebih lemah. Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) merupakan standar yang harus diikuti dalam laporan keuangan instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pengguna laporan keuangan akan menggunakan SAP untuk  memahami informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Laporan pertanggungjawaban keuangan daerah (LPJ keuangan daerah) dan laporan pertanggungjawaban kinerja kepala daerah (LPJ kinerja) berpengaruh positif dan signifikan terhadap atas akuntabilitas publik pemerintah daerah dan penerapan IPSAS berpengaruh positif terhadap akuntabilitas publik pemerintah (Anondo, 2004).

Kendala yang sering dihadapi dalam menerapkan SAP terkait dengan Good Governance
  1. Kurangnya Komitmen dari seluruh elemen terkait dalam menerapkan prinsip tranparansi dan akuntabilitas dalam menyelenggarakan pemerintahan.
  2. Penerapan Standar Akuntansi Sektor publik yang belum diterapkan secara menyeluruh.
  3. Kurangnya Sumber daya manusia yang handal dalam mengelola laporan keuangan di daerah, namun disisi lain para akuntan yang memang memiliki kemampuan kurang tertarik untuk masuk kedalam bidang tersebut.
  4. Adanya sistem pengendalian internal pada departemen, daerah provinsi, kabupaten, kota yang belum melakukan fungsi pengendaliaanya secara efisien, efektif, serta kehandalan dalam melakukan audit. 
Share:

0 Komen:

Posting Komentar