Rabu, 06 Februari 2013

Korupsi


v  BAB 1
 PENDAHULUAN

1.       Latar Belakang

Permasalahan korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media seolah-olah merepresentasikan jati diri bangsa yang dapat dilihat dari budaya korupsi yang telah menjadi hal yang biasa bagi semua kalangan, mulai dari bawah hingga kaum elite.
Banyak kasus korupsi yang sampai sekarang tidak diketahui ujung pangkalnya. Salah satunya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang pegawai pajak golongan IIIA, yang sempat menggegerkan Mabes Polri, Gayus Tambunan. Keterkejutan semua orang terhadap apa yang telah dilakukan oleh Gayus Tambunan adalah suatu hal yang wajar. Karena apabila kita melihat dari statusnya yang hanyalah seorang pegawai negeri biasa, tetapi memiliki tabungan yang begitu banyak, senilai Rp25 Miliar, tentu saja hal ini mengundang tanya: Apalagi kalau bukan korupsi? Padahal, pekerjaan Gayus sehari-hari cuma menjadi penelaah keberatan pajak (banding) perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak. Mengingat gaji pegawai pajak setingkat golongan IIIA hanyalah berkisar antara Rp1.655.800 sampai Rp1.869.300 per bulan, hal ini menegaskan bahwa seorang Gayus Tambunan pasti telah melakukan kecurangan yang dapat merugikan Negara dan masyarakat banyak.
Seperti yang telah diberitakan oleh berbagai media bahwa nama Gayus Tambunan mulai mencuat ketika disebutkan oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji sebagai seseorang yang berkaitan erat dengan makelar kasus. Susno menyebutkan Gayus memiliki Rp25 miliar di rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang disita negara. Sisanya Rp24,6 miliar menguap entah ke mana.  Susno mengutarakan bahwa ada keterlibatan dari tubuh Polri sendiri dalam kasus manipulasi pengusutan pajak.
Gayus kemudian dituntut kepolisian dengan tiga pasal, yakni pasal penggelapan, pencucian uang, dan korupsi. Namun pada persidangan itu Gayus hanya dituntut dengan pasal penggelapan, divonis oleh hakim dengan hukuman 1 tahun percobaan, kemudian dibebaskan. Terdapat berbagai kejanggalan di pengadilan Gayus saat itu, antara lain soal ancaman hukuman yang ternyata lebih ringan dari ketentuan Undang-Undang, tuntutan dari jaksa yang hanya berupa tuntutan soal penggelapan uang, serta penggelaran persidangan yang dilakukan di hari Jumat, di Pengadilan Negeri Tangerang, yang biasanya tidak digelar persidangan pidana.[1]
Modus Gayus melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan wewenangnya bermacam-macam. Dalam posisinya sebagai pegawai Sub Direktorat Banding Direktorat Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007 Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Berkaitan dengan ini, Gayus memiliki peluang besar untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih pemenangan banding. Misalnya seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak Rp3 Miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu Gayus memenangkan banding wajib pajak. Selain itu, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), diduga modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain kurs Rupiah saat menangani pajak Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut menyebabkan kewajiban pajak berkurang hingga US$ 164,627 ribu.[2]
Kini Gayus Tambunan kembali ditetapkan sebagai terdakwa dan dijerat pasal berlapis yakni korupsi, pencucian uang dan penggelapan. Kasus Gayus kini melebar dan melibatkan sejumlah pihak. Namanya mencuat kembali saat dirinya diduga bebas berkeliaran keluar dari rumah tahanan. Gayus Tambunan, entah mengapa, mendapatkan perlakukan khusus yang sangat tidak masuk akal.
Perkembangan terkini dari penanganan kasus korupsi Gayus Tambunan semakin membuat masyarakat jengah. Gayus Tambunan sebagai tersangka korupsi seolah-olah memiliki kuasa sahingga dia selalu mendapatkan perlakuan istimewa. Terakhir, dia kembali mendapatkan perlakuan istimewa di depan hukum, yaitu kepolisian hanya menjeratnya dengan pasal gratifikasi, di mana dia hanya dapat dihukum maksimal 3 tahun penjara. Dalam berbagai perkara yang pernah ada, seseorang yang terjerat pasal gratifikasi sering lolos dari jeratan hukum. Hal ini kemudian menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum dalam menangani kasus Gayus. Oleh karena itu masyarakat banyak yang mendesak agar kasus Gayus ditangai oleh KPK. Akan tetapi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri tetap menegaskan bahwa kasus Gayus tetap ditangai oleh Polisi. Padahal, telah jelas terlihat bahwa Kepolisian sendiri tidak serius dalam menangani kasus korupsi Gayus sehingga menyebabkan kasus ini tidak menemui ujungnya.[3]
Hal ini kemudian menjadi pertanyaan penting bagi kita semua. Ada apa dengan negeri ini? Mengapa korupsi tetap saja dapat berjaya dan bersemayam di tubuh semua lembaga, bahkan di lembaga yang seharusnya memiliki kewajiban untuk memberantas korupsi itu sendiri. Ini menjadi tantangan bagi bangsa dan negara dalam mengatur dan menata kehidupannya.

2.      Rumusan Masalah

Pertanyaan yang penting untuk dijawab di sini adalah bagaimana bisa muncul suatu penyakit, yaitu korupsi. Mengapa dia menjadi benalu yang tidak pernah lepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara? Bahkan korupsi telah menjamah semua kalangan di dalam masyarakat. Yang lebih memprihatinkan adalah korupsi terus bersarang, dan sarangnya semakin besar, di kalangan atas, para elite, pejabat, dan pemimpin yang memiliki kuasa dalam mengatur kesejahteraan masyarakat umum.
Mengapa korupsi bisa terjadi? Mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, melihat keterkaitan korupsi dengan kekuasaan, tindak kejahatan korporasi dan birokrasi, adalah hal yang akan dibahas dalam makalah ini. Rumusan masalah dalam makalah ini terletak pada kasus korupsi yang dilakukan oleh kalangan atas, para elite, pejabat dan petinggi negara semakin serius sehingga menimbulkan banyak kerugian bagi negara dan masyarakat.
3.      Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk memahami mengapa munculnya suatu penyimpangan etika yairu suatu tindakan korupsi dalam sebuah kekuasaan, bahkan dalam praktek-praktek penegakan hukum sekalipun. Selain itu, dengan pembahasan dalam makalah ini, diharapkan juga dapat diketahui apa-apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan korupsi di kalangan atas, para elite, dan pejabat pemerintah. Serta mencari akar-akar permasalahannya dan solusinya.

v  BAB 2
 LANDASAN TEORI
 

                Dalam melihat hubungan antara korupsi, kekuasaan, dan kejahatan korporasi dan birokrasi ini, akan dibahas pengertian beberapa kerangka teoritik berikut.

1.      Korupsi

            Secara etimologi, kata korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptus yang merupakan kata sifat dari kata kerja corrumpere yang bermakna menghancurkan (com memiliki arti intensif atau keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti merusak atau menghancurkan). Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah arti secara harfiah bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang dilakukan secara intensif. Dalam dictionary.reference.com, kata corruption diartikan sebagai to destroy the integrity of; cause to be dishonest, disloyal, etc., esp. by bribery.[4]
            Sejatinya, ada begitu banyak pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para ahli.  Huntington (1968) memberikan pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. “Mempertahankan jarak” ini maksudnya adalah dalam mengambil sebuah keputusan, baik di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya, permasalahan dan kepentingan pribadi atau keluarga tidak memainkan peran.[5] Selain itu, korupsi juga dapat dikatakan sebagai representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.[6]
            Nye, J.S. (1967) dalam “Corruption and political development” mendefiniskan korupsi sebagai prilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status.[7]
            Amin Rais, dalam sebuah makalah berjudul “Suksesi Sebagai Suatu Keharusan”, tahun 1993, membagi jenis korupsi menjadi empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif (extortive corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada situasi di mana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha dengan sengaja memberikan sogokan pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah. Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya pemberian uang kepada bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan pihak tertentu yang memberikan uang tersebut Peraturan ini umumnya dapat merugikan masyarakat banyak. Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic corruption), yaitu perlakuan istimewa yang diberikan pada keluarga: anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa itu para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat juga mendapatkan keuntungan. Keempat, korupsi subversif (subversive cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh para pejabat negara dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya.

2.      Kekuasaan
               
                Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari oang yang mempunyai kekuasaan itu. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua organisasi sosial.[8]
            Kekuasaan sosial adalah kemampuan untuk mengedalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia.[9] Kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramida, yang disebabkan oleh  kekuasaan yang satu menegaskan dirinya lebih unggul daripada yang lain. Piramida kekuasaan ini menggambarkan kenyataan bahwa dalam sejarah masyarakat golongan yang berkuasa dan yang memerintah itu relatif lebih kecil dari pada yang dikuasai.[10]
            Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya mamupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial, dan fokusnya ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang berwenang untuk mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan.[11]
3.      White-Collar Crime
                Pengertian dasar dari konsep white-collar crime yang dikemukakan oleh Sutherland adalah untuk menunjuk tipe pelaku dari suatu kejahatan, yaitu “orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaanya”.[12] Orang dari kelas sosial ekonomi ini, menurut Sutherland, adalah mengacu kepada orang-orang yang berada di kelompok orang-orang terhormat.
            Atas dasar pengertian di atas, tindakan kriminal seperti pembunuhan, perzinahan, dan peracunan tidak dapat dikategorikan sebagai white-collar crime meskipun kejahatan itu dilakukan oleh orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi karena tindakan itu tidak memiliki kaitan dengan pekerjaannya. Kejahatan yang dilakukan oleh penjahat yang kaya, misalnya kecurangan dalam perjudian, yang memiliki kaitan erat dengan pekerjaannya, juga tidak dapat dikateogrikan sebagai white-collar criminal, karena penjahat tersebut tidak termasuk dalam golongan orang terhomat.[13]
            White-collar yang dimaksudkan oleh Sutherland adalah mereka yang merupakan orang-orang terhormat. Istilah itu merupakan istilah yang awalnya digunakan oleh Sloan, Direktur General Motors dalam bukunya The Autobiography of a White Collar Worker, yang memiliki arti lebih luas. White-collar menunjuk kaum peneruma gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam pekerjaanya, seperti karyawan administrsi kantor, para manajer dan para asistennya.[14]
            Pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang-orang terhormat ini biasanya berupa pemanfaatan wewenang untuk kepentingan pribadi, biasanya dalam usaha untuk mempertahankan jabatan atau memperoleh kekayaan. Terkait dengan hal ini, sistem keuangan negara yang berlaku di negeri ini merupakan lahan yang subur bagi praktik-praktik yang demikian. Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi mesin utama bagi negara dalam menghasilkan dana juga membuka kesempatan terjadinya kejahatan oleh kerah putih. White-collar crime dalam bentuk kejahatan korporasi tercatat terjadi di bidang yang berhubungan dengan perlindungan konsumen, pencemaran lingkungan, pembalakan hutan (Illegal loging).
            Terdapat dua kategori kejahatan dalam dimensi white-collar crime, menurut Clinard dan Quinney (1973), yaitu occupational criminal behavior dan corporate criminal behavior. Dalam menjabarkan ciri-ciri occupational crime behavior, Clinar dan Quineey merujuk kepada rumusan tipologi oleh Bloch dan Geis (1970), yaitu perbuatan yang dilakukan:
-          oleh individu sebagai individu (misalnya pengacara, dokter);
-          oleh pegawai terhadap majikannya (misalnya kasus penggelapan);
-          oleh pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan (kasus monopoli);
-          oleh agen korporasi terhadap kepentingan umum (misalnya iklan yang menyesatkan);
-          oleh pedagang terhadap konsumen (pelanggaran konsumen).
                Hagan (1989) memberikan tipologi white-collar crime yang berangkat dari tipologi yang diutarakan oleh Edelhertz. Tipologi oleh Edelhertz adalah sebagai berikut:
-          Kejahatan oleh orang-orang yang bekerja secara individual dan sementara (ad hoc), misalnya pelanggaran pajak, penipuan kartu kredit, penipuan kebangkrutan dan lain-lain;
-          Kejahatan yang dilakukan dalam rangka pekerjaan (yang sah) oleh orang yang mengoperasikan bisnis internal, pemerintahan, atau lain-lain kemapanan, dalam bentuk pelanggaran tugas atau loyalitas dan kesetiaan terhadap majikan dank lien, misalnya penggelapan, pencurian, penggajian pegawai palsu;
-          Kejahatan yang sesekali dilakukakan dalam rangka memajukan usaha bisnis, misalnya pelanggaran antimonopoli, penyuapan, pelanggaran peraturan makanan, dan obat-obatan;
-          White-collar crime sebagai bisnis, atau sebagai aktivitas utama. Konsep ini termasuk dalam bahasan kejahatan professional, misalnya penipuan layanan pengobatan dan kesehatan, undian palsu, dan sebagainya.[15]
              Ketentuan tipologi yang pertama dan kedua adalah bentuk kejahatan yang dijalankan oleh individu, sedangkan ketentuan yang ketiga dan keempat merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan oleh organisasi.

4.      Kejahatan Korporasi
               
                Kejahatan korporasi tidak dapat dilihat sebagai tingkah laku yang dilakukan oleh orang, tetapi harus sebagai tingkah laku organisasi yang kompleks. Kejahatan korporasi dapat dipahami melalui teori organisasi untuk menjelaskan bagaimana korporasi sebagai organisasi yang secara kodrati khas, yaitu organisasi berskala besar melakukan tingkah laku  yang melanggar hukum. Strtuktur dari organisasi korporasi ini sangat luas sehingga menopang keadaan yang mendorong terjadinya penimpangan oleh organisasi, disebabkan oleh menyebarnya tanggung jawab secara luas. Kodrat tujuan korporasi untuk mendapatkan keuntungan yang merupakan cirri iklim sosal industry dapat mendorong tindakan pelanggaran hukum dan tindakan yang mendekati pelanggaran hukum.[16]
            Di dalam korporasi, terdapat jenjang-jenjang yang memungkinkan setiap jenjang tersebut memiliki sikap tidak bertanggung jawab (pelembagaan sikat tidak bertanggung jawab). Hal ini menyebabkan korporasi bekerja dan memiliki fungsi seperti tirai, yang membolehkan setiap orang di dalamnya tidak tersentuh oleh moral maupun hukum. Dari situasi seperti inilah kejahatan korporasi hampir dapat terjadi. Mereka, eksekutif korporasi, dapat mengelak dari tanggung jawab dengan dalih bahwa cara-cara tidak sah dalam mencapai tujuan korporasi yang dirumuskan secara umum sdah merupakan sarana yang tersedia tanpa dapat dikendalikan.[17]

5.      Differential Association

            Differential Association adalah sebuah teori kriminologi yang melihat bahwa tindakan kejahatan sebagai perilaku yang dipelajari. Teori yang dikemukakan oleh Sutherland ini, berkeyakinan bahwa perilaku menyimpang disosialisasikan melalui sebuah cara yang kurang memiliki perlawanan terhadap perilaku iti sendiri. Sama halnya dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, yang disosialisasikan melalui interaksi sosial dan ketaatan, begitu juga dengan kejahatan dan perilaku menyimpang. Sutherland memberikan 9 prinsip dari teori Differential Association, yaitu:
1)      Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari.
2)      Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari dalam sebuah interaksi dengan orang lain melalui proses komunikasi.
3)      Belajar menjadi jahat terjadi di dalam primary group (keluarga, teman, teman sepermainan atau sahabat paling dekat).
4)      Belajar menjadi jahat termasuk juga di dalamnya untuk belajar mengenai teknik, tujuan, rasionalisasi, kebiasaan dan sikap sehari-hari.
5)      Arah khusus dari tujuan dan sikap itu dipelajari dari definisi situasi yang menguntungkan dan tidak menguntungkan.
6)      Seseorang menjadi penjahat apabila di dalam dirinya ada pertimbangan bahwa dengan melanggar hukum akan mendapat keuntungan yang lebih banyak daripada tidak melanggar hukum.
7)      Differential association bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.
8)      Proses belajar menjadi jahat itu melibatkan semua mekanisme yang terlibat dalam pembelajaran lainnya.
9)      Meskipun perilaku kejahatan (kriminal) adalah ekspresi dari kebutuhan umum dan sikap, perilaku kriminal dan tujuannya tidak dijelaskan atau dimaafkan oleh kebutuhan dan sikap sama, sedangkan perilaku non-kriminal dijelaskan oleh kebutuhan umum dan sikap sama.

v BAB 3
PEMBAHASAN
           
            Korupsi tidak akan pernah bisa kita pisahkan dari apa yang dinamakan kekuasaan. Di mana ada kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini telah menjadi kodrat dari kekuasaan itu sendiri, yang menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya tindakan korupsi. Kekuasaan dan korupsi yang selalu berdampingan, layaknya dua sisi mata uang, merupakan hakikat dari pernyataan yang disampaikan oleh Lord Acton, dari Universitas Cambridge, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.
            Terdapat sebuah postulat yang mengatakan bahwa korupsi selalu mengikuti watak kekuasaan. Dalam artian bahwa korupsi itu ada baik di pemerintahan yang sentralistik maupun desentralistik. Jika pemerintahan suatu negara adalah sentralistik, korupsi juga akan bersifat sentralistik. Semakin kuat kekuasaan itu tersentral, semakin besar pula terjadi kasus korupsi di kekuasaan pusat tersebut. Di Indonesia, hal ini terjadi pada masa Orde Baru. Sebaliknya, jika pemerintahan suatu negara adalah desentralistik, misalnya dengan Otonomi Daerah, tindakan korupsi akan tersebar pula mengikuti pola pemerintahan desentralistik tersebut. Dengan kata lain, praktek korupsi juga terjadi di pemerintahan tingkat daerah. Karena kekuasaan berpindah dari satu pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Situasi seperti ini terjadi pada masa sekarang di Indonesia.[18]
            Sesuai dengan definisinya, korupsi sebagai prilaku yang menyimpang merupakan suatu tindakan yang melanggar aturan etis formal yang dilakukan oleh seseorang dalam posisi otoritas publik (penguasa). Korupsi cenderung dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa atau wewenang terhadap sesuatu. Apabila seseorang tersebut tidak memiliki kuasa, kecil kemungkinan bagi dirinya untuk melakukan korupsi. Namun, merupakan suatu kemustahilan bagi manusia yang tidak memiliki sebuah ‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling utama dari korupsi adalah tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi semata dan merugikan pihak lain di luar dirinya. Contoh paling mudah adalah seorang mahasiswa yang bolos kuliah dan meminta temannya untuk mengisi buku hadir. Sejatinya, ia telah melakukan korupsi karena ia memiliki kuasa terhadap kehadiran dan ketidakhadiran dirinya di dalam kelas. Dia melakukan tindakan tersebut untuk kepentingannya sendiri.
            Melihat konteks kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, korupsi kelas kakap, merupakan korupsi serius yang merugikan negara dan masyarakat banyak. Korupsi yang dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah kekuasaan. Para pejabat publik telah dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan tindakan melanggar hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang pejabat publik yang memegang kekuasaan (memiliki wewenang) secara otomatis memiliki daya untuk mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan. Sesuai dengan sifat dari kekuasan (kekuasaan politik) itu, yaitu mengendalikan tingkah laku manusia (masyarakat) secara koersif (memaksa) agar supaya masyarakat bersedia tunduk kepada negara (pemerintah). Dalam hal ini, setiap kebijaksanaan yang diberlakukan sejatinya merupakan sebuah ketentuan atau aturan yang sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Dari sini lah peluang untuk terjadinya tindakan korupsi besar sekali.
            Mengacu pada kasus korupsi Gayus Tambunan, dapat dijelaskan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan oleh Gayus itu dapat terlaksana karena dia memiliki suatu kekuasaan dan wewenang. Seperti yang kita ketahui bahwa Gayus bekerja di kantor pusat pajak, memegang jabatan sebagai Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak. Posisi yang demikian sangat memudahkannya untuk memanipulasi data, mempengaruhi suatu kebijakan sehingga ia dapat meraup keuntungan yang besar untuk dirinya sendiri. Menurut sumber Media Indonesia, modus Gayus melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan wewenangnya bermacam-macam. Dalam posisinya sebagai pegawai Sub Direktorat Banding Direktorat Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007 Gayus berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Berkaitan dengan ini, Gayus memiliki peluang besar untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih pemenangan banding. Misalnya seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak Rp3 Miliar. Lalu dia keberatan, ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu Gayus memenangkan banding wajib pajak. Selain itu, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), diduga modus Gayus memanipulasi pajak dengan bermain kurs rupiah saat menangani pajak Bumi Resources tahun 2002-2005. Hasil manipulasi tersebut menyebabkan kewajiban pajak berkurang hingga US$ 164,627 ribu.[19] Dari perkara-perkara seperti ini lah Gayus berhasil mendapatkan keuntungan tersebut. Dia memiliki kepintaran dan kelihaian yang merupakan ‘senjata’ dari sebuah kekuasaan dan kewenangan.
            Manusia memiliki sifat dasar untuk terus mengonsumsi, atau paling tidak memenuhi kebutuhan pokoknya. Oleh karena itu, besar kemungkinan tuntutan-tuntutan pribadi tetap membayangi manusia di dalam melaksanakan kewajibannya, yang seharusnya kewajiban itu menuntut seseorang untuk dapat berperilaku bersih dan mengutamakan kepentingan umum dan tanggung jawab. Hal ini pula yang menimpa Gayus Tambunan. Ada kecurigaan bahwa kasus korupsi, penggelapan dan pencucian uang disebabkan oleh suap yang dilakukan oleh para pengusaha agar mau memudahkan jalan bagi usaha mereka. Seperti misalnya ketika Gayus menerima aliran duit sebesar Rp370 juta. Selain itu, ada keterlibatan pengusaha bernama Andi Kosasih dalam kasus korupsi Gayus Tambunan.
w  1. Korupsi yang merugikan negara dan masyarakat banyak biasanya bermula dari penguasa.
                Kaitan tindakan kejahatan, korupsi, antara penguasa dan keterlibatan para pengusaha, secara sederhan dapat diilustrasikan sebagai berikut; penguasa dapat memberikan akses kepada para pengusaha untuk melakukan eksploitasi rente ekonomi yang merugikan konsumen dan masyarakat luas. Di lain pihak pengusaha diuntungkan, dan bagian keuntungan tersebut harus dibayar (diserahkan) kepada pemberi akses tadi, yaitu penguasa.[20]
            Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, antara lain adalah korporatisme. Korporatisme, dalam khasanah literature ekonomi-politik, sering disepadankan dengan praktek politik di mana pemerintah atau penguasa berinteraksi secara tertutup (idak diketahui oleh masyarakat) dengan sektor swasta besar (pengusaha kelas kakap). Dalam ketertutupan tersebut, transaksi ekonomi mapun politik terjadi hanya untuk kepentingan segelintir kelompok kepentingan (interest group) yang terlibat di dalamnya. Biasanya transaksi politik maupun eknomi yang seperti ini terjadi secara informal dalam tatanan hukum yang kabur atau tatanan hukum yang memihak kepentingan kelompok kecil tersebut. Adanya persengkongkolan seperti ini membuka peluang besar bagi hukum untuk dipermainkan (mafia hukum) sehingga hukum seorah-olah telah dipegang oleh tangan-tangan tertentu.[21]
                Sistem korporatisme akan menimbulkan ketidakstabilan dan rakyat menjadi pihak yang dirugikan. Dalam prakteknya, korporatisme biasanya berbarengan dengan praktek-praktek haram lainnya yang disebut dengan rent seeking (memburu rente) yang dilakukan oleh para elite penguasa atau pun keluarga di lingkup elite. Rent seeking dalam prakteknya adalah menjualbelikan jabatan publik yang dimiliki oleh pejabat publik guna memperoleh kekuntungan ekonomi, yang prakteknya berwatak “koruptif”. Praktek-praktek seperti ini dapat dilihat jelas pada masa Orde Baru, yang pada saat itu terjadi distribusi modal yang hanya dinikmati segelintir orang atau pengusaha (yang umumnya adalah keluarga Soeharto) dan terdapat praktek monopoli dalam produksi.[22]
            Seperti yang disampaikan oleh Amien Rais tentang empat tipe korupsi, secara jelas bahwa bagaimanapun tindakan korupsi itu, tidak akan lepas dari apa yang namanya persengkongkolan (korporasi) antara penguasa (penguasa merupakan pihak pertama yang pada awalnya membuka akses untuk terjadinya kecurangan) dengan para pengusaha (sektor swasta, yang berpotensi memberikan rangsangan kepada penguasa untuk membuka akses kemudahan bagi pelanggaran hukum). Korupsi atau kejahtan korporasi juga didorong oleh pengaruh hasrat dan ketamakan dari dalam diri seseorang (dalam hal ini adalah penguasa), serta tuntutan keluarga (korupsi nepotistik).
            Prof. Muhammad Mustofa, dalam bukunya Kleptokrasi, menjelaskan keterkaitan konsep keluaga dalam tatanan sosial Indonesia dengan tindakan korupsi. Dalam masyarakat Indonesia, keluarga dimaknai sebagai kelompok yang tidak hanya terdiri dari ayah, ibum dan anak-anak (keluarga batih), tetapi juga berupa konsep keluarga besar yang meliputi seluruh kerabat dekat dan kerabat jauh, seperti nenek dan nenek, paman dan bibi beserta anak-anaknya, baik dari pihak ayah maupun ibu. Dalam tatanan sosial terdapat suatu tuntutan dan harapan peran agar setiap individu di dalam keluarga itu bertanggung jawab terhadap anggota-anggota keluaraga besa yang sedang tidak beruntung.[23]
            Pola seperti ini memang memiliki manfaat yang baik. Konsep keluarga besar ini tersebut dapat dianggap sebagai mekanisme yang memiliki potensi untuk mengatasi masalah sosial, seperti pengengguran dan kemiskinan. Namun begitu, konsep keluarga besar seperti ini juga memiiki potensi yang tak kalah kuatnya untuk mendorong ke situasi yang kondusif bagi dilakukannya tindakan penyimpangan. Ketika ada tuntutan dan tanggung jawab yang diemban untuk saling membantu anggota keluarga yang sedang susah, seseorang berada pada titik di mana dia harus memberikan bantuan materil (terkadang pemberian pekerjaan). Keadaan seperti ini sama saja dengan “lebih besar pasak dari pada tiangnya” sehingga individu tersebut harus mencari tambahan penghasilan untuk menutupi kekurangan tersebut. Hal ini lah yang kemudian menyebabkan individu sering melakukan suatu tindakan untuk mendapatkan penghasilan tambahan dengan jalan yang tidak sah, misalnya korupsi.[24]
w  2.  Korupsi merupakan white-collar crime.
                Merujuk kepada pengertian white-collar crime yang menunjukkan suatu tindakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat, sesungguhnya kasus korupsi Gayus Tambunan sangat dapat dilihat dari pisau bedah ini.
            Yang pertama sekali harus diperhatikan adalah kata “orang terhormat” tersebut. Bisa jadi ini dapat menimbulkan pengertian yang bias tentang status Gayus Tambunan yang hanyalah seorang pegawai rendahan di kantor pusat pajak. Oleh karena itu, penulis lebih menekankan pengertian white-collar ini sebagai istilah yang memiliki makna pada awal kemunculannya, yang digunakan oleh Sloan, yaitu white-collar yang menunjuk kaum penerima gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam pekerjaanya, seperti karyawan administrsi kantor, para manajer dan para asistennya. Dari sini, Gayus termasuk dalam kategori yang dimaksudkan.
            Tipologi dari white-collar crime yang dibuat oleh Clinard dan Quinney (1973) adalah occupational criminal behavior dan corporate criminal behavior. Dua tipologi ini kemudian dibagi menjadi lima tipe ciri pelaku dan tujuan, yaitu:
1)            Pelanggaran individu sebgai individu.
2)            Pelanggaran pegawai terhadap majikan.
3)            Pelanggaran pejabat pembuat keibjakan untuk kepentingan umum.
4)            Pelanggaran agen korporasi terhadap kepentingan umum.
5)            Pelanggaran oleh pedagan terhadap konsumen.[25]
                Kejahatan korupsi adalah pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang terhormat tadi. Kejahatan ini dapat dilakukan oleh individu sebagai individu, atau pegawai terhadap majikannya (kasus penggelapan). Melihat secara sepintas kasus korupsi yang dilakukan oleh Gayus, tindakannya temasuk dalam kategori ini, yaitu dilakukan oleh individu sebagai individu demi keuntungan yang dinikmati oleh individu. Namun demikian, adanya dugaan keterlibatan para pengusaha lain, seperti Andi Kosasih, dan para petinggi dari Kepolisian, menjadikan kasus korupsi Gayus (makelar kasus) sebagai bentuk dari kejaharan korporasi (dilakukan oleh organisasi, dalam bentuk struktur organisasi yang saling menguntungkan dan melindungi, serta melempar tanggung jawab). Aksi seperti ini termasuk dalam tipe 3 dan tipe 4 yang disampaikan oleh Clinard dan Quinney, yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan atau pihak tertentu; pelanggaran yang dilakukan oleh agen korporasi terhadap kepentingan umum. Berkaitan dengan hal ini, pengusaha memanfaatkan posisi Gayus untuk mempermudah prosedural pengurusan pajak, dan bahkan melibatkan pihak kepolisian untuk menutupi kecurangan yang telah dilakukan.
            Prof. Muhammad Mustofa, memberikan penjelasan tentang teori yang digagas oleh Sutherland, berkaitan dengan kasus korupsi ini. Sutherland menganalisa dan menjelaskan gejala white-collar crime dengan menggunakan teori different association. Sutherland menunjukkan bahwa para pelaku kejahatan tersebut dalam melaksanakan pekerjaannya melakukan pelanggaran hukum, tetapi bukan merupakan kelanjutan dari kenakalan yang pernah dilakukan pada masa anak atau remaja. Konsep ini menunjukkan bahwa mereka berasal dari kalangan atas yang berpendidikan. Ketika para pelaku ini belajar masalah bisnis, pada saat itu pula lah mereka belajar tentang bagaimana cara melakukan pelanggaran hukum (dalam  different association dikatakan bahwa kejahatan didapat dari proses belajar). Konsep bisnis dihayati sebagai sikap untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan segala cara. Dalam melakukan bisnis ini, sering terjadi penyelewengan hukum demi kelancaran jalannya bisnis. Penyimpangan sengaja dilakukan untuk meningkatkan keuntungan. Misalnya pelaku usaha yang sengaja membuat iklan terlalu berlebihan dan menyesatkan (terdapat unsur kebohongan) agar konsumen mau membeli produk mereka. Hal ini merupakan sebagian kecil dari banyak contoh yang memperlihatkan bentuk kecurangan dalam perilaku bisnis. Biasanya dalam melakukan kecurangan, pelaku bisnis jarang sekali mendapatkan kritik dari media massa, karena sejatinya media massa juga merupakan palaku bisnis. Para pelaku bisnis terbebas dari kritik dan terbebas dari kemungkinan diajukan ke pengadilan karena mereka mempuyai hubungan yang erat dengan birokrasi.[26]
            Mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, jelaslah sudah bahwa teori different association dapat dijadikan landasan sebagai pisau untuk menjelaskan mengapa korupsi dapat terjadi dan dilakukan oleh seorang individu. Menurut yang diberitakan dalam Republika Online, Gayus semasa muda adalah orang yang berpendidikan, terkenal sebagai anak muda yang baik, ramah, dan pintar dalam mengatur keuangan. Keluarganya dipandang cukup berada pada masa itu. Selain itu, Gayus juga merupakan seorang tamatan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dengan nilai yang cukup memuaskan meskipun tidak dapat dikatakan sebagai nilai yang spektakuler.[27] Tentunya semua kelihaian Gayus dalam mengolah data keuangan di kantor pusat pajak ia dapatkan dari bekalnya menuntut ilmu tersebut. Akan tetapi kemahiran dalam melakukan pelanggaran hukum didapatkan di lapangan, setelah ia terjun langsung dalam dunia perpajakan dan bisnis (dalam hal ini bisnis diartikan sebagai kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk mendapatkan laba/keuntungan).
            Tidak hanya kepada Gayus, teori ini juga dapat ditunjukkan kepada pelaku usaha yang bekerja sama dengan Gayus Tambunan. Semua pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku bisnis, sesuai dengan teori tersebut, merupakan hasil belajar dari pengalaman, belajar di lapangan, yang terpicu karena penghayatan pelaku bisnis yang memaknai kegiatan mereka adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya. Atas dasar ini, pelanggaran hukum telah menjadi suatu kebiasaan, atau bahkan mereka terisolasi dari pengertian yang menegaskan bahwa pelanggaran hukum yang mereka lakukan adalah salah.
            Adanya faktor tuntutan dari konsep keluarga besar yang ada dalam masyarakat Indonesia, wewenang yang dimiliki (kekuasaan), tuntutan bisnis dan keuntungan pribadi, persengkokolan (korporasi) menjadikan tindakan korupsi sebagai tindakan yang sudah biasa dan lazim saja dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mengerucutkan semua faktor-faktor yang ada tersebut, semuanya kembali kepada hati nurani dan keimanan seseorang dalam mengambil sikap dan melaksanakan amanah yang mereka emban.

w  3.  Tindak pidana korupsi.[28]

            Dalam ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi tidak ditemukan pengertian tentang korupsi. Akan tetapi, dengan memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik formil, maka Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999 mengatur secara tegas mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi dimaksud. Pasal 2 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan sebagai berikut : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonoman Negara.” Selanjutnya dalam Pasal 3 Undang-Udang No. 31 Tahun 1999, menyatakan : “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
            Definisi yuridis di atas merupakan batasan formal yang ditetapkan oleh badan atau lembaga formal yang memiliki wewenang untuk itu di suatu negara. Oleh karena itu, batas-batas korupsi sangat sulit dirumuskan dan tergantung pada kebiasaan maupun undang-undang domestik suatu negara. Korupsi pertama kali dianggap sebagai tindak pidana di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dalam kenyataannya undang-undang ini tidak mampu melaksanakan tugasnya sehingga dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan terakhir sejak tanggal 16 Agustus 1999 diganti dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tujuan pemerintah dan pembuat undang-undang melakukan revisi atau mengganti produk legislasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operandi tindak pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan alasan untuk dapat melepaskan diri dari jeratan hukum. Dalam pengertian yuridis, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan batasan tentang pengertian Tindak Pidana Korupsi dengan cakupan yang lebih luas sehingga meliputi berbagai tindakan termasuk tindakan ”penyuapan”, yang dapat dipahami dari bunyi teks pasal-pasalnya, kemudian mengelompokannya ke dalam beberapa rumusan delik. Dengan memahami hal tersebut diharapkan segala tindakan hukum dalam rangka pemberantaan korupsi akan terwujud, baik dalam bentuk pencegahan (preventif) maupun tindakan (represif). Pemberantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal.
w  4.   Solusi serta strategi pencegahan dan penanggulangan korupsi.[29]
            Oleh karena korupsi berpangkal kepada hal-hal yang sifatnya kompleks, maka untuk mencegah dan atau menanggulanginya perlu ditempuh berbagai cara melalui pendekatan interdisipliner dan multidimensional. Dalam kaitan ini, cara terbaik untuk memberantas atau mencegah korupsi dapat dibagi kedalam tiga kategori besar, yakni kategori kultural, kategori sosial historis, dan kategori pemerintahan.
            Dari kategori kultural, program penanggulangan korupsi sangat tergantung pada keadaan dan kemauan kelompok pemimpin. Dalam hal ini sangat dituntut kesadaran mereka serta pengertian dan pemahamannya terhadap sifat, sebab dan akibat korupsi. Dengan dimilikinya kesadaran serta pengertian dan pemahaman para pejabat terhadap korupsi, diharapkan mereka akan merubah orientasinya bahwa pembangunan dan aspek-aspek keuangannya hanyalh ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, “pencurian” dan “penipuan” terhadap keuangan negara sama dengan tindakan penghianatan kepada rakyat jelata yang tidak terhitung jumlahnya. Dalam kaitan ini perlu dibangun juga keberanian membuang pejabat yang korup secara sistematis.
            Transformasi budaya bagi para pelaku (dan calon pelaku) korupsi ini sangat diperlukan mengingat instrumen hukum pidana sering kali hanya merupakan “tongkat yang patah” untuk memberantas kejahatan korupsi. Pemberantasan korupsi melalui instrumen yuridis tidak akan pernah bisa membabat hingga ke akar-akarnya. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah pembenahan terhadap pola tingkah laku dimana terdapat kejahatan suatu sikap lembaga, baik dari para pemegang kekuasaan maupun dari umum yang belum terkena virus korupsi.
            Sedangkan dari kategori sosial historis, budaya birokrasi patrimonial perlu dikikis secara perlahan-lahan namun pasti, sehingga pada saatnya akan menghapus pula budaya nepotisme yang jelas-jelas tidak mendukung kepada upaya penciptaan profesionalisme birokrasi. Dengan kata lain, sudah saatnya warisan budaya lama ini ditinggalkan dan disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan baru yang lebih menghendaki rekrutmen secara lebih fair dan obyektif. Pengenaan pajak kepada seluruh warga negara mestinya bukan dilandasi filosofi sebagai persembahan upeti kepada penguasa, melainkan pengumpulan dana dalam rangka pembangunan sosial.
            Adapun dari kategori pemerintahan, banyak hal yang harus dilakukan antara lain
melalui strategi sebagai berikut:
1.      Penyempurnaan atau pembaharuan sistem administrasi yang belum sempurna untuk
mencegah kebocoran. Khususnya dalam hal ini masalah pengawasan harus lebih
diintensifkan dan memangkas duplikasi-duplikasi dalam kelembagaan pengawasan.
2.      Peningkatan tingkat kesejahteraan aparatur. Pengertian kesejahteraan disini harus
ditafsirkan sebagai pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik, dimana dengan
pemenuhan dari kedua aspek ini diharapkan aparatur tidak akan mudah tergoda
untuk melakukan penyelewengan, justru sebaliknya akan memperkuat motivasinya
guna mengabdikan diri kepada kepentingan bangsa dan masyarakat.
3.      Pembaharuan sistem hukum pidana nasional guna mencegah kecenderungan kolusi
yang sulit dibuktikan. Pembaharuan sistem hukum disini dimaksudkan sebagai
penegakan norma-norma yang tidak semata-mata mengandalkan kepada kebenaran
formil dalam pembuktiannya, tetapi juga harus memperhatikan perasaan keadilan dalam masyarakat secara materiil.



***

 v BAB 4
ANALISA DISKUSI TANYA JAWAB
 

            Guna lebih menyempurnakan lagi dalam penyusunan makalah ini dan guna mengetahui bagaimana suara-suara orang di luar sana mengenai korupsi, saya selaku penyusun menyempatkan diri untuk melakukan sesi diskusi tanya jawab yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada beberapa orang teman saya seputar korupsi. Dan memintai pendapat atau argumen-argumen dari pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan. Adapun pertanyaan yang saya ajukan.

Pertanyaan :

1.      Menurut anda, bagaimana bisa muncul suatu penyakit yaitu korupsi?
2.      Mengapa korupsi menjadi benalu yang tidak pernah lepas dari kehidupan dan bernegara?
3.      Mengapa korupsi bisa terjadi?
4.      Menurut anda, apa yang harus dilakukan untuk memberantas korupsi?

Jawaban :

w  Yudo Wijeseno (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Semester 2, Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis) :

1.      Karena manusia tidak pernah merasa puas, dan korupsi menjadi jalan pintas untuk kaya.
2.      Karena apa yang mereka korup merupakan harta rakyat dan negara.
3.      Bisa terjadi karena lemahnya pembelajaran yang bersifat preventif dan represif serta badan hukum tidak tegas.
4.      Ambil semua hartanya dan kembalikan ke negara.

w  Agus Faisal (Mahasiswa Gunadarma Semester 2, Jurusan Informatika dan Teknologi):

1.      Karena buruknya kesadaran moral atau pun akhlak seseorang (koruptor).
2.      Karena korupsi sangat menyengsarakan rakyat terutama rakyat kecil atau menghambat proses dalam mensejahterakan rakyat.
3.      Korupsi terjadi karena sifat manusia yang tidak pernah merasa puas baik dari segi materil sehingga mengambil uang rakyat yang tidak semestinya.
4.      Membuat UUD yang tegas dan konkret, dalam pelaksanaannya menanamkan sikap, moral ataupun akhlak kepada jiwa muda agar tidak melakukan korupsi.

w  Angga Triwaluyo (Mahasiswa Universitas Mercu Buana, Semester 2, Jurusan Broadcasting):

1.      Muncul karena kemurnian pegawai pemerintah sudah tidak real berdasarkan pendidikan, tetapi karena uang.
2.      Karena korupsi sudah sering terjadi dan menjadi hal yang biasa untuk dilakukan.
3.      Karena iman yang tak kuat melihat kesempatan untuk korupsi.
4.      Cara memberantas korupsi, dengan menghukum mati dan yang dikorupsi dikembalikan 100% kepada negara.
w  Muhammad Jamil (Karyawan PT. Sumber Alfaria Trijaya. Tbk)

“Jawaban saya dari nomer 1 sampai 3 sama, intinya manusia itu tidak pernah puas dengan apa yang telah didapat. Pengennya lebih terus, sulit dihilangkan, kecuali yang imannya teguh.”

w  Fenti Dwi Iryanti (Mahasiswi Universitas IndonusaEsa Unggul, Semester 2, Jurusan Ilmu-ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan) :

1.      Karena pikiran mereka yang sakit akan kekayaan, kekuasaan, dan  hidup yang mewah.
2.      Karena di mata seseorang uang adalah yang paling penting dan selalu diutamakan.
3.      Kurangnya penagawasan dalam pekerjaan, sehingga mereka dapat berbuat curang dengan korupsi.
4.      Pengawasan dalam pekerjaan harus diperketat, terapakan UU yang adil dan bijaksana.

w  Rulih (Karyawan PT. Surya Tara Adika Raya):

1.      Karena perilaku pejabat publik yang secara tidak wajarnya illegal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya.
2.      Karena semua orang sudah terlanjur terlena, terbius hidup konsumtif, berpolah-polah, dan berlomba-lomba dalam kemewahan. Akibatnya negeri religious ini menjadi negeri tidak tertib, kacau dan sebagainya.
3.      Korupsi terjadi karena adanaya pola hidup yang melampaui batas kemampuan dan amat berlebihan.
4.      Hukum saja yang terbukti korupsi dan cari bukti-bukti yang menguatkan bahwa dia terbukti korupsi, setelah itu disidang, tidak usah berlama-lama, sidangnya kalau perlu langsung divonis saja. Ya, minimal 15 tahun penjara dan juga denda kira-kira 100 juta rupiah.

w  Ryantio Priyono (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Semester 2, Jurusan Kesehatan Masyarakat , Fakultas Kedokteran dan Kesehatan)

Menurut saya untuk jawaban nomer 1 dan 3 yaitu bisa dipengaruhi tingkat kehidupan. Dimana tingkat kehidupan yang tinggi akan mempengaruhi nilai konsumsi namun tak diiringi dengan pendapatan. Adanya faktor lain seperti jika banyak materi akan lebih terpandang, lebih safety dan lain-lain. Dalam segi psikologi, bahwa adanya tekanan dari keluarga seperti membandingkan pendapatan dengan orang lain padahal pendidikan dia lebih baik dari orang lain sehingga mendorong dia korupsi. Selain itu karena lingkungan, bila ia melihat di sekiarnya korupsi dan tidak ketahuan maka dia akan ikut korupsi juga. Lalu untuk jawaban nomer 4 menurut saya yaitu penanaman pendidikan antikorupsi, nilai-nilai agama, dan menciptakan sistem hukum yang kuat.”

w  Murti Widiastuti (Mahasiswi D3 Keperawatan STIKes PERTAMEDIKA, Semester 2)

1.      Karena desakan ekonomi yang tinggi dan gelapnya mata jika sudah berhubungan dengan uang.
2.      Karena setiap orang mempunyai kebutuhan dan ingin hidup sejahtera jika mempunyai uang yang banyak dan bisa melakukan segalanya dengan uang.
3.      Karena tawaran atau tergiurnya akan uang banyak tanpa memikirkan kedepannya.
4.      Bekerja dengan jujur terutama mulai dari diri sendiri karena orang yang korupsi memiliki jiwa dan moral yang rusak.

w  Ririn Hidayati (Karyawati PT. Communitas Managemen Terpadu)

1.      Karena tidak kuat iman sehingga mudah tergiur.
2.      Karena pemberantasannya bukan dari akar koruptornya.
3.      Karena dia berfikir sesuai keinginan sendiri, tidak memikirkan orang lain dan tidak punya iman yang kuat.
4.      Dari pribadi masing-masing disadarkan kalu perbuatan korupsi itu tidak baik, percuma kalau dibilangin saja tapi dari pribadinya tidak ada kesadaran untuk tidak melakukannya, banyak-banyak mendekatkan diri kepada yang diatas.

            Dari semua jawaban yang saya tanyakan, dapat saya simpulkan bahwa yang namanya korupsi itu sangatlah merugikan orang banyak. Bahkan mencakup bangsa dan negara. Korupsi bisa terjadi dikarenakan oleh etika dan moralitas yang ada pada seorang koruptor sangatlah lemah bahkan ada yang beranggapan rusak. Karena tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk untuk diri sendiri dan orang di sekitarnya. Korupsi bisa terjadi karena orang-orang tersebut bekerja tidak dengan hati yang baik. Mereka hanya memikirkan yang sifatnya materi saja. Jika dihadapkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kemewahan mereka ingin yang lebih lagi. Intinya moral para pemimpin atau orang-orang yang melakukan korupsi itu sudah dibeli dengan uang.  Selain itu adalah faktor kepuasan yang ada dalam diri koruptor sangatlah tinggi. Koruptor tidak puas dengan apa yang sudah dimilikinya, sehingga dia rela melakukan korupsi. Dari segi pemberantasannya juga dapat saya simpulkan bahwa para penjawab ingin para koruptor diadili dengan seail-adilnya sesuai dengan hukum yang berlaku. Tanpa pandang bulu dan campur tangan poltik serta jabatan yang mereka duduki. Selain itu dengan membuat kebijakan-kebijakan seputar korupsi yang bisa mencegah seseorang untuk melakukan tindak korupsi baik dalam bentuk pencegahan (preventif) maupun tindakan (represif).
            Oleh karena itu, dalam sesi diskusi tanya jawab ini saya mengingatkan dan menghimbau kembali bahwa korupsi adalah sebagai sebuah perbuatan yang kotor, buruk, licik, dan curang maka sebaiknya jangan ditiru, bahkan harus dan wajib jangan ditiru. Ya, walaupun sudah membudaya kita harus sebisa mungkin menjauhi perilaku yang korup tersebut. Karena jika ditiru, muuncul pertanyaan mau dibawa kemana negeri ini jika masih saja banyak yang melakukan korupsi, sedangkan kita sendiri sedamg memerangi korupsi.


*** 


v BAB 5
PENUTUP
 

1.      Kesimpulan

            Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang sakit kepala, kok yang diobati tangan “. Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah memang.
            Korupsi adalah kejahatan atau penyimpangan berupa pelanggaran hukum yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi, di mana tindakan tersebut menimbulkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat.
            Korupsi pada dasarnya dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, menyentuh semua kalangan  di dalam masyarakat. Namun dengan mengacu kepada kasus Gayus Tambunan, korupsi yang sangat merugikan ini sering kali terjadi di kalangan atas, kau elite, dan para pejabat yang memiliki kekuasaan dan posisi yang strategis.
            Korupsi muncul bukan tanpa sebab. Korupsi merupakan akibat dari sebuah situasi kondisi di mana seseorang membutuhkan penghasilan lebih, atau merasa kurang terhadap apa yang dia peroleh jika menjalankan usaha dengan cara-cara yang sah. Korupsi merupakan tindakan yang tidak lepas dari pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh individu maupun kelompok, dan dilaksanakan  baik sebagai kejahatan individu (professional) maupun sebagai bentuk dari kejahatan korporasi (dilakukan denga kerjasama antara berbagai pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sehingga membentuk suatu struktur organisasi yang saling melindungi dan menutupi keburukan masing-masing). Korupsi merupakan cerminan dari krisis kebijakan dan representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.
            Korupsi juga dapat terjadi karena kurangnya kesadaran untuk mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. Ketika di dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia yang menjujung tinggi konsep keluarga besar menjadi sebuah faktor individu untuk berada di situasi yang sulit dalam menutupi kekurangan ekonomi, pengaruh-pengaruh dari keluarga dan kerabat dapat menyebabkan munculnya sikap untuk melakukan kecurangan dan pelanggaran hukum. Individu yang melakukan korupsi gagal dalam memilah antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Korupsi terjadi karena hilangnya rasa tanggung jawab dan rasa malu di dalam diri pelakunya.
            Korupsi juga tidak datang begitu saja di pikiran seorang pelaku. Dia dipahami seabagai suatu tindakan melanggara hukum dan diperoleh melalui proses belajar. Sesuai dengan teori different association, kemungkinan terbesar aksi pelanggaran hukum ini dipelajari ketika seseorang mulai belajar melakukan bisnis atau usaha untuk mencari keuntungan. Semakin kuatnya paham setiap pelaku bisnis bahwa mendapatkan keuntungan (materil) adalah tujuan utama dari suatu bisnis, menyebabkan pelangaran hukum, seperti korupsi, menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan. Selain itu, semakin bertambahnya anggota yang memiliki paham yang sama tentang keuntungan tersebut, menjadikan korupsi sebagai lahan untuk mencari uang sehingga membuka lebar untuk terjadinya tindakan kejahatan korporasi.
            Semua faktor-faktor itu sangat mempengaruhi diri individu untuk melakukan kejahatan: korupsi. Hal ini disebabkan kurangnya rasa kesadaran akan pentingnya tanggung jawab moral bagi mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan. Oleh karena itu, meskipun terkesan sebagai mimpi dan harapan yang muluk, memperbaiki kesadaran seseorang dan mengembalikan rasa tanggung jawab moralnya adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk mencegah dan menghentikan korupsi di negeri ini. Pendidikan agama dan aksi memperkuat iman adalah metode yang mesti ditingkatkan demi mendapatkan orang-orang yang memiliki hati nurani bersih dan mau bekerja demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

2.      Saran

            Memang tidak mudah untuk menuntaskan korupsi dalam suatu negara. Korupsi sudah ada dari sananya dan kalau sudah mendarah daging sangat sukar untuk dibasmi. Korupsi itu seperti penyakit kanker jika sudah mengakar agak sulit untuk dicegah. Penyebab yang paling hakiki dari manusia adalah sifatnya yang tidak pernah puaslah sebagiai pemicu seseorang melakukan tindakan pencurian. Ada pencuri Intelektual dan pencuri preman (amatir). Pencuri intelektual memiliki analisis, serta kajian khusus dalam melakukan aksinya.karena tingkat intelektualnya tinggi jadi para koruptor tersebut melakukan tindakan pencurian secara secara profesional. Bayangkan saja, KPK adalah sebuah lembaga yang dibentuk untuk menangani korupsi ditanah air yang bermasalah, Polisi saja yang menangkap pelaku korupsi terjerat masalah korupsi. Mereka hanyalah manusia biasa, paling pemimpin rohani pun tidak terlepas dari yang namanya korupsi. Kadang agama diperalat untuk seseorang melakukan tindakan korupsi. Kita harus jujur di negara kita sudah tertanam benih-benih korupsi dari zaman orde baru pada saat Almarhum Presiden RI yang kedua Soeharto memangku jabatan di Republik ini. Jadi kasus-kasus memperkaya diri begitu tinggi. Nah yang kena getahnya adalah di zaman demokrasi saat ini. Coba kita belajar sistem metode yang diterapkan oleh China, Jepang dan Amerika, yang jika mereka melakukan korupsi kalau bukan mereka yang bunuh diri ada undang-undang yang sangat berat bagi koruptor tersebut. Ketegasan dari setiap pemimpin di negeri ini serta undang-undang yang diberlakukan yang keras yang dapat menghadang laju dari para pencuri uang negara. Kadang ada pemimpin yang memiliki rasional tapi tidak berfungsi. Jadi antara IQ, EQ dan SQ harus seimbang. Pertanyaanya siapakah yang tahan untuk tidak merampok uang negara? Pernakah para koruptor kapok dengan ulah mereka? Hukuman seperti apa bagi mereka biar meraka jera? Akankah negara ini terus terpuruk dengan hadirnya pemimpin-pemimpin yang memiliki latar belakang kapitalis serta tidak pernah memikirkan nasib rakyat? Marilah kita buat sebuah hari yaitu hari tanpa korupsi dan jadikan korupsi itu menjadi musuh kita jangan berikan kesempatan pada iblis korupsi yang menguasai pikiran kita. Maju terus Indonesia tanpa korupsi. Lebih baik berbuat amal kebaikan, memberikan sedekah, zikir, taufik, hidayah dan terakhir igtigsfar bagi para korupsi katakan tidak pada korupsi. Selain itu, mari kita tingkatkan iman dan takwa kita kepad Allah SWT supaya etika kita dalam melakukan sesuatu tidak menyimpang dari  jalan kebenaran.
            Selain itu mari kita dukung slogan yang ingin dikampanyekan oleh rakyat Indonesia dengan  Slogan Stop Korupsi dan Suap di Indonesia semoga bermanfaat dan menjadikan kita manusia yang patuh akan aturan dan korupsi di Indonesia bisa ditekan sekecil-kecilnya sehingga harapan kita semua untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur dapat tercapai.

۝  DAFTAR PUSTAKA  ۝
 

Mustofa, Muhammad. kleptokrasi: Persengkongkolan Birokrat-Korporat sebagai Pola White-Collar Crime di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ke duapuluh tujuh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005
Suradika, Agus. RELASI KORUPSI DAN KEKUASAAN: Antara Cermin Budaya dan Penanggulangannya, http://www.docstoc.com/docs/5936230/Agus-Suradika-Korupsi-dan-Kekuasaan, diakses tanggal 7 Desember, 2010
Djafar, Wahyudi. Perselingkuhan Birokrasi dan Korupsi,

Nasution, S. A. Korupsi dan kekuasaan, kolom Opini. Waspada Online.

Rastika, Icha. Andi Kosasih Dituntut 10 Tahun. Kompas.com 23 November 2010. http://nasional.kompas.com/read/2010/11/23/16344531/Andi.Kosasih.Dituntut.10.Tahun, diakses tanggal 7 Desember, 2010.

Taufiqqurahman, Muhammad. Mencari Jejak Gayus Tambunan di Warakas. detikNews 24 Maret 2010. http://www.detiknews.com/read/2010/03/24/104528/1324145/10/mencari-jejak-gayus-tambunan-di-warakas, diakses tanggal 7 Desember 2010.

Kompas. Jago Keuangan dari Warakas. http://koran.republika.co.id/koran/0/106988/Jago Keuangan dari Warakas, diakses tanggal 7 Desember 2010.

“Corrupt | Define Corrupt at Dictionary.com”. Dictionary.reference.com. Retrieved 2010-12-06.

www.google.com





[2] www.mediaindonesia.com, November 2009 
[4] Lihat “Corrupt | Define Corrupt at Dictionary.com”. Dictionary.reference.com. Retrieved 2010-12-06
[5] Lihat Agus Suradika, 2009: 2
[6] Wahyudi Kumorotomo, 2005: V
[7] Lihat Agus Suradika, 2009: 2
[8] Miriam Budiarjo, “Dasar-dasar Ilmu Politik”, 1995: 35
[9] Robert M. Maclver, 1961: 87
[10]op cit., h.36
[11]ibid., h.37
[12] Sutherland, 1949: 9
[13] Muhammad Mustofa, 2010: 17
[14] Lihat Sutherland, 1949: 9, catatan kaki 7
[15] Lihat Muhammad Mustofa, 2010: 28
[16] Clinard, Yeager, 1980: 43
[17] Ibid., h.44
[18] Lihat Agus Suradika, 2009: 1
[20] Lihat Siti Akhiriah Nasution, “Korupsi dan Kekuasaan”, Opini, http://www.waspada.co.id, Januari 2010
[21] Lihat Didik J. Rahbini, 1996: 92
[22] Lihat Agus Suradika, op cit., h.7
[23] Muhammad Mustofa, 2010: ix
[24] Ibid., h.x
[25] Lihat Muhammad Mustofa, 2010: 26
[26] Muhammad Mustofa, 2010: 43
Share:

0 Komen:

Posting Komentar