Kamis, 07 Februari 2013

Skandal Bank Nusa Milik Bakrie Tahun 1999 dan Relevansinya



Skandal Bank Nusa Milik
 Bakrie Tahun 1999 dan Relevansinya
Awal tahun 1999, Indonesia belum setahun dipimpin Presiden Habibie yang secara konstitusional menggantikan mantan Presiden Soeharto yang lengser 1998. Kabinet Habibie menyebut diri “pemerintah reformasi pembangunan”. Mudah dipahami, reformasi tidak semudah membalik telapang tangan. Agenda reformasi Habibie tidak sesuai dengan wawasan gerakan mahasiswa dan elemen rakyat yang mendengungkan “reformasi total”.
Lebih dari itu, sebuah masa transisional era Habibie, kurs rupiah yang masih gonjang-ganjing $1/Rp 10.000,- dan penyehatan perbankan nasional menyimpan sedikit-banyak catatan yang (minta ijin) boleh dibuka kembali. Satu dekade lebih setelah Habibie, atau di bawah pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, sejumlah orang yang dulu memiliki catatan buruk praktek perbankan, kini menjadi Pemilik Media, menjadi Pimpinan Partai, dan segalanya yang dimiliki “konglomerat".
Hebatnya lagi, para pelaku bisnis perbankan “era transisi yang chaotic” itu, kemudian hari membentuk Partai atau membajak Partai lama sekalipun, seperti men-take-over saham sebuah dinasti. Mereka bahkan tampil dengan orang-orang muda yang tampak cerdas, yang harap saya keliru – juga menderita amnesia sejarah atau hanya sekedar belum memiliki catatan-catatan ini, dan bersikap luguh, jujur dan tegas. Saya amat keliru, kalau menganggap orang-orang muda cerdas yang menduduki Rumah Rakyat di Senayan sekarang itu tidak memiliki catatan sejarah ini tentang bosnya atau pimpinan partainya.

*       Bank Nusa Nasional, Mega Skandal Perbankan 1999
Berita perbankan termasuk paling ramai dimuat media awal tahun 1999 adalah Bank Nusa Nasional (BNN) milik Aburizal Bakrie. Ketika itu, Faisal Basri dalam seminar perbankan yang digelar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) meyakini kentalnya nuansa politis di balik penundaan itu. Bila banyak bank yang ditutup risiko politiknya sangat besar. Bankir-bankir itu, katanya, mengancam akan membongkar dana pejabat yang ditransfer ke luar negeri. Faisal Basri kemudian mengusulkan agar Aburizal Bakrie dikeluarkan dari DPKEK dan DPR memanggil Menko Ekuin Ginandjar untuk meminta penjelasan soal serius ini (Media Indonesia, Senin, 1 Maret 1999).
Keganjilan yang terjadi pada BNN Aburizal Bakrie, yang ketika itu juga masih sering dibubuhi media dengan - pengusaha pribumi, tak luput membawa-bawa nama Adi Sasono dan mantan Presiden Habibie. Seperti diberitakan majalah Tempo, edisi 23-1Maret 1999), BNN merupakan salah satu bank yang masuk ketagori C, karena rasio kecukupan modalnya (capital adequacy ratio, CAR) di bawah minus 25 persen (kriteria yang ditetapkan pemerintah). CAR BNN jauh di bawah batas tersebut, yakni minus 210 persen. Apabila CAR BNN senilai Rp 2,4 triliun, itu berarti modal BNN sudah minus 4,9 triliun. Untuk masuk ke kategori B, atau CAR bisa di atas minus 25 persen BNN harus menyediakan dana tunai (fresh money) sekitar Rp 5 triliun lebih hanya untuk Bank Aburizal.
Tetapi aneh bin ajaib dalam waktu kurang dari sebulan CAR BNN mendadak naik meroket sehingga mencapai minus 24,5 persen (masuk kategori B), atau mendadak meningkat 190 persen! Tak ada cara lain kecuali telah terjadi suntikan modal ke bank tersebut. Lalu dari mana dana sedemikian banyak? Sementara grup Bakrie sendiri sedang pusing tujuh keliling memikir pelunasan hutang-hutang luar negerinya. Isu pun merebak, mengatakan bahwa dana tersebut diperoleh BNN dari Menkop Adi Sasono berdasarkan memo dari Habibie sendiri. Besarnya sampai 1,5 triliun, yang diambil dari dana Jaring Pengaman Sosial (JPS), dan sebagian lagi dari Departemen Koperasi dan penjualan aset Bakrie Grup (Sumber Kontan).
Dalam kasus BNN, ketika majalah Tempo melakukan konfirmasi bahwa Adi Sasono telah mencairkan dana JPS untuk menolong bank Aburizal Bakrie itu, Adi Sasono dengan tegas membantahnya dengan mengatakan bahwa dia tidak terlibat soal begituan. Sebagai Menteri Koperasi, ia mengaku hanya mengurus soal yang kecil-kecil, yang besar seperti itu urusan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia (Tempo, 23 Februari - 1 Maret 1999).
Ada apa di balik penundaan pengumuman likuidasi bank-bank tanggal 27 Februari 1999? Sangat kuat dugaan bahwa itu terjadi karena ada intervensi ke pemerintah oleh para pemilik bank — yang kali ini dilakukan oleh bankir pribumi. Yang sudah “ketahuan” selain Aburizal Bakrie (BNN), adalah Fadel Muhammad (Bank Intan) dan Sukamdani Sahid Gitosardjono (Bank Sahid Gajah Perkasa).
Bahkan ketika itu, Ginanjar Kartasasmita dianggap teganya menipu rakyat, dengan mengatakan bahwa penundaan pengumuman likuidasi bank-bank itu telah disetujui IMF dan Bank Dunia, padahal kedua lembaga keuangan itu tak tahu-menah. Kritik terhadap kebohongan Ginanjar itu dilancarkan ekonom muda Sri Mulyani Indrawati di harian Kompas ketika itu.
Faisal Basri, yang juga Sekjen PAN mengritik bahasa rasis dan menggunakan tameng isu rasialistis para pelaku perbankan, dengan mengatakan, “Tidak relevan untuk menyelamatkan pribumi di sini. Sebaliknya justru semakin menyengsarakan rakyat banyak yang adalah pribumi. Cara yang ditempuh pemerintah adalah karena mereka mempunyai ambisi besar untuk menyeimbangkan posisi ekonomi pribumi dengan ekonomi pengusaha keturunan, tetapi cara yang ditempuh sangat barbarian dan sangat kontraproduktif,” (Warta Ekonomi, No. 42, 8 Maret 1999).
Skandal Bank BNN milik Aburizal Bakrie yang hilang di tengah masa transisi politik-ekonomi-sosial awal 1999 itu dimungkinkan pula karena posisinya sebagai Sekjen Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK). Sedangkan beberapa menteri ketika itu juga menjadi anggota dari DPKEK ini, seperti Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Rahadi Ramelan), Menteri Pendayagunaan BUMN (Tanri Abeng), Menteri Keuangan (Bambang Subianto), Menko Ekuin (Ginandjar Kartasasmita), dan Gubernur BI (Sjahril Sabirin). Bahkan beberapa bank yang masuk kategori C, saham-sahamnya dimiliki oleh sejumlah menteri tersebut.

*      Perkiraan Solusi
Catatan dari dua titik sejarah satu dekade ini adalah, pertama, kritik historis terhadap suatu kejadian di tengah kehidupan adalah cermin kebenaran tertentu. Pilihannya adalah perbaikan diri, atau memproyeksikan suatu kejahatan tertentu terhadap orang lain, apa yang pernah Anda sangat ahli telah melakukannya. Sementara orang lain belum tentu mengetahui jenis kejahatan yang dapat diduga Anda lakukan.
Kedua, peran media dan Wakil Rakyat Indonesia di Senayan terakhir ini adalah bagian dari pencerdasan, tapi juga (dapat) jadi bagian dari distorsi sejarah yang (relatif) utuh, teruji dan lengkap. Kebenaran hanya diambil dari media yang jujur dan berintegritas, diterima masyarakat sebagai kebenaran pula. Peran krusial media untuk menjadi kontrol sebuah pemerintahan atau regim dapat disalah-gunakan, maka tidak “dikutip” dalam regim yang lain sebagai kebenaran. Rakyat menilainya dalam sejarah.
Ketiga, Tidak mudah menjaga profesionalisme media, kepentingan kelompok dan pribadi. Dalam kasus BNN dan Bank Century, misalnya, satu dekade berbeda dengan beberapa orang dan kelompok yang sama, semuanya menjadi cermin terbuka bagi masyarakat. Ini hanya sebuah catatan awal normatif terhadap orang yang patut dianggap belum tentu bersalah dalam kasus Bank Century. Jauh berbeda dengan Skandal Bank Nusa.
Meski sebagian dari kita mencatatnya, sebagian hidup di salah-satunya. Pemberitaan sebagian media, antara lain dan terutama TV One, milik Aburizal Bakrie, dianggap memberitakan secara tak seimbang kasus Bank Century, dan melakukan “character assasination” terhadap sejumlah pejabat, antara lain mantan Menkeu dan kini menjadi pejabat Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati. Sri dalam catatan ini, bahkan tercatat melawan kebohongan mantan Menko Ekuin Laksda (purn) Ginanjar Kartasasmita. Keberanian yang satu dekade kemudian, hadir juga saat tampak menolak kompromi dengan Grup Bakrie.
Secara normatif, semua hal yang perlu dikritisi, seperti dilakukan anggota Fraksi Golkar Bambang Soesatyo, yang juga saya kagumi, misalnya, berlangsung baik, namun ahistoris. Masyarakat berharap mereka menyuarakan rasa keadilan secara historis dan relatif obyektif, daripada jatuh pada “kebenaran yang partisan”.
Akhirnya, keempat, catatan ini sekedar mengingatkan kita pada sebuah pernjalanan sejarah. Pesan metaforis ini tetap aktual: “Jangan biarkan anjing Anda terus menggongong orang (yang belum tentu) berniat buruk atau tak bersalah, karena gonggongannya akan mengundang lebih banyak anjing lain, dan berbalik mengeroroyok Anda, tuannya sendiri.

J §Selesai§ J


Untuk lebih lengkapnya, bisa download  DI SINI ya !!!
Share:

0 Komen:

Posting Komentar